Kamis, 18 Desember 2008

"ZONA REVOLUSI"
...di sini kami berpikir, disini kami belajar, dan disini kami tersingkir
dan disini kami berontak...!!!






Selamat tinggal malam ...!!!

Sabtu, 29 November 2008

SENJATA ORANG-ORANG YANG KALAH

Oleh : Abdul Kholek

Wono Rejo 7 November 2008, panasnya terik mentari, dan panasnya suasana hari ini, tidak menghentikan langkah para petani untuk pergi ke sawah, menggarap lahan yang sedikit tersisah

Petani itulah sebutan yang selalu membekas dalam nuansa ketidakberdayaan, “para petani bagai orang yang selamanya berdiri di dalam air hingga sampai ke leher, sedikit saja ombak yang di bawah angin kecil sudah cukup untuk menenggelamkan mereka”

Itulah sekelumit cerita yang tidak pernah terputus ketika melihat petani di negeri ini, Wono Rejo, adalah salah satu potret terkecil dari sekian banyak daerah pertanian. Berdasarkan etnis daerah ini didominasi hampir 99 % penduduk berasal dari pulau jawa atau lazim mereka sebut dari seberang, dengan penduduk 100 % beragama islam, dan 95 % bekerja sebagai petani. (sumber data monografi desa)

Jauh angan menghayal menerobos dunia yang paling ideal, mencari format baru untuk sebuah kesejahteraan masyarakat yang seadil-adilnya, yang di amanahkan undang-undang, dari pasal-pasal yang hanya menjadi sebuah obsesi dan isapan jempol, Pasal 33 UUD 45, tentang pengaturan kehidupan ekonomi, pasal 34 UUD 45 tentang pemeliharaan pakir miskin dan anak terlantar, Pasal 27 dan 28 Tentang kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak

Tidak ada yang salah dan keliru dari sebuah undang-udang itu, dan tidak ada salahnya para pendiri negeri menginginkan kesejahteraan yang total terwujud dalam negeri indonesia

Program-program sudah beribu bahkan berjuta telah di lakukan tapi sayang semua hanya dalam kerangka teoritis yang tidak tahu dimana awal dan dimana akhirnya

Petani merupakan kelompok yang mayoritas di negeri ini, tetapi mereka adalah kelompok yang selalu di alienisasi oleh semua pihak tanpa terkecuali,

Para petani adalah potret orang-orang yang kalah dan selalu di sudutkan oleh realitas globalisasi dan kapitalisme, mereka tertekan dan teralienisasi dari produk yang mereka lahirkan dan mereka ciptkan dengan keringat dan jerih payah setiap harinya, harga gabah yang di permainkan, harga pupuk yang juga di permainkan, menjadikan mereka sebagai sebuah bola yang selalu di permainkan, kondisi ini seperti yang di ungkapkan oleh Jauhari (45) petani padi, berikut ini :

Belum selesai kawan……!!!!



BELUM ADA JUDUL BY : obsesi jalanan

Setelah memulai denyut hari dengan hal-hal yang berat, aku tergoda untuk mengajak badaniah masuk dalam lingkaran naluri menyenangkan. Lagi-lagi asmara tetap hangat diangkat menjadi topik tanya-jawab. Yang pasti, aku sendiri merasa senang dijebak dalam jedah yang bisa berlipat-lipat, membelok akan tujuan awal “Mengapa aku disini?”. Walupun apa yang tersimpulkan hanya sekedar hipotesis yang sinting, condong memberikan daya eksra untuk terus melangkah dengan kemantapan hati yang dikarbiti. Aku akan berusaha untuk terus terjaga dalam skenario yang mengalir dalam episode yang mengambang.

Merenung mengenai dunia Eross membawaku tenggelam dalam imaji, membaluri naluri dalam skema diskusi pakar pemecah teka-teki malam, melahirkan berjuta hipotesis centang-perentang yang memikat. Belum lagi, bonus plusnya… semakin tinggi mengajak otak kiri menerawang, melewati dimensi realitas dunia nyata. Reaksi-reaksinya pun tak kalah hebat; dari gelak tawa lepas sampai pada intropeksi yang memilukan. Semuanya dikemas dalam serba-serbi dari alur kelokkan cerita yang dibuat dramatis, prinsipil dan terkesan dilebih-lebihkan.

Katanya “Cinta itu buta” sebuah kalimat pendek yang berulang-ulang terdengar oleh telinga. Sebelumnya bagiku, hanya sebuah kiasan biasa yang didengungkan oleh para pujangga dalam rangka melengkapi ramuan puitisnya. Tak ada makna lebih hanya sebuah pemanis. Keawaman penalaranku pun tak ambil pusing akan filosofis yang terkandung didalamnya. Tapi disini (karna mu), aku diajak merasakan sendiri apa itu pemahaman jangan hanya berhenti pada pengertian dan definisi karna kau takkan kemana-mana kalau hanya selesai pada katanya, katanya, dan katanya… Refleksi langkah kaki pun telah jauh menembus berlipat-lipat kesadaran, selagi aku sibuk akan penalaran, konsentrasiku pun terpecah oleh riak dengusan bisik knalpot bis yang terbawa oleh hembusan angin, Perputaran percepatan roda yang berputar yang bekerja sama dengan alunan suara mesin yang menggema, menjadikan perpaduan irama lagu yang mendengung-dengung mengalahkan suara obrolan yang tak beraturan yang terdengar oleh indera pendengarku, yang terdengar hanyalah gumaman suara lebah yang menggema.

Kuteliti sekelilingku, semua seperti menikmati ayat Kauliyah ini membawa sketsa harapan melawan perputaran jarum jam. Ku mencoba menuruti apa yang mereka lakukan, “Bagaimana menikmati suasana ini?”, sejenak memang terasa suasana damai seolah menghipnotis jiwa agar melepas hiruk-pikuk hidup yang telah menjadi rutinitas yang aku pun lupa kapan memulainya, yang ku tau dari sebagian orang yang berada disini mempunyai satu kepentingan yang sama kembali ke zona aman ketempat dimana mereka menyatu dalam keluarga. Aku enggan mencoba berkomunikasi dua arah dengan orang disampingku, pilihannya lebih baik aku menikmati langit sore ini yang matahari bisa dilihat dengan mata telanjang berwarna jingga keemas-emasan membawa lamunan yang tak berujung, dimana menerawang disahkan. Aku pandang keluasan alam semesta, langit cerah dipenuhi warna kejora yang begitu indah berpencar kesegala penjuru membawa aroma terapis bagi jiwa, ku lepas pandangan pada sisi sebelah kiri atas, terlihat susunan awan lembut bagai jelmaan lukisan abstrak yang mengandung makna tersirat, sangat berbeda dengan langit sebelah kanan yang lebih menawarkan harapan baru pada keinginan biru.

Dan inilah tempatnya!!!. Langit sore, asli…!!! engkau membawa alam bawah sadarku menjinjing harapan rapuhku hanya tuk sekedar tegak dari keinginan yang tak terelakkan. Tanpa sadar, ku telah berdiri ditanah yang lebih tinggi, ku teliti sekeliling ku, tempat ini dipenuhi orang-orang yang tak ku kenal, terdengar jejak telapak kaki yang mendekat, terlihat dua orang tengah berbincang “Apakah harapan itu?”. Sebagaimana dikira banyak orang berarti menghendaki dan menginginkan? Jika demikian, orang yang menginginkan mobil, rumah dan perkakas yang lebih banyak dan lebih bagus lagi dapat disebut sebagai orang yang berharap. Apakah disebut harapan jika objek harapan itu bukan berupa sesuatu (benda) melainkan sesuatu yang tak dapat dilihat tapi nyata yang lebih bermakna, suatu kondisi hidup yang lebih menyenangkan, bebas dari kejenuhan yang berkepanjangan. Memang hal ini dapat dikatakan harapan. Akan tetapi itu bukan harapan jika mengandung makna kepasifan dan “menunggu untuk ___” sehingga harapan dalam kenyataannya menjadi kedok dari dunia khayal, hanya ideologis semata…. Salah satu dari dua orang itu memulai percakapannya.

Aku mulai tertarik dengan obrolan ini, jadi ku putuskan terlibat dengan berjalan pelan kira-kira dua meter dibelakang mereka.

Lelaki itupun meneruskan kata-katanya. Dua bulan yang lalu saya menyaksikan seorang Pencinta mendatangi pintu hati Sang Pujaan dan meminta izin untuk masuk kedalam kehidupannya. Sang Pujaan mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan seseorang untuk masuk selama beberapa saat. Sementara pintu itu terbuka, Pencinta itu memutuskan untuk menunggu sampai Sang Pujaan mengizinkannya masuk dalam kehidupannya. Dia duduk selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Berkali-kali ia menanyakan apakah sudah diizinkan masuk, tetapi selalu dijawab bahwa dia belum bisa mengizinkannya. Selama bertahun-tahun Pencinta itu tak henti-hentinya memperhatikan Sang Pujaannya, sambil melepas kutu-kutu yang menempel dikerah bajunya yang menjamur. Sampai-sampai dia rapuh dan hampir mati harapan. Untuk pertama kalinya ia menanyakan: “Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin untuk masuk kecuali saya?” Sang Pujaan itu menjawab, “Tak seorang pun kecuali Anda yang bersikeras meminta izin memasuki pintu ini. Sekarang saya mau menutupnya”.

Pencinta itu sudah terlalu tua untuk memahami maksudnya, bahkan ia tidak dapat memahaminya ketika ia masih muda.

Dengan roh yang belum begitu penuh masuk kedalam raga ku melepaskan pandangan dari jendela yang kusam, terlihat sab-sab barisn tebu . . . oh !!! sudah melewati simpang Tanjung Pinang, langsung ku benahi cara duduk, spontan kuusap wajah dan ku kucek kedua bola mataku. Ku tarik napas cepat sambil memijit-mijit leher bagian belakangku. Aku cerna kata-kata yang sempat ku ingat dari percakapan dua orang dalam tidur satu jamku, “Apa maksud obrolan mereka?, ataukah mereka memberi petuah. “jangan pernah berkata menjadi pejuang kalau hanya bisa berobsesi !!!”, tidur singkat yang begitu berat.

Dengan nalar ku coba memberikan arti dari makna yang tersirat. Para Pujaan mempunyai kata-kata usang: jika mereka mengatakan “tidak”, maka seseorang tidak bisa masuk meskipun pintu hatinya terbuka untuk siapa saja. Jika Sang Pencinta telah menjadi pasif daripada ini, berharap dengan menunggu, mengharapkan Sang Pujaan melakukan tindakan pembebasan yang menghantarkan ke istana hatinya yang istimewa. Kebanyakkan orang akan menjadi “Pencinta tolol”. Mereka berharap tetapi hal itu tidak akan mempengaruhi dorongan hati para Pujaan, dan selama para Pujaan tidak memberi lampu hijau, mereka tetap menunggu dan menunggu. Sementara menunggu dengan pasif merupakan bentuk ketidakberdayaan dan impotent yang memuakkan. Disisi lain, ada bentuk ketidakberdayaan dan keputusasaan lain yang menyamar dalam bentuk yang sangat berlawanan, penyamaran yang terwujud dalam tindakan pertualangan, tidak memperdulikan realitas, suatu kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Ini merupakan sikap pemimpin gerilya palsu, orang yang muak terhadap orang yang tidak lebih memilih kematian daripada kekalahan.

Artiannya…Tak ada satu pun pengecualian dengan peristiwa sekarang kecuali hanya dalam moment berikutnya, hari berikutnya, tahun berikutnya, dunia besok adalah absurd untuk menyakini bahwa harapan dapat direalisasikan dalam dunia ini. Tetapi masa depan, proyeksi dari waktu, akan mendatangkan apa yang tidak bisa diraih”.

Maaf kalau selama ini aku salah duga, ternyata asmara itu tak mudah tak gampang dan tak secengeng yang selama ini kukira kusangka. Memikirkanmu adalah sebuah keasyikkan tersendiri membawa sejuta cerita dalam khayalan aneh, seolah-olah membawa berton-ton molekul uranium siap meledak menyerap antusias dalam diriku, meletup-letup membawa percikkan api semangat. Disini sempat aku berdecak akan keagungan Tuhan “Makmano nian, putih dan manis dapat bersanding, wahai… Nona yang hidup dalam konsep ideal, asli…engkau berputar dalam kepalaku”. Belum jauh aku berdiri hanya tuk sekedar memahami apa yang ku rasa, keadaan telah mencekcoki dengan segala kilas sejarah, “Bagaimana aku mengenalmu, siapa dirimu?”, mungkinkah aku berdiri diruang dan waktu yang salah , dan pasti keadaannya tak semenarik seperti pertemuan para Pencinta yang lain yang mempunyai kendali penuh atas cerita yang akan dilalui. Yang pasti intropeksi ini menbawa angin dingin menyerang gelora dalam dada. Dari sini aku telah terjebak dalam dilema rumit, menemukan dua persimpangan…yang jelas aku tak mempunyai peta atau petunjuk apapun atas langkah mana yang kuambil; “menjunjung profesionalis atau memperjuangkan fitrah yang mengalir begitu saja”.

Yang ku bisa…membiarkan suara dalam hatiku yang selalu menbunyikan cinta, ku percaya dan kuyakini murninya nurani menjadi penunjuk jalanku…lentera jiwaku. Seharusnya kau tau, apa yang ku rasa ketika melawan loncatan proton-neutron, asli… aku tak berdaya ketika memikirkanmu, ketika draft manis wajahmu berputar-putar didalam waktu luangku, saat-saat kesendirian terpaksa ku nikmati.

Jangan benci aku . . .
Karna ini langkah yang ku pilih
Walau 1000 nasihat, menghujat
Walau 1000 pikat menjerat
Aku tak peduli
Aku pernah sakit dan menyakiti
Dan kini bangkit dalam imaji
Selamanya aku tambah tak peduli
Yang ku bisa bersandar bukan menghindar
Jika benar naluri (fitrah) adalah kebenaran
Adakah pembenaran atas keyakinan
Jika cinta ada nilainya
Berapa kau nilai cintaku
Semestinya kau tau
Betapa sering aku merintih,
Berapa lama aku tertatih ?

Dan inilah istimewanya . . .,melahirkan teoritis dalam menantang keadaan agar tunduk dalam imaji yang terpatri dalam otak yang menyimpan konsep ideal. Sebuah kegelisahan yang berwujud dilema ini membangun perisai dalam usaha menenteramkan hati agar terus terjaga memapah keinginan agar sesuai dalam jalur walaupun konsekuensi yang menyakitkan akan segera datang menjajah hari-hari biasaku, menghantam kepentingan-kepentingan pribadiku.

Polos wajahmu nampak begitu suci
Menjanjikan angan terwangi digurat
Senyumnya…ukhh
Itulah kesan yang terlintas
Kala pertama melihatmu
Siapapun tergoda oleh ranum usia remajamu
Walaupun…
Terus bergulir seiring derai tawamu
Diantara deru jalan
Dan gelap pertanyaan setengah tertelan
Apa hendak dikata
Ku hanya terdiam
Saksikan sosokmu pada kenyataan
Oh…Gadis manis
Apa yang ada dibenakmu
Hei…Paras Teduh
Harapku melesat dalam gema langkah terbatah-batah

Tulisan ini, buah pesan dari kegelisahan, ingin ku katakan sendiri padamu dalam kesempatan yang ada tapi itulah… aku tak mempunyai sihir dalam membangun antusias dalam dirimu, disisi lain, akupun mencoba menghindar dari pergulatan egosentrisme yang keliru, yang ku tahu menahan adalah pekerjaan yang sulit tapi apalah dayaku, yang ku bisa mengumpulkan segala aset yang ku punya. Kau membawa sekekelumit kisah indah yang aku sendiri pun kaku bagaimana membahasakannya.

Kalaupun bahasa lisan tak mampu merangkul segala tetek-bengek, aku pun berusaha untuk menyampaikan pesan dalam tulisan mewakili apa yang ku rasa. Dan setiap bait yang kutulis, dan setiap kata yang ku utarakan dan setiap perbuatan dimana ku menurutkan kata hati, bertindak sebagai bukti pengakuan yang tak dapat terelakkan dari sifat dasar naluri sebagai anugerah yang tertanam, dalam-dalam dihatiku, tidak ada rekayasa, tidak ada manipulasi, tidak ada kamuflase, ini pengakuanku yang tak dapat ku ingkari dari keinginan yang tak terelakkan.

Maaf kalau Nona tak berkenan !. Hei… “Paras Teduh yang tak tersentuh polesan pabrik, kapitalisme engkau mengambang 5 cm didepan keningku”. Yang ku tau . . . Ini ketertarikan bukan keterikatan . . . ini pengakuan bukan pembelaan hanya bersandar bukan menghindar.
Semoga ini bukan emosi sesaat... !!!. (akhir sebuah pencarian)



“POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”

Oleh : Abdul Kholek

“Subordinasi terhadap perempuan telah mancapai puncaknya dewasa ini, budaya patriarki secara tidak langsung telah telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki” (ObSeSiKu, 2008 : 119)

Tindakan kekerasan atau kejahatan disebut juga sebagai kriminalitas, kekerasan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir atau warisan), juga bukan warisan biologis (Kartini Kartono, 1981: 121), tindakan kekerasan bisa dilakukan oleh siapapun baik pria maupun wanita, dapat berlangsung pada usia anak dewasa ataupun lanjut usia

Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, dipikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas

Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana

Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang im-moral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelasnya sangat merugikan umum

”Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang tidak pernah berujung dan bertepi, tidak pernah habis di bicarakan dan di diskusikan, fenomena yang selalu hadir dalam dunia realitas dewasa ini dan mungkin akan tetap bertahan dalam realitas di esok hari”

Platform For Action and Beijing Declaration menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986)

Berdasarkan uraian mengenai tindak kekerasan diatas, maka tindak kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu dari banyak pelanggaran terhadap aturan atau norma dalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang tidak pernah habis-habisnya dari masa tradisional sampai pada kehidupan modern sekarang ini, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat, mungkin karena dosa turunan dari budaya patriarki, atau karena belum seriusnya dan belum intensifnya penggulangan yang dilakukan oleh berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang di rugikan oleh fenomena tersebut

Masalah kekerasan pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya tindakan kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempan, sistem ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu. Pada umumnya laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi, sebaliknya perempuan di pandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif (belenggu patriarki)

Jagger dan Rottenberg (2002), memberikan beberapa penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan, yaitu :
1. Secara historis perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas
2. Penindasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana dalam masyarakat
3. Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat
4. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya, meskipun penderitaan ini berlangsung tanpa di ketahui oleh orang lain.

1. Akar Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Perempuan sering di analisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferiror, dimana mereka cenderung sedikit memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluaraga maupun dalam masyarakat yang luas.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dari masyarakat yang masih primitive sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu, banyak faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya faktor budaya, faktor social, dan faktor ekonomi.

a) Faktor Budaya

Kebudayaan menurut E.B Taylor, dalam bukunya primitive culture merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah, sebagai berikut kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan manusia sebagia anggota masyarakat.

Budaya patriarki telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhdap perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa, sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.

Pola budaya seperti inilah yang secara tidak langsung telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki, ”budaya patriarki ibarat busur panah yang selalu mengintai kaum perempuan”

Selain itu faktor kepribadian juga mengambil bagian terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Seseorang yang memiliki sifat dan kepribadian yang keras akan lebih sering malakukan tindakan kekerasan. Kepribadian dan sifat yang keras terkadang menjadi ciri khas dari daerah tertentu, dalam hal ini Ariestoteles, mengatakan bahwa penduduk yang hidup di daerah yang dingin akan cenderung memiliki sifat yang keras, berani dan lainnya, dengan landasan sifat seperti yang diungkapkan oleh Ariestoteles diatas maka seseorang yang mempunyai kepribadian seperti itu akan menjadi sosok yang sering melanggar aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat, kepribadian seperti itu juga sering mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan

Nilai tradisi dan adaptasi juga berpengaruh terhadap kekerasan terhadap peremuan. Tradisi merupakan sifat yang tertanam sejak lama, dan adaptasi merupakan suatu kondisi dimana manusia menyesesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, banyak juga para analisis yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan terjadi, karena tidak mampunya perempuan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, misalkan terjadinya kasus pemerkosaan karena wanita itu memakai pakaian yang tidak sesuai dengan adaptasi yang seharusnya atau kebiasaan di daerah tertentu

Dan unsur yang terakhir yaitu kepercayaan (relegi) juga merupakan penyulut terjadinya kekerasan terhadap perempuan, hal ini di karenakan adanya prasangka terhadap agama tertentu yang berakibat pada timbulnya rasa benci terhadap orang atau komunitas dari agama lain, perempuan merupakan salah satu korban dari rasa tersebut, terjadi pemerkosaan hanya sekedar untuk menarik orang agar masuk kedalam agamanya merupakan hal yang sangat picik dan sangat bertentangan dengan moral dan norma masayarakat.

b) Faktor Sosial

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari individu yang lain, manusia selalu melakukan interaksi dengan individu lain dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas lagi. Masyarakat diatur oleh norma, atau nilai, adat istiadat yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat. Kendatipun demikian tidak berarti kehidupan sosial masyarakat akan selalu lancar stabil dan terintegrasi dengan baik, dan ternyata banyak sekali celah-celah yang mengakibatkan terjadi kesemerautan dalam masyarakat, salah satunya yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan, ini adalah suatu fenomena yang tak kunjung terselesaikan.

Fenomena ini di sebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu faktor sosial. Faktor sosial marupakan factor eksternal munculnya tindak kekerasan, ia disebut sebagai factor eksternal karena factor itu berada di luar individu

Di antara faktor tersebut yang pertama yaitu kegagalan dalam interaksi, menurut Soerjono Soekamto interaksi merupakan cara-cara berhubungan yang dilihat apabilah orang perorangan dan kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Syarat dari interaksi social yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. kegagalan dalam interaksi biasanya di karenakan adanya kemacetan dalam salah satu unsur pembentuk interaksi. Sebagai contoh karena kesalahan dalam komuniksi maka seoarang laki-laki tegah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perlu adanya komunikasi yang efektif sehingga bisa menghasilkan interaksi yang lancar serta manciptakan masyarakat yang tentram

Faktor sosial yang lain yaitu kurang tegasnya pihak yang berwenang dalam mengatasi tindakan kekerasan, hal ini bisa kita lihat dengan rendahnya hukuman para pelaku tindak kekerasan dalam hal apapun termasuk juga kekerasan terhadap perempuan, dan masih banyak lagi factor-faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

c) Faktor Ekonomi

Status sosial merupakan pandangan mangenai kehormatan atau pristise seseorang dapat di berikan oleh keluarga, aktivitas pekerjaan, dan pola konsumsi. Aristoteles seorang ahli filsfat yunani kuno pernah menyatakan bahwa didalam setiap masyarkat selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang sangat kaya, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu sudah mengakui adanya lapisan-lapisan dalam masyarakat atau yang sering di sebut dengan strata social. Menurut para sosiolog, sistem yang berupa lapisan-lapisan sosial itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur

Dalam bidang ekonomi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan biasanya di lakukan oleh lapisan sosial yang rendah, dimana mereka melakukan tindakan itu berdalihkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak mereka untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan, benar atau tidaknya. Alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar pelaku kejahatan itu, menandakan bahwa peran serta sistem perekonomian juga terlibat dalam fenomena sosial tindak kekerasan terhadap perempuan, hal ini bisa menjadi landasan paradigma bahwa pemerataan pembangunan dalam bidang ekonomi akan bisa mengurangi fenomena sosial yang merugikan masyarakat tersebut

Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah tetapi, banyak juga kasus yang terjadi tindakan tersebut dilakukan oleh individu dari kalangan atas, fenomena seperti ini memperlihatkan adanya pola ketergantungan ekonomi, sebagai contoh yang mendukung pendapat ini yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap perempuan sebagai pembantu rumah tangga, tidak menjadi rahasia lagi bahwa keududukan sosial ekonomi telah melahirkan penindasan terhadap perempuan dari lapisan rendah, ketergantungan yang terjadi di sini yaitu dimana kedudukan pembantu sebagai pelayan yang mendapat upah dari majikan tetapi yang terjadi kekuasaan ekonomi atau kekayaan telah membuat orang bertindak arogan dan seenaknya sendiri tanpa memandang moral dan norma yang ada dalam masyarakat

2. Strategi Ideal Pemecahan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Masalah kekerasan terhadap perempuan saat ini terus hangat dibicarakan, namun belum ada realisasi khusus terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Sering kali kekerasan yang di alami oleh perempuan di didiamkan oleh pihak keluarga karena beralaskan pada nama baik, psikologis, kekuasaan dan banyak hal lainnya. Kasus yang diangkatpun terkadang hanya mencuat di permukaan pers dan hilang dengan penyelasaian secara kekeluaragaan, suatu realita yang sangat memilukan dan menyedihkan, padahal kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindakan yang manghambat kesetaraaan , kemajuan dan perdamaian, bahkan dari kaca mata Hak Asasi Manusia (HAM) , fenomena ini merupakan pelanggaran sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari keseluruhan data tindak kekerasan terhadap perempuan di POLTABES PALEMBANG sepanjang tahun 2005-2008, kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah penganiayaan yang mengakibatkan cedera fisik, korban paling banyak adalah perempuan yang mengalami penganiayaan baik ringan maupun berat. 57 % kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual 31 % penganiayaan 14% dan perkosaan 12 %, angka yang cukup memprihatinkan bagi kita semua

Kekerasan terhadap perempuan perlu segera di tangani secara intensif berkesinambungan dan seadil-adilnya, karena secara hukum perbuatan ini merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat di toleril lagi, sebuah kejahatan kemanusian yang cukup memilukan, dan sebuah ancaman terhadap kedamaian yang menjadi utopia semua orang.

Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu ancaman global terhadap kemanusian, dan telah menjadi isu gender yang cukup sentral, mengharuskan kita untuk mengatasi, dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan, beberapa hal yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

1. Perlunya penyuluhan-penyuluhan dan kampanye-kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, terutama dari pemerintah dan juga lembaga-lambaga sosial masyarakat, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memperlakukan wanita sebagai sosok yang perlu di hormati dan dimuliakan

2. Dalam bidang pendidikan diharapkan pihak institusi pendidikan sebagai lembaga sosialisasi formal, untuk turut memberikan materi-materi yang berhubungan dengan kriminalitas dan bahayanya bagi masyarakat, serta memberikan pendidikan agama yang maksimal demi teciptanya individu yang beriman dan berahlak mulia

3. Perlunya pemberian pemahaman di dalam keluarga terutama oleh orang tua untuk selalu mengawasi perekembangan anak, tingkahlaku, tindakan yang mereka lakukan, serta memberikan pemahaman untuk bertindak yang wajar didalam lingkungan masyarakat, misalnya anak perempuan di anjurkan untuk memakai pakaian yang sopan dan banyak hal lainya yang bisa di lakukan dalam pranata keluarga

4. Perlunya peningkatan pembangunan di bidang ekonomi demi menciptkan lapangan kerja baru sehinga banyak menyerap tenaga kerja, karena banyak kasus yang terungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan di lakukan oleh para pengangguran yang tidak mempunyai aktivitas yang pasti, sehingga mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang demi memenuhi kebutuhan, dengan berkurangnya pengangguran maka pasti akan berimbas positip yaitu berkurangnya tindak kekerasan terhadap perempuan

5. Poin yang terakhir ini lebih menekankan pada pelaku, dimana harus diambil tindakan yang refresif antara lain melalui tehnik rehabilitas, menurut Creessy ada dua konsepsi mengenai konsep rehabilitasi, yang pertama yaitu menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut, sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman kurungan dan hukuman penjara, tehnik yang kedua yaitu lebih ditekankan agar pelaku atau penjahat manjadi orang biasa (yang tidak melanggar hukum) dalam hal ini selama dalam manjalani hukuman mereka di beri pelatihan keahlian atau kerajinan supaya mereka setelah keluar bisa menjadi individu yang taat pada peraturan dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dengan berbekal pada keahlian yang didapat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Banyak faktor yang harus di perhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan suatu sistem, pada saat salah satu subsistem tidak berfungsi dengan baik maka akan mengakibatkan kerusakan semua sistem, dalam hal ini suatu permasalan sosial, tidak dapat di selesaikan hanya melalui pendekatan sosial, karena semua unsur berpengaruh dalam hal itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus berperan aktif demi terciptanya lingkungan yang adil, tentram, damai, menjadikan masyarakat yang terintegrasi dengan sempurna.

Referensi :
1. Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
2. Komnas Perempuan.2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Idonesia. Jakarta : Amepro
3. Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta
4. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
5. Syani, Abdul. 1995. Sosiologi Dan Masalah Sosial. Jakarta : Fajar Agung

“POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”

“Subordinasi terhadap perempuan telah mancapai puncaknya dewasa ini, budaya patriarki secara tidak langsung telah telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki” (ObSeSiKu, 2008 : 119)

Tindakan kekerasan atau kejahatan disebut juga sebagai kriminalitas, kekerasan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir atau warisan), juga bukan warisan biologis (Kartini Kartono, 1981: 121), tindakan kekerasan bisa dilakukan oleh siapapun baik pria maupun wanita, dapat berlangsung pada usia anak dewasa ataupun lanjut usia

Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, dipikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas

Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana

Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang im-moral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelasnya sangat merugikan umum

”Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang tidak pernah berujung dan bertepi, tidak pernah habis di bicarakan dan di diskusikan, fenomena yang selalu hadir dalam dunia realitas dewasa ini dan mungkin akan tetap bertahan dalam realitas di esok hari”

Platform For Action and Beijing Declaration menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986)

Berdasarkan uraian mengenai tindak kekerasan diatas, maka tindak kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu dari banyak pelanggaran terhadap aturan atau norma dalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang tidak pernah habis-habisnya dari masa tradisional sampai pada kehidupan modern sekarang ini, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat, mungkin karena dosa turunan dari budaya patriarki, atau karena belum seriusnya dan belum intensifnya penggulangan yang dilakukan oleh berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang di rugikan oleh fenomena tersebut

Masalah kekerasan pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya tindakan kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempan, sistem ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu. Pada umumnya laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi, sebaliknya perempuan di pandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif (belenggu patriarki)

Jagger dan Rottenberg (2002), memberikan beberapa penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan, yaitu :

  1. Secara historis perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas
  2. Penindasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana dalam masyarakat
  3. Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat
  4. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya, meskipun penderitaan ini berlangsung tanpa di ketahui oleh orang lain.


1. Akar Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Perempuan sering di analisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferiror, dimana mereka cenderung sedikit memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluaraga maupun dalam masyarakat yang luas.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dari masyarakat yang masih primitive sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu, banyak faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya faktor budaya, faktor social, dan faktor ekonomi.

a) Faktor Budaya

Kebudayaan menurut E.B Taylor, dalam bukunya primitive culture merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah, sebagai berikut kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan manusia sebagia anggota masyarakat.

Budaya patriarki telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhdap perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa, sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.

Pola budaya seperti inilah yang secara tidak langsung telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki, ”budaya patriarki ibarat busur panah yang selalu mengintai kaum perempuan”

Selain itu faktor kepribadian juga mengambil bagian terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Seseorang yang memiliki sifat dan kepribadian yang keras akan lebih sering malakukan tindakan kekerasan. Kepribadian dan sifat yang keras terkadang menjadi ciri khas dari daerah tertentu, dalam hal ini Ariestoteles, mengatakan bahwa penduduk yang hidup di daerah yang dingin akan cenderung memiliki sifat yang keras, berani dan lainnya, dengan landasan sifat seperti yang diungkapkan oleh Ariestoteles diatas maka seseorang yang mempunyai kepribadian seperti itu akan menjadi sosok yang sering melanggar aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat, kepribadian seperti itu juga sering mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan

Nilai tradisi dan adaptasi juga berpengaruh terhadap kekerasan terhadap peremuan. Tradisi merupakan sifat yang tertanam sejak lama, dan adaptasi merupakan suatu kondisi dimana manusia menyesesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, banyak juga para analisis yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan terjadi, karena tidak mampunya perempuan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, misalkan terjadinya kasus pemerkosaan karena wanita itu memakai pakaian yang tidak sesuai dengan adaptasi yang seharusnya atau kebiasaan di daerah tertentu

Dan unsur yang terakhir yaitu kepercayaan (relegi) juga merupakan penyulut terjadinya kekerasan terhadap perempuan, hal ini di karenakan adanya prasangka terhadap agama tertentu yang berakibat pada timbulnya rasa benci terhadap orang atau komunitas dari agama lain, perempuan merupakan salah satu korban dari rasa tersebut, terjadi pemerkosaan hanya sekedar untuk menarik orang agar masuk kedalam agamanya merupakan hal yang sangat picik dan sangat bertentangan dengan moral dan norma masayarakat.

b) Faktor Sosial

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari individu yang lain, manusia selalu melakukan interaksi dengan individu lain dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas lagi. Masyarakat diatur oleh norma, atau nilai, adat istiadat yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat. Kendatipun demikian tidak berarti kehidupan sosial masyarakat akan selalu lancar stabil dan terintegrasi dengan baik, dan ternyata banyak sekali celah-celah yang mengakibatkan terjadi kesemerautan dalam masyarakat, salah satunya yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan, ini adalah suatu fenomena yang tak kunjung terselesaikan.

Fenomena ini di sebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu faktor sosial. Faktor sosial marupakan factor eksternal munculnya tindak kekerasan, ia disebut sebagai factor eksternal karena factor itu berada di luar individu

Di antara faktor tersebut yang pertama yaitu kegagalan dalam interaksi, menurut Soerjono Soekamto interaksi merupakan cara-cara berhubungan yang dilihat apabilah orang perorangan dan kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Syarat dari interaksi social yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. kegagalan dalam interaksi biasanya di karenakan adanya kemacetan dalam salah satu unsur pembentuk interaksi. Sebagai contoh karena kesalahan dalam komuniksi maka seoarang laki-laki tegah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perlu adanya komunikasi yang efektif sehingga bisa menghasilkan interaksi yang lancar serta manciptakan masyarakat yang tentram

Faktor sosial yang lain yaitu kurang tegasnya pihak yang berwenang dalam mengatasi tindakan kekerasan, hal ini bisa kita lihat dengan rendahnya hukuman para pelaku tindak kekerasan dalam hal apapun termasuk juga kekerasan terhadap perempuan, dan masih banyak lagi factor-faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan.


c) Faktor Ekonomi

Status sosial merupakan pandangan mangenai kehormatan atau pristise seseorang dapat di berikan oleh keluarga, aktivitas pekerjaan, dan pola konsumsi. Aristoteles seorang ahli filsfat yunani kuno pernah menyatakan bahwa didalam setiap masyarkat selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang sangat kaya, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu sudah mengakui adanya lapisan-lapisan dalam masyarakat atau yang sering di sebut dengan strata social. Menurut para sosiolog, sistem yang berupa lapisan-lapisan sosial itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur

Dalam bidang ekonomi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan biasanya di lakukan oleh lapisan sosial yang rendah, dimana mereka melakukan tindakan itu berdalihkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak mereka untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan, benar atau tidaknya. Alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar pelaku kejahatan itu, menandakan bahwa peran serta sistem perekonomian juga terlibat dalam fenomena sosial tindak kekerasan terhadap perempuan, hal ini bisa menjadi landasan paradigma bahwa pemerataan pembangunan dalam bidang ekonomi akan bisa mengurangi fenomena sosial yang merugikan masyarakat tersebut

Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah tetapi, banyak juga kasus yang terjadi tindakan tersebut dilakukan oleh individu dari kalangan atas, fenomena seperti ini memperlihatkan adanya pola ketergantungan ekonomi, sebagai contoh yang mendukung pendapat ini yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap perempuan sebagai pembantu rumah tangga, tidak menjadi rahasia lagi bahwa keududukan sosial ekonomi telah melahirkan penindasan terhadap perempuan dari lapisan rendah, ketergantungan yang terjadi di sini yaitu dimana kedudukan pembantu sebagai pelayan yang mendapat upah dari majikan tetapi yang terjadi kekuasaan ekonomi atau kekayaan telah membuat orang bertindak arogan dan seenaknya sendiri tanpa memandang moral dan norma yang ada dalam masyarakat

2. Strategi Ideal Pemecahan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Masalah kekerasan terhadap perempuan saat ini terus hangat dibicarakan, namun belum ada realisasi khusus terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Sering kali kekerasan yang di alami oleh perempuan di didiamkan oleh pihak keluarga karena beralaskan pada nama baik, psikologis, kekuasaan dan banyak hal lainnya. Kasus yang diangkatpun terkadang hanya mencuat di permukaan pers dan hilang dengan penyelasaian secara kekeluaragaan, suatu realita yang sangat memilukan dan menyedihkan, padahal kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindakan yang manghambat kesetaraaan , kemajuan dan perdamaian, bahkan dari kaca mata Hak Asasi Manusia (HAM) , fenomena ini merupakan pelanggaran sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari keseluruhan data tindak kekerasan terhadap perempuan di POLTABES PALEMBANG sepanjang tahun 2005-2008, kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah penganiayaan yang mengakibatkan cedera fisik, korban paling banyak adalah perempuan yang mengalami penganiayaan baik ringan maupun berat. 57 % kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual 31 % penganiayaan 14% dan perkosaan 12 %, angka yang cukup memprihatinkan bagi kita semua

Kekerasan terhadap perempuan perlu segera di tangani secara intensif berkesinambungan dan seadil-adilnya, karena secara hukum perbuatan ini merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat di toleril lagi, sebuah kejahatan kemanusian yang cukup memilukan, dan sebuah ancaman terhadap kedamaian yang menjadi utopia semua orang.

Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu ancaman global terhadap kemanusian, dan telah menjadi isu gender yang cukup sentral, mengharuskan kita untuk mengatasi, dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan, beberapa hal yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

  1. Perlunya penyuluhan-penyuluhan dan kampanye-kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, terutama dari pemerintah dan juga lembaga-lambaga sosial masyarakat, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memperlakukan wanita sebagai sosok yang perlu di hormati dan dimuliakan

  1. Dalam bidang pendidikan diharapkan pihak institusi pendidikan sebagai lembaga sosialisasi formal, untuk turut memberikan materi-materi yang berhubungan dengan kriminalitas dan bahayanya bagi masyarakat, serta memberikan pendidikan agama yang maksimal demi teciptanya individu yang beriman dan berahlak mulia

  1. Perlunya pemberian pemahaman di dalam keluarga terutama oleh orang tua untuk selalu mengawasi perekembangan anak, tingkahlaku, tindakan yang mereka lakukan, serta memberikan pemahaman untuk bertindak yang wajar didalam lingkungan masyarakat, misalnya anak perempuan di anjurkan untuk memakai pakaian yang sopan dan banyak hal lainya yang bisa di lakukan dalam pranata keluarga

  1. Perlunya peningkatan pembangunan di bidang ekonomi demi menciptkan lapangan kerja baru sehinga banyak menyerap tenaga kerja, karena banyak kasus yang terungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan di lakukan oleh para pengangguran yang tidak mempunyai aktivitas yang pasti, sehingga mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang demi memenuhi kebutuhan, dengan berkurangnya pengangguran maka pasti akan berimbas positip yaitu berkurangnya tindak kekerasan terhadap perempuan

  1. Poin yang terakhir ini lebih menekankan pada pelaku, dimana harus diambil tindakan yang refresif antara lain melalui tehnik rehabilitas, menurut Creessy ada dua konsepsi mengenai konsep rehabilitasi, yang pertama yaitu menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut, sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman kurungan dan hukuman penjara, tehnik yang kedua yaitu lebih ditekankan agar pelaku atau penjahat manjadi orang biasa (yang tidak melanggar hukum) dalam hal ini selama dalam manjalani hukuman mereka di beri pelatihan keahlian atau kerajinan supaya mereka setelah keluar bisa menjadi individu yang taat pada peraturan dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dengan berbekal pada keahlian yang didapat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Banyak faktor yang harus di perhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan suatu sistem, pada saat salah satu subsistem tidak berfungsi dengan baik maka akan mengakibatkan kerusakan semua sistem, dalam hal ini suatu permasalan sosial, tidak dapat di selesaikan hanya melalui pendekatan sosial, karena semua unsur berpengaruh dalam hal itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus berperan aktif demi terciptanya lingkungan yang adil, tentram, damai, menjadikan masyarakat yang terintegrasi dengan sempurna.

Referensi :

1. Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

2. Komnas Perempuan.2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Idonesia. Jakarta : Amepro

3. Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta

4. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

5. Syani, Abdul. 1995. Sosiologi Dan Masalah Sosial. Jakarta : Fajar Agung

Jumat, 24 Oktober 2008

”PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK”

oleh : Abdul Kholek


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional akhir-akhir ini selama beberapa dasawarsa terakhir ini, dan berkembangnya berbagai kemajuan di berbagai bidang atau yang lebih sering disebut modernisasi telah memberikan warna tersendiri dalam peradaban manusia diabad ini. Tidak dapat dipungkiri akan besar manfaat yang telah dirasakan oleh berbagai pihak, tetapi yang menjadi masalah yaitu ternyata dalam dunia realitas manfaat tersebut hanya terpusat dan didominasi oleh kaum menengah keatas dan dalam persfektif gender laki-laki masih mendominasi kemajuan dalam berbagai bidang.

Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan tercermin terutama pada kualitas hidup. Kualitas hidup perempuan di ASEAN yang tercermin pada tingginya angka kematian ibu malahirkan, dan rendahnya tingkat kesehatan dan status gizi. Selain kesehatan, asfek lain yang menggambarkan rendahnya posisi dan kedudukan permpuan di Indonesia adalah pendidikan, ekonomi dan politik ( Siti Musdah 2001 :108)

Kesehatan, pendidikan, ekonomi dan politik sebagai basis utama permasalahan kesenjangan gender telah menarik berbagai pihak untuk meneliti dan juga melihat relaitas sebenarnya dari ketidakadilan dan ketimpangan antar laki-laki dan perempuan tersebut. Pertama kesehatan dan status gizi perempuan sampai saat ini masih merupakan masalah uatama dan semakin memprihatinkan dengan adayna krisis ekonomi yang tak kunjung padam. Angka kematian bayi (AKI) akibat melahirkan meduduki peringkat tertinggi di ASEAN. Jumlahnya sekitar 308 per 100.000 kelahiran, atau rata-rata 15.000 ibu yang meninggal setiap tahun kerena melahirkan. Kedua asfek pendidikan, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki unutk tingkat pendidikan SD dan SMP secara umum sudah semakin seimbang. Hal ini dimungkinkan karena sudah adanya program Wajib Belajar 9 Tahun. Akan tetapi hal ini tidak berarti dalam dunia pendidikan tidak ada lagi ketidaksetaraan gender, dalam realitasnya semaki tinggi jenjang pendidikan maka semakin sedikit perempuan yang masuk didalamnya. Dalam asfek ekonomi permpuan yang memimpin usaha hanya 0,4 %. Asfek yang lainnya yaitu politik juga sangat rentan akan terjadinya kesenjengan dan dikriminasi gender.

Konsep dari UUD 1945, GBHN 1988 dan 1993 yang isinya penghapusan terhadap diskriminasi terhadap permpuan, terutama dalam persamaan hak dan kedudukan perempuan sebagai peserta pengambil keputusan, dan peran dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial maupaun budaya ( UU NO 7 tahun 1994) Pada kenyataannya dalam dunia realitas perempuan selalu dihadapkan pada kondisi ketidakbedayaan, baik dalam pemenuhan praktis gender maupun kebutuhan strategis gender.

Masalah-masalah perempuan yang terjadi akibat fanatisme budaya patriarki yang dianut oleh sejumlah masnyarakat indonesia menyatakan bahwa perempuan selalu dianggap sebagai kelas nomor dua selalu berada dibawah laki-laki dan tersisihkan. Tentunya hal ini akan membuat perempuan selalu tersingkirkan dari dunia publik ( Jurnal Perempuan, no 19 tahun 2001 ).
Dunia politik sebagai salah satu asfek yang menarik untuk diteliti, apalagi ada penjatifikasian bahwa wilayah atau ranah politik hanya diminati oleh laki-laki dan sedikit sekali perempuan berperan katif didalamnya, seperti dapat dilihat data dalam tabel berikut :

Tabel 1
Jumlah Perempuan Dalam Legeslatif
No
Masa Jabatan
Perempuan
Jumlah
%
1
1950 – 1955
9
236
3,8
2
1955 – 1960
17
272
6,3
3
1956 – 1960 (konstituante)
25
488
5,1
4
1971 – 1977
36
460
7,8
5
1977 – 1982
29
460
6,3
6
1982 – 1987
39
460
8,5
7
1987 – 1992
65
500
13
8
1992 – 1997
62
500
12,5
9
1997 – 1999
54
500
10,8
10
1999 – 2004
45
500
9
Sumber : jurnal perempuan tahun 2001

Tabel tersebut menggambarkan akan suatu realitas yang cukup nyata akan adanya kesenjangan gender dalam dunia politik, dari tahun awal adanya parlemen dinegeri hingga memasuki era reformasi perempuan dalam parlemen masih sangat minim sekali, angka tertinggi yaitu periode 1992 – 1997 sebanyak 12,5 %. Secara tidak langsung dengan minimnya anggota perempuan dalam parlemen (DPR) akan berimbas pada output kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif gender dan terkadang bias gender. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana partisipasi perempuan dalam partai politik. Partai politik sebagai wadah para politikus untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi tempat yang berbahaya sehingga pertisipasi perempuan pun samapai saat ini masih relatif rendah.

1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam makalah dan analisis ini yaitu :
1.Bagaimana konsep gender yang ada dalam realitas politik ?
2.Bagaimana partisipasi perempuan dalam partai politik ?
3.Apa yang menjadi hambatan partisipasi perempuan dalam partai politik ?
4.Bagaimana solusi yang tepat untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam dunia politik ?

I.3. Tujuan
I.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam makalah (analisis) ini adalah untuk mengetahui gambaran umum mengenai partisipasi perempuan dalam realitas dunia politik.

I.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah (analisis) ini adalah sebagai berikut :
a)Untuk memberikan gambaran umum mengenai konsep gender yang ada dalam dunia politik
b)Untuk mengetahui dan mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam partispasi perempuan di dunia politik
c)Untuk memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam politik.

I.4. Manfaat
I.4.1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan teoritis mengenai partisipasi perempuan dalam dunia politik. Serta memperkaya khasanah bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi dalam mengkaji dan menganalisis berbagai dimensi yang berkaitan dengan masalah gender dan politik

I.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah :
a)Dapat digunakan untuk pengkajian yang lebih mendalam mengenai partisipasi perempuan dan politik
b)Sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk memperhatikan permasalahan gender secara konfrehensip dalam pembangunan diberbagai bidang.


BAB II PEMBAHASAN

2.1. Konsep Gender Dalam Realitas Politik

Permasalahan gender akhir-akhir ini terutama setelah bergulirnya orde reformasi, semakin menggelinding, menembus sekat-sekat birokrasi, perguruan tinggi, rumah tangga, bahkan institusi agama. Institusi agama sebagai sarang konservatif terhadap arus perubahan kontemporer dan sekuler lambat laun juga merespon wacana tersebut. Konsep gender yang pada mulanya berasal dari negara barat ternyata dengan kemajuan teknologi, dan informatika telah cepat merebak seakan bola salju yang terus menggelinding dan semakin membesar, akhirnya diadopsi oleh banyak negara terutama negara dunia ketiga, termasuk bangsa indonesia.

Walaupun pembicaraan mengenai gender sudah hampir merebak keseluruh sistem masyarakat tetapi kesalah pahaman dan pemahaman yang keliru mengenai konsep gender masih banyak terjadi. Hal ini wajar karena antusias mayarakat megenai permasalahan gender bisa dikatakan masih berumur sangat mudah, dan sosialisasi pihak pemerintah masih sangat minim walupun ternyata dana untuk sosialisasi sudah mencapai anggka yang cukup besar.

Kesalahpahaman yang sering terjadi dalam masyarakat yaitu mereka mengangap gender adalah jenis kelamin sehingga pembicaraan mengenai genderpun masih sangat tabu terutama dalam masyarakat yang masih memagang teguh adat istiadat tradisional. Padahal secara subsatansial kedua konsep itu jauh berbeda, hal ini sesuai dengan pendapat yang di kemukakan oleh banyak ahli dan pakar dibidang ilmu sosial dan juga dari ilmu eksak.

Menurut Siti Musdah Mulia (2001 : 12) bahwa konsep sex atau jenis kelamin dan konsep gender berbeda. Menurutnya sex adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki venis, testis dan sperma sedangkan pempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda dan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Misalnya permpuan dapat mengandung, melahirkan dan bisa menyusui, sementara laki-laki memproduksi sperma, perbedaan bilogis tersebut bersifat kodrati. Sedangkan gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Sebagai contoh laki-laki sring digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, rasional, dan tegar. Sebaliknya perempuan digambarkan dengan pigur yang lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh dan lembut gemulai.

Penjelasan mengenai konsep sex dan konsep gender dalam uraian diatas telah memperlihatkan suatu perbedaan yang jelas. Dari penjelasan tersebut dapat dirumuskan bahwa sex adalah suatu konstruksi bilogis sedangkan gender sebagai konstruksi sosial. Gender sebagai konsep yang dualisme bukan merupakn konsep yang dapat berdiri sendiri, sehingga gender akan mendapat makna pada saat melekat pada konsep atau juga asfek-asfek lain yang ada dalam mesayarakat. Misalnya muncul istilah kesetaraan gender, ketidakadilan gender, bias gender, gender dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain.

Dunia politik sebagai salah satu bagian realitas kehidupan manusia menjadi salah satu asfek kehidupan yang akan mengantarkan orang yang berani untuk bermain didalamnya kepada suatu tujuan puncak yaitu kekuasaan (power). Pada akhir-akhir ini banyak orang yang menyadari bahwa politik melekat pada lingkungan hidup mereka. Politik hadir dimana-mana, disekitar kita. Sadar atau tidak, mau tidak mau politik ikut mewarnai kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masayarakat. Aristoteles mangatakan bahwa politik merupakan master of science karena menurutnya bahwa pengatahuan tentang politik dan dunia politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan (Ramlan Surbakti,1992 : 1)
Sebagaimana telah dijelaskan mengenai realitas politik dan konsep gender diatas maka konsep gender dalam dunia politik merupakan suatu konstruksi sosial kedudukan, peran, tanggaung jawab, kewajiban dan hak perempuan dan laki-laki dalam dunia politik. Keseimbangan dan keadilan merupakan suatu tujuan dari hakikat konsep gender yang harus menjadi landasan dalam kehidupan politik.

2.2.Partisipasi Perempuan Dalam Partai Politik
Partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang di persatukan dan di motivasi dengan ideologi tertentu, dan berusaha mencari serta mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara yang lain yang sah (Michael Rush, 1992 : 113)

Fungsi utama partai politik ialah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Adapun beberapa fungsi dari partai politik yaitu dapat dijelaskan dalam uraian berikut :

1.Sosialisasi politik
Sosialisasi politik dibagi dua yakni: pertama, pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan memperlajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik , dan peserta didikdalam rangka pemahaman, penghayatan, pengamalan nilai, norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. Dan indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa ideal dan baik.

2.Rekrutmen politik
Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi rekruitmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu fungsi rekruitmen politik ini sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

3.Partisipasi politik
Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud, antara lain, mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, mengajak para anggota dan anggota masyarakat untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi, partai politik merupakan wadah partisifasi politik.

4.Pemadu kepentingan
Untuk menampung dan memadukan berbagi kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan maka partai politik dibentuk. Kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang dimaksu dengan Pemaduan kepentingan.

5.Komunikasi politik
Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak menyampaikan begitu saja segala informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada pemerintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi (komunikan) dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan. Dengan demikian segala kebijakanyang biasanya dirumuskan dalam bahasa teknis dapat diterjemahkan kedalam bahasa yang dipahami masyarakat. Sebaliknya, segala aspirasi, keluhan dan tuntutan masyarakat yang biasanya tidak terumuskan dalam bahasa teknis dapat diterjemahkan oleh partai politik kedalam bahasa yang dapat dipahami oleh pemerintah. Jadi, proses komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat dapat berlangsung secara efektif melalui partai politik.

Pada kenyataannya dalam implementasinya fungsi tersebut terkadang tidak jalan seluruhnya, hanya sebatas konsep dan bahkan ada juga pengahambatan-pengahambatan karir (diskriminasi) berdasarkan suku, jenis kelamin dan lain sebagainya, begitu juga dalam partisipasi perempuan dalam partai politik sehingga muncul juga ketidaksetaraan gender dalam politik.
Peran aktif dalam pembangunan sesungguhnya banyak diperankan oleh kaum perempuan, namun kenyataannya masih banyak anggapan bahwa perempuan hanya sebagai pihak penerima. Studi yang dilakukan oleh Lembaga Riset Pembangunan Sosial (UNRISD) menyatakan bahwa laki-laki yang terpilih menduduki jabatan eksekutif dan legislatif, yang memegang kendali atas pembuatan keputusan bagi prioritas pembangunan, sebagian besar tidak menyadari kebutuhan rumah tangga dan hubungannya dengan pembangunan sosial ekonomi pada tingkat masyarakat, kota, provinsi, maupun tingkat nasional. Namun perjuangan kaum perempuan tidak pernah berhenti denyut nadinya. Perjuangan untuk memperoleh hak asasinya di dalam politik, sosial, ekonomi, pemerintahan dan di bidang lainnya masih terus digaungkan.

Ketentuan perundang-undangan di Indonesia sudah memberi peluang yang sama bagi semua warga negara, laki-laki dan perempuan. Siapapun warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil. UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28-D ayat (3) menyebutkan : Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Wujud dari perjuangan perempuan Indonesia memperoleh perhatian untuk memuluskan jalannya untuk menikmati haknya tersebut menemukan titik terangnya manakala Indonesia memiliki seorang kepala negara seorang perempuan. Perjuangan ini bukanlah perjuangan seseorang atau beberapa orang namun perjuangan banyak perempuan yang merasa cukup lelah dengan ketimpangan perlakuan yang dirasakan kurang adil. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%. Meskipun kata ”memperhatikan” disini belum merupakan ”keharusan” yang harus (tidak bisa tidak), ini membuktikan perempuan Indonesia telah mampu membuka lembaran baru dalam suatu Undang-Undang Politik untuk menyebutkan secara jelas suatu target ”kuota” dalam angka yang diharapkan mampu menjadi titian tangga menuju arena para pemain dalam proses pembuatan suatu keputusan.

Perempuan berkeinginan untuk bisa mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan dan keluarga mereka, perekonomian dan taraf hidup masyarakat, dan pembangunan negaranya. Esensi perjuangan itu direpresentasikan dengan partisipasi perempuan dalam politik. Hal itu juga memungkinkan perempuan dan laki-laki memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hak-hak asasinya serta membuka jalan untuk menyeimbangkan alokasi sumber daya pembangunan agar dinikmati dalam kehidupan perempuan dan laki-laki secara merata. Perempuan menyadari bahwa partisipasi ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan, maka diperlukan suatu lingkungan institusi yang kondusif dalam memberdayakan perempuan di segala bidang pembangunan. Keinginan perempuan untuk memperoleh keadilan adalah hak asasi yang sangat manusiawi. Tata pemerintahan adalah mencakup semua institusi dan organisasi dalam masyarakat, dimulai dari keluarga sampai negara. Justru karena perempuan diindentikkan dengan ibu rumah tanggalah semestinya disadari oleh semua pihak bahwa kaum perempuanlah yang berperan sebagai tiang negara.

Peran perempuan tidak boleh diabaikan, betapa besar tanggungjawab yang di emban, menyeimbangkan waktu antara tanggungjawab sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam suatu negara dengan tanggungjawab mengurus rumah tangga.

Partisipasi perempuan dapat dimulai dari lingkungan rumah tangga, desa, kota, hingga tingkat nasional bahkan internasional. Dalam tingkat mikro perempuan berperan dalam lingkungan rumah, di tingkat organisasi masyarakat dan bahkan ke tingkat makro yaitu partai politik, parlemen dan di struktur pemerintahan. Para pemimpin partai politik sudah seharusnya mulai memperhatikan kebijakan kesetaraan gender dan segera mengimplemetasikannya. Sehingga kata-kata ”kesetaraan gender” bukanlah hanya sekedar retorika dan angka 30% hanya tinggal sebagai simbol. Perhatian disini bukan dalam artian ”kuantitas” namun dengan menempatkan kaum perempuan dengan ”kualitas” yang pantas ditempatkan pada nomor ”prioritas”. Mengacu kepada prinsip hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, dan target 30% kursi mengisyaratkan kepada partai-partai politik untuk memfasilitasi partisipasi yang seimbang bagi kedua gender dengan lebih membuka diri kepada tuntutan perempuan.

2.3. Hambatan Partisipasi Perempuan Dalam Partai Politik

Hambatan merupakan hal yang cukup wajar terjadi dalam setiap program ataupun suatu kebijakan yang telah dikelurkan oleh berbagai lembaga baik eksekutif, legeslatif dan yudikatif karena dalam kehidupan masyarakat memang selalu ada perbedaan, belum lagi ditambah kondisi masyarakat yang sangat plural seperti bangsa Indonesia. Partisipasi perempuan dalam partai politik dalam tataran konsep sebenarnya sudah mulai terbuka dan sudah mulai akan bangkit setelah kebijakan sistem yang selalu mencabut hak perempuan untuk berperan aktif dalam politik mulai luntur sejak keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%

Secara garis besar ada dua hambatan utama yang menghambat partisipasi perempuan dalam partai politik, hambatan tersebut yaitu :

1.Tidak sejalannya antara konsep dengan implementasi
Undang-Undang, perturan pemerintah, instruksi presiden dan peraturan pemerintah daerah yang di buat untuk memudahakan perempuan dalam mengakses dan terlibat dalam berbagai lingkungan. Dalam bidang politik seperti yang telah di sebutkan diatas mengenai UU tentang pemilihan umum yang mengharuskan 30 % perwakilan calon legeslatif adalah perempuan. Tetapi pada tataran implementasinya masih jauh dari harapan yang dinginkan oleh UU tersebut, banyak hal yang melatar belakangi salah satunya yaitu kerana tidak sejalannya kerangka tahnis dan kerangka dasar (konsep dasar), pada kenyataannya nomor urut calon legeslatif menjadi kunci utama naik atau tidaknya seorang calon anggota dewan, dimana urutan teratas masih di dominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga 30 % yang diharapkan hanya sebatas retorika kosong tanpa makna.

2.Budaya politik

Budaya politik merupakan pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota sistem politik. Budaya politik sebenarnya sesuatu yang inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem politik tardisional, transisional, maupun modern. Sebagaimana konsep kebudayaan juga terdapat dalam masyarakat primitiv dan pada masyarakat modern.
Menurut Amond dan Powell, budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa juga pada pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat. Budaya politik seperti halnya kebudayaan mempunyai asfek dan jangkauan yang cukup luas sekali.

Budaya politik secara tidak langsung dapat juga dilihat sebagai konstruksi budaya masyarakat yang masuk dalam ranah politik, konsepsi inilah yang terkadang memberikan warna politik yang sangat berbeda anatara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Budaya politik mempunyai berbagai tipe yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, tipe-tipe tersebut yaitu :

a). Budaya politik parokial (parocial political culture) adalah budaya politik yang terbatas pada wilayah yang sempit dan seringkali kepemimpinan dan keterlibatan elit politik merambah keseluruh asfek kehidupan, budaya politik seperti ini menandakan suatu kondisi masyarakat yang tradisional atau sederhana. Pada kebudayaan ini anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas kecuali dalam batas tertentu,

b). Budaya politik kuala (subject political culture) adalah suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin juga kesadaran, terhadap sistem sebagai keseluruhan, terutama segi outputnya. Sedangkan perhatian yang frekuensinya masih sangat rendah atas asfek infut serta kesadarannya sebagai aktor politik boleh dikatakan nol. Dalam masyarakat ini terdapat pandangan bahwa masyarakat terbagi dalam herarkis dimana kedudukan akan politik dan juga sebagai masyarakat biasa sebagai hal yang kodrati sehingga perkembangan politikpun terhambat,

c). Budaya politik partisipan (participant political culture) adalah suatu kondisi dimana masyarakat sudah mempunyai kesadaran akan kehidupan politik dan berperan aktif dalam duania realitas politik praktis. Seseorang dengan sendirinya menyadari hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya), dan dapat merealisasikan dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya. Sehingga pemikiran-pemikiran kritis sudah mulai akrab dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat Indonesia yang multi kultur budaya politik yang mendominasi yaitu budaya politik parokial-koala, dan yang paling nyata terlihat yaitu kecenderungan budaya politik indonesia yang masih memegang teguh paternalisme dan sifat primordial, sering juga disebut budaya politik bapakisme, karena pengaruh budaya tradisional yang masih sangat kuat maka marjinalisasi serta diskriminasi partisipasi perempuan dalam kanca perpolitikan nasional, lokal ataupun daerah masih sangat sering terjadi.

Hal ini bisa lihat dari partisipasi perempuan dalam politik terutama dalam Pemilihan Umum 2004 yang lalu masih terbentur pada budaya patriarki yang sudah mengakar di Indonesia. Budaya ini dapat menghambat aktivitas perempuan dalam berpolitik. Apalagi untuk perempuan yang sudah menikah. Budaya patriarki telah menenggelamkan kaum perempuan tidak hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga telah memasung kaum perempuan dengan menempatkan posisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan. Perempuan juga tidak punya peranan dalam dunia politik.

2.4. Solusi Untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Dunia Politik
Dalam penjelasan mengenai hambatan partisipasi perempuan dalam partai politik ada dua akar masalah yaitu pertama ketidak sejalannya anatar konsep dasar dengan implementasi atau dengan kata lain Undang-Udang masih di selewengkan dalam politik praktis, kedua budaya politik dimana suatu budaya tradisional, terutama paternalisme masih berdiri kokoh di depan gawang dunia politik. Dari kedua permasalah dasar tersebut dalam diambil beberapa alternatif sebagai solusi setidaknya akan dapat meinimalisir diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia politik.

Ada beberapa solusi yang ditawarkan dalam makalah ini yang tentunya berangkat dari kedua permasalahan dasar atau akar masalah dalam hambatan diatas, hal ini akan uraikan dalam bahasan berikut :

1.Mengintensifkan pemberdayaan perempuan
Keterlibatan Semua Pihak adalah kata kunci dari keberhasilan pemberdayaan perempuan. Kampanye yang dilakukan oleh aktivis LSM dan mahasiswa untuk tidak memilih figur politisi bermasalah utamanya karena pernah melakukan kejahatan/pelecehan seksual terhadap perempuan, adalah perkembangan kepedulian publik terhadap keadilan gender. Hal ini perlu didukung dan dilanjutkan dengan memublikasinya agar kaum perempuan sebagai kelompok yang berkepentingan bisa menentukan aspirasinya secara rasional. Hal inilah yang membutuhkan perhatian yang ekstra oleh berbagai pihak dalam memberdayakan perempuan dalam berbagai asfek kehidupan.

Peningkatan kualitas upaya mencapai kuota minimum jumlah perempuan di parlemen tidak bisa dilepaskan dengan upaya peningkatan kualitas dari kaum perempuan itu sendiri. Tanpanya, kesempatan apa pun yang diberikan melalui ketentuan untuk memberikan ruang politik yang lebih luas bagi perempuan, tidak akan menghasilkan perbaikan yang berarti. Dengan demikian, diperlukan upaya yang sistematis dan terprogram untuk meningkatkan kapasitas politik perempuan.

2.Mengintensifkan pendidikan gender dan sosialisasi konsep gender

Pendidikan merupakan langkah awal dalam penanaman nilai serta aturan kepada seorang individu pemahaman mangenai kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri. Dalam hal ini harus ditingkatkannya pendidikan intensif berwawasan gender dalam keluar terutama memberikan penyuluhan pada keluarga baik ayah juga ibu, sehingga pemahaman yang didapat akan seimbang dan setelah tahapan implementasinya yaitu dilingkungan keluarga akan menghasilkan output anak-anak yang sensitif dan peka gender.
Lawan utama kesetaraan gender yaitu budaya patriakis, hal ini juga diungkapkan oleh Gadis Arivia Perempuan sepanjang masa harus selalu memerangi berbagai ketololan hasil budaya patriarki, hingga saat ini. Bila dulu perjuangan perempuan diawali dengan mengangkat bedil, kini dengan menggunakan informasi. Bagaimana pun, era informasi akan sangat menguntungkan perempuan dimana komunikasi dan networking adalah dua permainan yang sangat dikuasai perempuan.Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan

3.Penguatan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang
Baik UU, Instruksi Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan pemerintah daerah, yang menekankan pada asfek keadilan dan kesetaraan gender diantaranya, yaitu Perlindungan diskriminasi ( Pasal 28 UUD 1945 ), Undang-Undang Politik (UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum, pasal 65 (1), Mewajibkan parpol peserta pemilu untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk setiap daerah pemilihan ,Perlindungan kekerasan ( UU No 23 Tahun 2004 PKDRT ) , perlindungan serta sanksi pidana bagi pelaku dan Instruksi Presiden RI no 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG).
Dalam pelaksanaan dunia realitas ternyata perempuan masih termajinalisasi, di diskriminasi dan dianggap sebagai warga kelas dua setelah laki-laki, fenomena ini seharusnya dijadikan sebagai suatu dasar untuk mengevaluasi undang-undang, pertaruan, dan juga inpres untuk mengetahui dimana letak adri kegagalan penerapan konsep gender yang diamanakan dalam undang-undang, dengan adanya evaluasi yang intensif, komfrehensif, dan juga konsisten akan menghasilkan suatu pencerahan baru dalam dunia pengambil kebijakan terutama, legeslatif, eksekutif dan juga yudikatif. Sehingga pembangunan berwawasan gender akan terlaksana dari herarkis atas sampai pada herarkis paling bawah. Dan akan berimbas positif munculnya kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat juga dalam dunia politik.

4.Penerapan startegi pengarusutamaan gender (PUG)
Pengarusutamaan gender merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat, ada tiga konsep dasar yang harus diterapkan dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender yaitu : a). Menempatkan individu sebagai manusia seutuhnya, prinsip ini berasal dari paradigma politics of difference (politik perbedaan) yang melihat laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang memikul tanggung jawab masing-masing. Kemanusia laki-laki dan perempuan harus mendapat penghormatan dan penghaergaan yang sama. Prisip individu sebagai manusi sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia yang menganggap laki-laki da perempuan sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi, b). Demokrasi, berarti keterlibatan anggota sipil dalam proses-proses pemerintahan. Demokrasi juga meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dalam membangun dan merancang kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Perlu diselenggarakan forum-forum dimana perempuan dan laki-laki dapat menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya. Merekalah yang bisa memastikan agar sumber daya di alokasikan berdasarkan pemangku kepentingan, c). Fairness, jistice, dan equity, prinsip ini yaitu pemertaan , pegeakan hukum dan kesetaraan dan yang di sebut keadilan sosial.
Ketiga prinsip dasar pengarusutamaan gender (PUG) diatas harus menjadi kerangka awal, keragka dasar dalam berbagai kebijakan yang dikelurkan khususnya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan.



BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Partisipasi perempuan dalam dunia politik akhir-akhir ini sudah memperlihatkan kemajuan yang cukup pesat, walaupun secara umum perempuan masih sering dimarjinalisasi, dideskriminasi, dan juga dianggap sebagai warga kelas dua setelah laki-laki, yang mendasari masih besarnya jurang pemisah ketidakadilan dan ketidaksetaran gender, yaitu karena dua faktor yang dominan yaitu masih kuat berdiri kokohnya budaya patriarkis dalam msyarakat dan yang kedua yaitu tidak sejalannya antara konsep dangan impelmentasinya dalam dunia realitas.
Permasalahan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender merupakan permaslahan yang cukup konflek dan memprihatinkan, sehingga penyelesaiannya pun perlu harus multi disipliner, kemprehensif, intensif dan konsisten demi mencapai suatu tujuan bersama yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia, baik perempuan amupun laki-laki.

3.2. Saran
Permaslahan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender harus benar-benar di perhatikan oleh berbagai pihak terutama oleh pihak legeslatif, eksekutif dan yudikatif, karena permalahan ini merupakan permasalahan bersar yang akan mengahambat kemajuan di berbagaia bidang dan sektror kehidupan berbangsa dan bernegara.


DAFTAR PUSTAKA


Achdian, Andi. 1997. 1996 Tahun-Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta : Yayasan LBH

Arivia, Gadis. 2001. Jurnal Perempuan No 19. Jakarta : Yayasan Jurnal Permpuan

Kantaprawira, Rusadi. 1999. Sistem Politik Indonesi. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Musdah, siti. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam. Jakarta : Depag RI

Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta

Soedibyo, Mooryati. 2003. Memberdayakan Peran Polotik Perempuan. Sinar Harapan

Surbakti, Ramlan. 1992. Mamahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Widyasarana Indonesia

Trista Agustiani, Endah .dkk. 1999. Penegakan Hak-Hak Perempuan. Palembang : Yayasan Owa Indonesia

Venny, Adriani. 2006. Jurnal Perempuan Pengarusutamaan Gender. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan