Selasa, 06 April 2010

APOLLO 13 DAN DOMINASI RASIONALITAS INSTRUMENTAL, Suatu Telaah Teori Kritis

Oleh : Abdul Kholek.

Pada era 1960-an, Amerika sedang getol-getolnya mengadakan perlombaan luar angkasa dengan Uni Sovyet. Hal ini juga didorong oleh visi Presiden John F. Kennedy pada tahun 1961 yang mencanangkan bahwa manusia harus bisa mendarat di bulan sebelum akhir dasawarsa 1960. Cita-cita Kennedy ini akhirnya tercapai pada 20 Juli 1969, setelah misi Apollo 11 yang membawa astronot Neil Armstrong, Buzz Aldrin, dan Michael Collins berhasil mendarat di bulan.

NASA kembali meluncurkan misi Apollo 13 pada 11 April 1970. Misi tersebut membawa astronot James Lovell, Jack Swigert, dan Fred Haise. Namun, misi tersebut tidak semulus misi-misi sebelumnya. Dua hari setelah peluncuran, terjadi ledakan pada wahana Apollo 13 yang disebabkan adanya kerusakan pada tangki oksigen. Hal ini antara lain mengakibatkan pasokan listrik yang ada menurun secara drastis.

Wahana Apollo 13 pun praktis lumpuh, dan terancam tidak bisa kembali ke bumi. Karena itu, Pusat Kendali Misi NASA yang ada di Houston kemudian memutuskan untuk membatalkan misi pendaratan di bulan dan berupaya untuk membawa para astronot kembali secepat mungkin ke bumi.

Itulah cuplikan singkat peluncuran Apollo 13 dari realitas yang divirtualkan. Masyarakat dunia di waktu itu tertuju pada antusiasme menyaksikan kemajuan teknologi. Inilah puncak kemenangan positivisme, manusia tidak lagi menghadapi alam dengan ketakutan melainkan dengan kalkulasi. Dari proses perakitan elemen-elemen roket Apollo telah menggunakan hitungan matematis, hinggi misi penyelamatan yang dilakukan oleh pusat pengendali di Houston, ketika terjadi kerusakan pada Apollo 13.

Dalam tinjauan teori kritis, perkembangan masyarakat modern yang diawali dengan semangat pencerahan melalui cara berpikir positivistik dan ilmu-ilmu alam telah meruntuhkan belenggu pemahaman mitologis. Tetapi menurut Adorno dan Horkheimer cara berpikir positivistik dan ilmu-ilmu alam itu sendiri sebenarnya merupakan mitos baru yang lahir dari mitos lama yang telah ditaklukkannya (F. Budi Hardiman, 2009 : 69).

Motif peluncuran Apollo 13 membawa misi ideologis pernyataan Presiden Amerika John F. Kennedy, yang mencanangkan manusia harus bisa mendarat kebulan merupakan selubung positivistik yang sebenarnya tidak objektif dan tidak bebas nilai (value-free). Jelas terlihat adanya keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan praksis ideologis. Kondisi ini menggambarkan bahwa ide pencerahan yang diwujudkan dalam positivistik hanya sebuah instrumen dari hegemoni ideologis melalui rasionalitas instrumental.

Herbert Marcuse, menjadikan muatan politis nalar teknis, sebagai titik awal kritiknya atas kapitalisme lanjut. Marcuse menyatakan bahwa rasionalitas formal (teknologis) telah menghapus kepentingan sosial yang menentukan penerapan teknik-teknik tertentu (Thomas Mc Carthy, 2006 : 23).

Apollo 13 merupakan lanjutkan program antariksa Amerika Serikat, telah menghipnotis masyarakat atau memenjarakan masyarakat kedalam perangkap dominasi positivistik. Mereka beranggapan kemajuan tersebut merupakan sebuah kebanggaan berharga bagi mereka, padahal dibalik perkembang ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut ada muatan-muatan ideologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sindunata dalam dilema usaha rasional, bahwa terjadinya penipuan ideologis karena eksistensi individu hanya digambarkan sebagai sesuatu yang luhur sedangkan sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya individu justru diperbudak dan penguasa yang berhak menentukan tujuan individu (Sindhunata, 1983 : 83).

Hegemoni rasionalitas instrumental sangat kentara sekali dalam usaha menyukseskan proyek antariksa Amerika Serikat. Hasil yang dicapai selalu bersandar pada cara berpikir logika formal dan matematis. Rasio hanya menjadi instrumen belaka, sebagai alat kalkulasi, verifikasi, pelayan klasifikasi yang setia pada tujuan diluar dirinya yaitu kepentingan ideologis. Di balik rasionalitas yang dibangun ternyata memunculkan irrasionalitas baru. Sehingga rasionalitas instrumental tidak lain hanyalah mitos baru dalam masyarakat modern.

Daftar Referensi :

Mc Carty, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Budi Hardiman, F. 2009. Menuju Mayarakat Komunikatif, ilmu, masyarakat, politik dan postmodernismo menurut Jurgen Habermas. Kanisus. Yogyakarta.

---------. 2009. Kritik Ideologi, menyikapi pertauatan pengatahuan dan kepentingan bersama Jurgen Habermas. Kanisus. Yogyakarta.

Shindunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional, kritik masyarakat modern oleh Max Horkheimer dalam rangka Sekolah Frankfurt. PT. Gramedia. Jakarta.




Selasa, 23 Februari 2010

“Akhir Kerja Pansus Century; Menguji Kesetiaan Koalisi”

Oleh : Abdul Kholek

“Dua arah kesetian yang akan muncul diakhir kesimpulan pansus yaitu berhasilnya lobi yang menandakan kesetian pada kekuasaan, atau tetap konsisten pada kesimpulan awal yang menandakan kesetian pada konstituen politik”

Kerja panjang dan melelahkan dalam Pansus Century hampir usai. Pemanggilan beberapa pejabat penting untuk mengklarifikasi kebijakan pengucuran dana kepada Bank Centuy yang mencapai 6,7 Triliun menjadi agenda utama pansus. Terjadi perdebatan yang cukup alot antara fraksi yang tergabung dalam pansus, pro kontra dan saling tuding menjadi bagian yang tidak lepas dari proses tersebut. Warna baru dalam pencarian kebenaran dan pembenaran dalam parlemen yang mulai terlihat demokratis.

Mengapa sampai terjadinya pengucuran dana sebesar itu ?, siapa yang bertanggung jawab ? dan dengan alasan apa ?, merupakan beberapa pertanyaan utama dalam investigasi yang dilakukan oleh pansus. Di akhir-akhir kerja pansus berbagai pandangan umum dari masing-masing fraksi sudah hampir final.

Dari sembilan fraksi, tiga fraksi secara tegas menyebut nama-nama pihak yang bertanggung jawab pada proses penyelamatan PT Bank Century Tbk. Tiga fraksi itu adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hanura, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mereka menyebut nama Boediono, Sri Mulyani, Rafat Ali Rivzi, Hesham Al-Warraq, Robert Tantular, hingga Miranda Swaray Goeltom harus bertanggung jawab. Sementara enam fraksi lainnya tidak menyebut nama. Fraksi-fraksi itu adalah Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Demokrat (http://korupsi.vivanews.com/news).

Partai Demokrat dan PKB menyampaikan pandangan bahwa dana tersebut dikeluarkan sebagai sebuah tindakan yang positif untuk mempertahankan ekonomi yang sedang di terjang krisis global. Asumsi ini mengisyaratkan bahwa tidak ada penyimpangan dalam kasus century, inilah yang diyakini oleh kedua fraksi tersebut.

Posisi Partai Demokrat yang sedang memegang kendali eksekutif dan perbedaan pandangan dengan partai koalisi menjadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Partai Demokrat sepertinya cukup khawatir dengan perpecahan pandangan akhir dari partai koalisinya. Lobi-lobi menjadi salah satu alternatif yang menjadi agenda untuk mencari dukungan yang maksimal di pansus.

Propanganda dari kelompok kepentingan dengan serta merta memunculkan berbagai isu-isu, yang cukup menggentarkan bagi partai koalisi yang terlalu vocal dalam pembahasan century. Isu resaffle kabinet dan penata ulang atau reorientasi komitmen koalisi menjadi sebuah wacana internal bagi partai-partai koalisi.

Melihat kejadian ini, sebagai sebuah ujian berat terhadap koalisi. Kebenaran objektif yang akan mereka usung atau kebenaran subjektif yang akan mereka usung. Inilah sebuah teka-teki kehidupan demokratis, keberpihakan pada rekan politik dan kepentingan, atau keberpihakan pada masyarakat dan keadilan akan menjadi tantangan berat bagi partai politik dalam menentukan pandangan akhir di pansus century.

Dua Arah Kesetiaan; Konsisten Versus Inkonsenten

Pra pandangan akhir dan kesimpulan-kesimpulan dari masing-masing fraksi sangat kontroversial. Terutama pada fraksi-fraksi partai yang berkoalisi dengan pemerintah. Tidak sejalannya pendapat tersebut sebagai ujian besar bagi partai koalisi, dan bahkan dapat berakibat pada konflik elit yang akan berujung pada bubarnya koalisi, aroma ini sudah mulai tercium saat isu resaffel kabinet. Ada partai yang memberikan pernyataan akan keluar dalam koalisi dan menarik sejumlah menterinya jika terjadi resaffel.

Isu ini mulai tenggelam dan mulai beralih dengan pendekatan lobi politik. Kerja ini merupakan sebuah alternatif yang cukup lunak dan dianggap efektif untuk meminimalkan perbedaan pandangan antara partai koalisi. Dua arah kesetian yang akan muncul diakhir kesimpulan pansus yaitu berhasilnya lobi yang menandakan kesetian pada kekuasaan, atau tetap konsisten pada kesimpulan awal yang menandakan kesetian pada konstituen politik. Merupakan putusan yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat, yang sebagian besar menyaksikan perdebatan panjang pansus century.

Disinilah letak ujian terbesar dari partai-partai koalisi, kejujuran, mengedepankan keadilan dan kepentingan umum seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam putusan akhir. Tentunya dengan data dan fakta yang telah terkumpulkan dalam pansus. Legitimasi dari peran legislatif sebagai kontrol terhadap eksekutif dan penyalur aspirasi politik masyarakat menjadi pertimbangan yang cukup rasional untuk menyuarakan sebuah kebenaran yang di yakini dalam temuan-temuan tersebut.

Hal ini sejalan dengan pendapat Denny J (2006 : 12), mengenai kedudukan parlemen, bahwa semua anggota parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat atau konstituen politik, dengan sendirinya tidak berhutang budi kepada siapapun (apalagi pihak eksekutif), kecuali pada rakyat yang memilihnya. Asumsi yang disampaikan tersebut, merupakan sebuah gambaran bagaimana seharusnya parlemen atau anggota legeslatif berperan. Inilah tabir gelap teka-teki century yang ditunggu-tunggu oleh rakyat pada akhir kerja pansus Tanggal 4 Maret 2010 mendatang.



Rabu, 17 Februari 2010

”GERAKAN DUNIA MAYA, GUGATAN TERHADAP REALITAS”

Oleh : Abdul Kholek,

“Sebuah gerakan baru mencari keadilan dalam ruang virtual, sebuah instrument perjuangan yang dilakukan sebagai akibat matinya realitas yang semakin tergugat’’

Dewasa ini perkembangan ICT (information and communication technology), yang kian canggih dan kompleks. Masyarakat telah menemukan ruang baru, hidup dalam masyarakat jejaring (the network society). Akses internet sudah menjadi kebutuhan hidup segala lapisan masyarakat. Jumlah blogger, faceboker, dan twitter terus meningkat, mereka pergi berpantasi kedunia maya dengan berbagai macam motif dan keperluan; bisnis, mobilisasi massa, menebarkan ideologi politik, chatting, browsing literature, menelusuri lowongan kerja, mencari teman kencan dan lain sebagainya.

Inilah gambaran sekilas mengenai ruang baru dalam lingkup dunia maya. Dunia yang belum pernah tergambarkan sebelumnya, sebuah imbas dari perkembangan inovasi dan kreasi manusia sebagai mahluk yang cerdas (homo sapien). Dunia maya telah menggusur realitas dan bahkan membunuh perlahan dunia material. Orang-orang sudah terkoneksi dalam masyarakat jejaring dan mengakibatkan ruang privacy juga semakin kabur didalam masyarakat.

Keberadaan facebook sebagai sebuah instrumen dari banyak pilihan situs jejaring, telah menghegemoni kehidupan masyarakat dewasa ini. Berbagai kemudahan dalam mengakses serta dilengkapi fitur-fitur yang menarik dan sederhana telah memudahkan semua orang untuk membuat sebuah facebook. Anak kecil dari sekolah dasar sampai orang tua telah menggunakan situs jejaring ini. Kondisi tersebut juga didukung oleh aplikasi ponsel yang dapat mengakses facebook. Berdasarkan hasil survey eMarketer, Indonesia menduduki ranking kedua setelah AS. Pada 1 Desember 2009 eMarketer mencatat jumlah pengguna facebook di Indonesia 13.870.120 pengguna, sedangkan pada 1 Januari 2010 sebesar 15.301.280 pengguna. Kenaikan yang cukup signifikan mencapai 10 persen dalam satu bulan (tekno.kompas.com.13 Januari 2010).

Seorang bisa membuat beberapa facebook untuk berbagai kepentingan. Group-group dengan mudah diciptakan dengan berbagai kepentingan dan tujuan. Sepertinya facebook telah menjadi dua mata pisau yang tajam, disatu sisi dimanfaatkan untuk kepentingan yang positif dan disisi lain digunakan untuk kepentingan yang negatif. Penjaulan anak, penculikan, perjudian online serta meluasnya praktek prostitusi online dan lain sebagainya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehadiran facebook dalam masyarakat.

Sisi positif yang muncul, bahwa facebook menjadi salah satu instrument lahirnya ruang publik yang paling demokratis dewasa ini. Protes-protes, kritikan dan berbagai gerakan politik dan kepentingan muncul diruang dunia maya, sebagai sebuah konstruksi dari dunia riil. Bangunan baru ruang publik melalui media digital telah menjadi fenomena yang cukup menarik dalam perkembangan demokrasi dewasa ini.

Gerakan sosial baru (new social movement) melalui instrumennya yang tercipta di ruang virtual memiliki kekuatan ideologis tertentu, sebagai wujud eksistensi dari kaum oposisi dan juga masyarakat sipil (civil society) dalam melihat realitas politik, sosial, ekonomi dan juga budaya. Dan inilah yang dikatakan oleh Mafred B. Steger (2005 : 20), bahwa ideologi bukanlah konstruksi imajiner yang tidak punya landasan dalam fenomena material.

Dari persfektif sosiologis kehidupan masyarakat maya antara lain dapat diidentifikasikan dari segi relasi-relasi sosial atau lebih spesifik dapat dilihat jejaring-jejaring (networks) yang terendap dalam kehidupan masyarakat dunia maya. Jejaring-jejaring tersebut menciptakan stimulus, respon dan tindakan-tindakan kolektif yang dibingkai oleh norma, nilai-nilai dan sangsi sosial.

Pentinganya media atau ruang virtual dalam penyaluran aspirasi politik merupakan sebuah protes atau kritik sosial akibat tersumbatnya dan tidak berfungsinya fungsi-fungsi politik, yang seharusnya diperankan oleh lembaga-lembaga politik, dari parpol sampai pada lembaga eksekutif, legeslatif dan juga yudikatif. Mandulnya kemampuan lembaga-lembaga tersebut dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan Negara. Merupakan landasan dasar dari munculnya gerakan keadilan dan gerakan moral di ruang virtual.

Menurut Cornelis Law (2006 : 150), bahwa setiap perjuangan haruslah meletakkan kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat sebagai substansi perjuangan. Ini menjadi salah satu rasionalisasi baru masyarakat dalam menggunakan instrument ruang virtual. Sehingga kebebasan informasi dan juga kebebasan berpendapat menjadi sangat urgen dalam setiap perjuangan dalam mengejawantahkan perubahan sosial yang lebih baik. Media merupakan instrumen yang digunakan sedangkan dunia riil adalah akselerasi ideologi yang terus berjalan.

Seiring dengan matinya realitas yang ideal, terbunuhnya rasa keadilan pengingkaran hak-hak masyarakat sipil oleh Negara dan lain sebagainya. Bermunculan gerakan-gerakan sosial di dunia maya, sebuah kemajuan baru dalam sejarah pergerakan. Gerakan facebook yang mendukung Prita Mulyasari, gerakan mendukung Bibit-Candra, yang mencapai jutaan orang adalah sebuah bentuk protes terhadap keadilan, kemunafikan, kekejaman birokrsi, dan kekacauan sistem yang berjalan dinegeri ini.

Ada banyak pesan moral yang disampaikan oleh aksi-aksi masa dalam ruang vitual, substansi dari gerakan ini yaitu gugatan terhadap realitas. Ada sebuah kekecewaan besar dari masyarakat sipil terhadap berbagai permasalahan ketidakadilan dewasa ini. Mulai menyempitnya ruang publik yang efektif sehingga dengan kemajuan teknologi informasi, masyarakat menggeser ruang publik kedalam dunia maya atau ruang publik virtual.

Sebagai gerakan sosial, gerakan dunia maya telah mampu meraih simpati kolektif dari masyarakat. Pengumpulan koin untuk Prita Mulyasari, aksi-aksi turun kejalan untuk pembebasan Bibit-Candra. Merupakan akselerasi gerakan dari dunia maya ke dunia riil, hasilnyapun sangat positif kedua permasalahan tersebut tuntas dengan keadilan yang diciptakan oleh masyarakat sipil. Kecenderungan ini memberikan sebuah pola baru dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Penggunaan instrumen multimedia melalui group-group facebook yang diberdayakan untuk mewujudkan tatanan masyarakat demokratis. Merupakan satu bentuk dari efek positif yang harus dipertahan agar tetap berkelanjutan (sustainaible). Menurut Anthony G. Wilhelm (2003 : 52), dalam suatu masyarakat demokratis, pembentukan opini dan pembuatan keputusan adalah sesuatu yang dianggap sah ketika itu merupakan harapan-harapan dari semua orang yang secara potensial terpengaruh oleh suatu kebijakan. Kondisi inilah yang menjadi harapan dan keingian dari berbagai gerakan keadilan dan gerakan moral yang diwujudkan di diruang virtual.

Gugatan terhadap realitas yang diwujudkan dalam gerakan dunia maya, saat ini telah menjadi sebuah tren dan akan menjadi tradisi untuk mencari format baru sebuah keadilan. Sebuah awal yang baik untuk perkembangan demokrasi, tetapi tentunya hambatan-hambatan dari kelompok yang merasa dirugikan oleh kebebasan ruang publik virtual akan terus menghadang gerakan dunia maya tersebut. Sehingga dalam prinsip gerakan harus ada afiliasi antara gerakan dunia maya dengan gerakan dalam dunia riil. Terwujudnya sinkronisasi antara dua ruang tersebut akan menghasilkan sebuah gerakan yang masive dan disinilah titik kritis dari akhir perjuangan dalam gerakan dunia maya.

Daftar Referensi :

B Steger, Manfred. 2005. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Lafadl Pustaka. Jogjakarta.

G Wilhelm, Anthony. 2003. Demokrasi di Era Digital, Tantangan kehidupan politik di ruang cyber. Pustaka Pelajar.

Lay, Cornelis. 2006. Involusi Politik, Esai-esai Transisi Indonesia. Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM. Jogjakarta.




Minggu, 07 Februari 2010


"MODAL SOSIAL DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH"
(Oleh : Abdul Kholek)
Dalam bisnis modal sosial mempunyai peran yang cukup signifikan dalam meningkatkan kegiatan bisnis. Prinsip-prinsip yang melekat dalam modal sosial di adopsi oleh berbagai perusahaan untuk meningkatkan bisnissnya. Tetapi dilain pihak pada usaha atau bisnis skala kecil dan menengah tidak mudah mengadopsi prinsip modal sosial tersebut.

1. Faktor-Faktor yang Menghambat Usaha Kecil dan Menengah Dalam Mengadopsi Prinsip-Prinsip Modal Sosial.

1) Individualistis

Merupakan sifat dasar dari manusia modern yang individualitis, usaha kecil biasanya memiliki tingkat individulistis yang cukup tinggi hal ini dikarenakan mereka berbisnis hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten, sehingga keuntungan harian atau perharinya sangat meperngaruhi keberkangsungan hidup mereka. Oleh landasan tersebut munculnya individulisme dalam usaha kecil atau menengah.

2) Mementingkan diri sendiri (swa-kepentingan)

faktor ini hampir sama dari yang pertama disini memperlihatkan bahwa usaha kecil dan menengah mempunayai orientasi ekonomi yaitu swa-kepentingan, dalam artian semuanya didasarkan pada sejauh mana kepentingan mereka peroleh dari setiap tindakan bisnis mereka.

3) Merosotnya kepercayaan dan sosiabilitas

Kondisi ini merupakan faktor yang juga menghambat usaha kecil dalam mengadopsi prinsip-prinsip modal sosial. Usaha kecil dan menengah tidak menggunakan kepercayaan dalam pengembangan bisnis mereka dan anti terhadap pengelompokan atau pengorganisasian.

4) Intervensi negara yang begitu kuat.

Intervensi negara dalam hal ini kebijakan-kebijakan yang diambil untuk sektor usahan kecil dan menengah bersifat individualitis, meningkatkan iklim kompetisi atau persaingan, sehingga memunculkan berbagai gangguan-gangguan terhadap relasi sosial.

2. Proses Faktor-Faktor Tersebut Dalam Menghambat Usaha Kecil dan Menengah Untuk Mengadopsi Prinsip-Prinsip Modal Sosial.

1). Individualistis
Sifat individualistis menghambat usaha kecil dan menengah dalam mengadopsi prisip-prinsip modal sosial, yaitu dengan beberapa indikasi bahwa keutungan harian merupakan tergetan yang paling penting, sehingga mengabaikan modal sosial. Usaha kecil dan menengah masih menganggap modal ekonomi dan financial yang paling penting dalam memajukan usaha mereka.
Kondisi ini berimplikasi pada tertutupnya usaha kecil atau menengah untuk bergabung dengan usaha yang lain. Indiviualistik semakin kuat dan melebar sebagai akibat dari kondisi ekonomi yang tidak menentu mengharuskan mereka terlalu hati-hati, curiga kepada pihak lain. Selain itu usaha mereka terpaku pada usaha subsisten dan tidak berani untuk melangkah maju dengan berbagai resiko yang akan mereka hadapi. Mereka mempunyai rasionalitas mendahulukan selamat (safety first).

2). Mementingkan diri sendiri (swa-kepentingan)

Sektor usaha kecil dan menengah sebagimana telah disebutkan diatas bersifat individualis. Sebenarnya hampir sama dengan poin ke dua ini bahwa semua hubungan bisnis ataupun pembangunan realisi di dasarkan pada kepentingan pribadi. Semakin tinggi keuntungan atau akumulasi modal pribadi maka akan semakin intensif hubungan yang dilakukan. Kondisi inilah yang mengakibatkan sektor usaha kecil dan menengah sulit untuk bisa berkembang dengan pesat.
Dalam hal ini Fukuyama memberikab gagasan bahwa, prinsip utama ekonomi adalah setiap manusia digerakkan oleh swa-kepentingan. Dalam hal ini orang-orang lebih sering mengejar kepentingan-kepentingan pribadi mereka ketimbang mengejar kemaslahatan .

3). Merosotnya kepercayaan dan melemahnya sosiabilitas
Proses faktor ini terjadi dimana sebagian dari sektor usaha kecil dan menengah lebih menekankan pada prinsip ekonomi yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga semua tindakan yang tidak mendatangkan modal atau keuntungan financial tidak menjadi prioritas, oleh karena itu mereka tidak menganggap penting kepercayaan dan sosiabilitas.
Menurut Fukuyama mereka membuat kesimpulan sendiri berdasarkan logisnya sendiri . Ketika prinsip dasar yang sudah terbangun adalah individualisme dan swa-kepentingan maka kepercayaan dan sosiabilitas akan merosot dah hilang dalam sektor usaha kecil dan menengah tersebut.

4). Intervensi negara yang begitu kuat.
Proses pada fakor ini tampak jelas dari berbagai kebijakan atau regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Misalkan peraturan pemerintah terhadap usaha kecil dan menengah, pemberian modal, pelatihan, pendampingan dan lain sebagainya. Kebijakan tersebut secara tidak langsung mempunyai efek yang mempengaruhi tatanan sosial budaya.
Pemberian modal mengakibatkan usaha kecil dan menengah bersaing untuk mendapatkan modal, memunculkan iklim kompetisi yang tidak kondusif, dan akhirnya mematikan potensi-potensi modal sosial yang cukup besar berada diantara para aktor usaha kecil dan menengah maupun aktor diluarnya. Proses ini merupakan bagian dari masalah eksternal dari sektor usaha kecil dan menengah yang tidak disadari oleh pangambil kebijakan dan juga oleh objek dari kebijakan tersebut.


3. Rekomendasi Agar Usaha Kecil dan Menengah Mau dan Mampu Untuk Mengadopsi Modal Sosial Tersebut.
Coleman dalam Fukuyama, mendefiniskan modal sosial yakni kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan-tujuan bersama didalam berbagai kelompok dan organisasi . Menurut Fukuyama modal sosial adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum didalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Ia bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil atau mendasar. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat yang besar, atau negara .

Futnam dalam Soeharto mengartikan modal sosial sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi keuntungan bersama . Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat dirarik kesimpulan bahwa modal sosial terbentuk oleh tiga unsur utam yaitu kepercayaan (trust), norma (norm), dan jaringan.

Rekomendasi yang ditawarkan yaitu :

 Harus ada penataulangan atau peninjauan kembali dari regulasi terhadap usaha kecil dan menengah yang telah dikeluarkan, diharapkan akan dikeluarkan kebijakan yang tidak mematikan modal sosial tetapi lebih menghidupkan pola kemitraan anatar usaha kecil maupun menengah.

 Dilakukannya pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan kepada sektor usaha kecil dan menengah tersebut, mengenai prinsip-prisip dasar dan pentingnya modal sosial yang dapat memajukan bisnis mereka. Adanya pembiasaan terhadap norma-norma moral, sekaligus mengadopsi kebajikan-kabajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan dependability . Adopsi nilai-nilai kebajikan tersebut merupakan bagian penting dari isu-isu yang diangkat dalam pendampingan dan penyuluhan-penyuluhan.

 Pemerintah menghidupkan kembali iklim kepercayaan, jaringan-jaringan, dan norma-norma sosial yang berlaku di sektor usaha tersebut. Melalui kampanye-kampanye atau pendekatan personal pada usaha kecil dan menengah. Sehingga iklim kondusif terbentuk dan masuknya modal sosial kedalam sektor tersebut.

 Gerakan menghidupkan kearifan lokal (indigenous knowledge) yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip modal sosial, sehingga secara perlahan sektor usaha kecil, menengah akan memanfaatkan potensi tersebut.

Daftar Referensi :
Fukuyama, Francis. 2002. TRUST, Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Qalam. Yogyakarta.

Seoharto, Edi.2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.

Sabtu, 30 Januari 2010

SKETSA PETANI, NELAYAN DAN BURUH DI INDONESIA
Oleh : Abdul Kholek
James Scott, mengindentifikasi keberadaan rasionalitas dikalangan petani kecil Asia Tenggara, dan menyatakan bahwa petani tidak mudah menerima teknologi modern karena memiliki alasan yang cukup rasioal yaitu ‘meminimalkan resiko atau mendahulukan kesesalamatan (safety first)’.

1. Kecenderungan dalam kehidupan petani di Indonesia dan faktor-faktor petani mengembangkan rasionalitas ‘safety first’

Safenty first dalam pengertian konvensional merupakan suatu kecenderungan petani untuk memproduksi atau menanam tanaman untuk kebutuhan pokok mereka. Cara menanam, waktu penanaman, serta penggunaan bibit, berdasarkan pengalaman selama berabad-abad dimana pola tersebut memiliki resiko yang minimal. Hal ini cukup rasional bagi petani yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan subsistensi.

Kondisi tersebut menjadikan petani lebih hati-hati dalam menerima inovasi-inovasi teknologi yang masuk melalui industrialisisasi pertanian yang disampaikan oleh pekerja sosial dan juga ahli-ahli agronomi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat James Scott, bahwa petani yang bercocok tanam berusaha untuk menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko .

Penjelasan sekilas diatas merupakan prinsif safety first pada masa pra-kapitalis di Asis Tenggara khususnya dalam bahasan James Scott. Jika kondisi tersebut digunakan untuk melihat kehidupan petani Indonesia saat ini tentu tidak relevan lagi. Kalau yang dilihat dalam asfek penggunaan teknologi, karena sebagian besar petani telah memakai alat-alat teknologi, benih unggul hasil persilangan gen dan lain sebagainya. Kondisi ini tidak lepas dari revolusi hijau yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1960-an, dikenal dengan nama intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya beras. Program tersebut memperkenalkan teknologi baru dalam teknik bertani, seperti penggunan traktor, pupuk, obat-obatan, penggunaan bibit unggul serta penyuluhan-penyuluhan . Program tersebut akhirnya di adobsi oleh sebagain besar petani di Indonesia hingga saat ini.

Apabila dilihat dari pemanfaatan teknologi tersebut petani di Indonesia telah mengalami pergeseran dari tidak menggunakan teknologi beralih pada pemanfaatan teknologi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran makna dari safety first di Asia Tenggara khususnya pada petani di Indonesia pada masa pra kapitalisme dan saat kapitalisme modern saat ini. Tidak mampunya petani untuk membendung arus globalisai sehingga penerimaan terhadap teknologi sebagai suatu tindakan yang rasional untuk mendahulukan selamat atau meminimalkan resiko, karena paradigma petani sudah berbesar bahwa penggunaan teknologi akan memberikan mereka hasil yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka.
Tetapi dibalik semua pemanfaatan teknologi tersebut. Petani di Indonesia masih berpegang pada rasionalitas mendahulukan selamat dan meminimalkan resiko dalam paradigma tradisional, ada beberapa faktor yang berpengaruh yaitu :

1) Pola pikir tradisional

Petani di indonesai masih mempunyai pola pikir yang tradisonal percaya pada animisme, pasrah pada alam dan lain sebagainya. Pengolahan tanah walaupun sudah memakai teknologi modern, tetapi masih di terapkan prinsif-prinsf tradisonal misalkan waktu penanaman harus berdasarakan tanggal yang biasa di pakai oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun. Penggunaan teknologi pun sebagai alternatif yang dipakai untuk mendapatkan hasil yang seadanya dalam memenuhi kebutuhan pokok. Penggunaan sesajen dan adanya perayaan pada saat sebelum menanam dan pasca panen merupakan cerminan dari pola pikir tradisional, mereka masih menyandarkan semua hasil kepada alam, karena kondisi tersebut cukup rasional bagi mereka.

2) Kemiskinan yang membuat mereka terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok

Petani di Indonesia sebagian besar memproduksi tanaman untuk kebutuhan pokok mereka, usaha yang dilakukan masih terpaku pada prinsip-prinsip yang tradisional. Kondisi ini karena mereka sebagian besar merupakan penduduk yang miskin sehingga tanaman yang ditanam adalah tanaman subsistensi bukan tanaman komersil. Mereka sangat meminimalkan resiko dalam menjalankan proses pertanian sehingga pola-pola lama masih mereka pertahankan, karena dinggap lebih bisa dipercaya untuk mendapatkan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka.

3) Adanya hubungan patron klien, sebagai asuransi sosial

Adanya hubungan patron klein merupakan salah satu faktor dari rasionalitas meminimalkan resiko dan selamat. Karena dengan adanya hubungan tersebut mereka dapat tetap bertahan dengan memanfaatkan hubungan tersebut sebagai auransi sosial ketika hasil pertanian gagal karena alam dan lain sebagainya, inilah salah satu nilai yang terbentuk dan memantapkan rasionalitas tersebut. Kondisi ini terlihat jelas pada petani penggarap atau juga pada petani penyewa.

2. Kecenderungan dalam kehidupan nelayan di Indonesia dan faktor-faktor nelayan mengembangkan rasionalitas ‘safety first’

Kehidupan nelayan hampir sama dengan kehidupan petani, mereka berada pada garis batas subsitensi sehingga sedikit saja persoalan yang datang mereka akan berada di bawah garis subsitensi. Kondisi inilah yang membuat nelayan untuk berpegang pada rasionalitas mendahulukan selamat dan meminimalkan resiko dalam kehidupannya. Kebutuhan pokok masih menjadi permasalahan utama, bagaimana mereka mendapatkan kebutuhan untuk bisa bertahan setiap hari telah menjadi rutinitas dalam hari-hari nelayan.

Penggunaan teknologi memberikan resiko yang cukup besar bagi para nelayan. Sehingga mereka masih tetap berada pada pola dan penggunaan alat-alat tradisional, mereka sebagian besar merupakan nelayan-nelayan tradisional.

Ada beberapa faktor yang mendorong nelayan menggunakan rasionalitas safety first yaitu :

1) Nelayan masih tergantung pada alam
Khusus nelayan tradisional yang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan sangat tergantung pada alam. Ketika ada badai dan ombak besar mereka tidak bisa berlayar untuk menangkap ikan. Tetapi mereka bisa beralih menangkap kepiting, dan sumberdaya lain yang ada dipantai, hal ini lebih pasti daripada mereka menggunakan teknologi dengan perahu mesin yang tentunya dengan biaya mahal, dengan hasil juga yang belum pasti. Ketergantungan pada alam membuat nelayan masih tetap bertahan untuk memenuhi kebutuhan minimalis mereka dalam hidupnya.

2) Nelayan masih terperangkap dalam pemikiran tradisional
Pola pikir tradisional nelayan hampir sama dengan pola pikir pada petani, kecenderungan pola pikir tersebut membuat nelayan berada pada posisi selalu dekat dengan garis subsistensi, hasil yang didapatkan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam batas minimum. Waktu melaut dan berlayar masih tergantung pada alam dan kondisi cuaca, tidak banyak perubahan mereka tetap bertahan dengan pola seperti itu karena dianggap lebih tepat agar mereka tetap eksis dalam pemenuhan kebutuhan yang minimalis hari perhari.

3) Ongkos (cost) untuk penggunaan teknologi cukup tinggi

Biaya mesin dan perahu yang mahal apabila mereka menggunakan teknologi membuat mereka tetap bertahan dengan perahu tradisional. Kemampuan dan keahlian mereka untuk membuat perahu dan peralatan melaut sendiri merupakan faktor pendorong mereka tetap dalam rasionalitas safety first, karena resiko tersebut lebih kecil jika dibandingkan mereka menggunakan teknologi modern.

3. Kecenderungan dalam kehidupan buruh di Indonesia dan faktor-faktor buruh mengembangkan rasionalitas ‘safety first’

Buruh di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang dikonstruksikan Karl Marx. Jumlah tenaga kerja yang cukup banyak membuat buruh mengembangkan rasionalitas safety first dalam artian buruh tidak berani untuk memprotes dan meminta kenaikan gaji atau standar UMR dari pihak perusahaan, hal ini dapat dilihat dalam sistem perburuhan outsoursing dan kontrak dimana posisi buruh harus tunduk dan pasrah dengan kondisi yang dialami. Ketika buruh mengadakan protes akan berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing atau kontrak. Digantikan oleh tenaga-tenaga kerja lainnya sebagai tentara-tentara cadangan.
Ada beberapa alasan buruh mengembangakan rasionalitas safety first. Buruh bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mereka sangat menjaga untuk meminimalkan resiko serta mendahulukan selamat, beberapa faktro tersebut yaitu :

1) Kuatnya cengkeraman kapitalisme
Buruh berada dalam posisi dikuasai oleh pihak kapitalis, sehingga kondisi ini membuat buruh stagnan tidak berani untuk melakukan aksi apapun dalam menuntut haknya, karena kuatnya cengkraman tangan kapitalisme tersebut. Disinilah muncul alienasi dan nilai surplus dalam istilah Marx. Salah satu kondisi buruh diindonesia yaitu buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis .

Cengkeraman yang kuat inilah yang mengharuskan buruh mengembangkan rasionalitas safety first atau bisa disebut juga sebagai tindakan untuk mendahulukan selamat dan meminimalkan resiko dan menerima apa adanya yang diharuskan oleh perusahaan atau industri.

2) Buruh yang tersedia cukup banyak

Banyaknya ketersedian buruh di Indonesia sebagai tentara cadangan, mengakibatkan harga buruh murah. Kondisi ini mengakibatkan kesejahteraan buruh dalam batas mininum yaitu hanya untuk bertahan dalam batas subsistensi. Kondisi inilah yang membuat buruh pasrah pada kemauan kapitalis, karena dengan bekerja mereka sudah sangat diuntungkan karena dapat memenuhi kebutuhan minimum tersebut. Hal inilah yang akan berakibat pada stagnannya gerakan buruh, karena kesadaran kelasn tidak akan muncul ketika buruh patuh dan tunduk pada kepentingan pokoknya sendiri.

4. Rekomendasi yang ditawarkan
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa rekomendasi yang saya tawarkan sebagai alternatif penyelesaian masalah yaitu sebagai berikut :

1. Harus dibuatnya regulasi atau kebijakan dari pemerintah dalam hal penggunaan teknologi untuk petani, nelayan tentunya dengan biaya yang disubsidi.
2. Dibuatnya kebijakan khususnya untuk buruh agar adanya kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat yang dilindungi undang-undang.
3. Harus adanya pengawasan pemakaaian teknologi oleh petani besar atau nelayan modern agar tidak merugikan petani kecil atau juga nelayan kecil (tradisional).
4. Adanya program pemberdayaan dan diberdayakannya ketiga elemen tersebut melalui berbagai instansi-instansi yang bersangkutan, bisa juga ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).


Daftar Referensi :

Scott, James C. 1976. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta. LP3ES.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan politik Angraria Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenada Media Group.



IT, E-GOVERNMENT DAN PELAYANAN IJIN USAHA TERPADU, KASUS KABUPATEN SRAGEN.

Oleh : Abdul Kholek

1. Jenis Pendayagunaan Infrastruktur IT Kaitan Dengan E-Government Dan Palayanan Ijin Usaha Terpadu.

Pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) dengan Keputusan Bupati Sragen Nomor 17 Tahun 2002 tanggal 24 Mei 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen, sedangkan operasional secara resmi dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2002 oleh Bupati Sragen.

Kebijakan ini didukung sepenuhnya oleh legislatif dengan surat Ketua DPRD Kabupaten Sragen Nomor 170/288/15/2002 tangggal 27 September 2002 perihal Persetujuan Operasional UPT Kabupaten Sragen. Selanjutnya pada tahun 2003 telah dikuatkan dengan Peraturan Daerah Nomor 15 tahun 2003 dalam bentuk Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten Sragen. Guna peningkatan kualitas pelayanan dan untuk memudahkan koordinasi dengan stake holder, maka Pada tanggal 20 Juli 2006 status KPT ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Terpadu (BPT) Kabupaten Sragen dengan Peraturan Daerah No.4 Tahun 2006 .

Jenis pendayagunaan Infrastuktur IT dalam proses perijinan usaha terpadu di Kabupaten Sragen, meliputi beberapa indikator yaitu :

1. Pemberian Layanan (services)

Pedayagunaan infrastruktur IT dalam layanan kapada masyarakat, BPT mengaktifkan website yang bisa diakses 24 jam tiap hari. Dari proses sampai prosedur dan pemantauan perijinan sehingga lebih praktis, efisien, jelas, aman, transparan, ekonomis, adil dan tepat waktu, bagi semua yang terkait terutama stakeholders.

1.1. Website On-Line

Pada pelayanan ijin usaha terpadu yang dilaksanakan oleh Badan Perijinan Terpadu (BPT), dilakukan dengan penggunan atau pendayagunaan perangkat IT, yaitu melalui website, email, sofwere dan hadwere. Penggunaan semua parangkat atau infrastruktur tersebut dilakukan dengan mekanisme yang sederhana dan mudah diikuti terutama oleh masyarakat dan stakeholders.

Website on-line, dapat di akses 24 jam setiap hari oleh masyarakat yang ingin mendaftarkan usaha mereka. Menurut Suhari (30), bahwa web bisa diakses oleh semua orang atau stakeholders yang berkepentingan dimanapun berada, data-data tersebut bisa didapat secara online, mereka tinggal mendownload surat permohonan ijin usaha yang tersedia di web tersebut. Selain itu mekanisme dan prosedur sampai ke seluruhan proses pembuatan ijin usaha sampai selesai ada di website tersebut .

Khusus dalam perijinan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) meliputi interkoneksi antara dua dinas yaitu Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah (DP2D), serta Dinas Perindustrian. Kedua dinas tersebut yang dulunya adalah pelasana teknis dalam prosedur perijinan usaha perdagangan (SIUP), sebelum adanya Unit Pelayanan Terpadu (UPT) atau Badan Perijinan Terpadu (BPT). Setelah proses tersebut dilimpahkan ke BPT, maka kedua dinas tersebut hanya bertugas dalam pengawasan dan pembinaan, dan hasil pembayaran masuk ke rekening dinas teknis. Selebihnya BPT hanya sebagai pelaksana pelayanan perijinan, dari proses awal sampai selesai di lakukan oleh BPT.

1.2. Touch Screen Information

Perangkat IT ini merupakan sebuah alat yang digunakan untuk menayangkan berbagai infomasi mengenai perijinan terpadu, dari mekanisme sampai pada proses akhir perijinan. Alat ini sangat membantu bagi masyarakat atau stakeholder untuk melihat mekanisme pembuatan surat izin, dan memudahakan bagi masyarakat yang tidak dapat mengakses internet. Tetapi alat ini hanya berada pada kantor BPT, tidak seperti web yang bisa di akses secara langsung.

1.3. Sofware Computersasi Perijinan ( LAN/Local Area Network )

Infrastruktur IT ini digunakan untuk memudahkan dalam makanisme perijinan, terutama dari proses infut/entry data sampai pada proses pembuatan ijin. Penggunaan perangkat ini memudahkan sistem pelayanan dalam hal ini Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP). Data base yang masuk di proses dalam mekanisme komputerisasi sehingga efisiensi waktu, lebih transparan, ekonomis dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat atau stakeholders akan merasa puas dengan pelayanan tersebut.
Menurut Suhari (30), bahwa sofware tersebut didapat dari Departemen Perdagangan RI, kemudian diadakan pelatihan penggunaan selama kira-kira dua minggu, kemudian perangkat tersebut dapat dijalankan untuk membantu prosedur infut data sampai pada proses akhir. Back Up data juga dilakukan untuk menghidari permasalahan teknis/error yang mungkin bisa saja terjadi .

2. Penguatan Interaksi

Dalam penguatan interaksi, jaringan sistem IT yang digunakan lebih kompleks lagi, penggunaan ini tidak hanya sebatas pada asfek palayanan yang prima, tetapi sudah menekankan bagaimana interkoneksi dan juga koordinasi dilakukan dalam penggunaan infrastruktur IT tersebut.

Beberapa pendayagunaan infrastruktur IT dalam penguatan interaksi yaitu sebagai berikut :

2.1. Sistem Jaringan IT – antar dinas / satuan kerja s/d kecamatan - 2007
sampai ke desa.
Khusus dalam pelayanan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), sistem jaringan IT, digunakan salah satunya untuk penguatan interaksi antara dinas yang terkait yaitu Dinas Perdagangan dan Perpajakan Daerah (DP2D), serta Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM, dan Badan Perijinan Terpadu (BPT) yang mempunyai kewenangan dalam proses perijinan tersebut dari proses awal sampai selesai.

Jaringan ini dioleh dan dikontrol oleh server PDE dan server KPT, dalam palaksanan interaksi internal khususnya antara dinas yang bersangkutan untuk membuat laporan dan pengiriman data base, menggunakan jaringan tersebut. Koordinasi antara dinas yang terkait tidak lepas dari sistem jaringan IT, sebagai instrumen untuk memudahkan proses dan efisiensi waktu dan juga tenaga.

2.2. Online System – Laporan Dinas (daily report), dan Fasilitas Teleconference

Online system, khususnya dalam proses perijinan usaha perdagangan (SIUP), merupakan mekanisme laporan yang dibuat oleh BPT, yang membidangi SIUP kepada dinas-dinas yang terkait. Dan untuk laporan pada jaringan IT bupati dan Sekda. IT ini sangat bermanfaat dalam usaha untuk memperkuat interaksi dan koordinasi antara dinas yang bersangkutan. Fasilitas Teleconference digunakan untuk memudahkan komunikasi antar dinas yang bersangkutan. Sehingga semua proses yang berhubungan dengan perijinan usaha lebih efisiens dan efektif.

Kasus di Kabupaten Sregen pendayagunaan infrastruktur tersebut, dilaksanakan dengan interkoneksi yang cukup baik antar dinas yang bersangkutan dalam SIUP. Fasilitas yang dimiliki dimanfaatkan secara efisien oleh aktor-aktor yang terlibat dalam perijinan, sehingga costumere akan marasa nyaman dan tidak memakan waktu yang lama, dan banyak indikasi positif dari pendayagunaan tersebut.

3. Peningkatan Transaksi
Jaringan pendayagunaan IT dalam untuk peningkatan transaksi terkait dengan e-government, lebih kompleks dan mempunyai cakupan yang luas. Jaringan bisnis, transaksi modal dan lain sebagainya, dilakukan dalam jaringan sistem IT ini. Sehingga mekanisme dan prosedurnya lebih teliti tetapi tidak menghilangkan efisiensi dari kinerja sistem.

Pada e-geverment Kabupaten Sragen, pemanfaatan atau pendayagunaan IT telah mencakup pada peningkatan transaksi, misalnya bisnis, transaksi modal, investasi dan lain sebagainya. Kondisi ini bisa dilihat dari meningkatnya kualitas pelayanan berimbas pada, kuatnya interkasi dan terjadi pula peningkatan transaksi, dimana investasi dan perkembangan bisnis di Sragen cukup signifikan setelah pemafaatan IT tersebut yang mulai di bangun pada tahun 2000 sampai saat ini.

4. Penopang Transformasi

Proses transformasi merupakan tahapan dari pendayagunaan IT lebih lanjut dan lebih kompleks. Tujuan akhir dari semua jenis pendayagunaan yaitu bermuara pada upaya meningkatkan kesejahteraan. Pada kasus Sragen penopang transformasi melalui infrastruktur IT yang kompleks belum begitu terlihat, karena perangkat yang dimiliki masih terfokus pada asfek pemberian pelayanan, penguatan interaksi dan sedikit menyentuh peningkatan transaksi itupun belum maksimal.

Banyak kendala untuk jenis pendayagunaan ini, tentunya modal atau financial untuk pembiayaan infrastruktur yang lebih kompleks membutuhkan dana yang cukup besar, sehingga perlu waktu untuk bisa mewujudkan jenis pendayagunaan tipe ini. Selian itu keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi kendala dalam penopang transformasi. Tetapi dengan berbagai kemajuan yang diperoleh sebagai hasil dari pemanfaatan IT mengindikasikan proses kemajuan yang lebih pesat di Kabupaten Sragen akan terwujud bersama meluasnya jaringan sistem.

2. Implementasi Infrastruktur dan E-Government dalam Meningkatkan Kapasitas Stakeholders di Kabupaten Sragen.
Pemanfaatan Infrastruktur IT, sebagaimana dijelaskan dalam bahasan sebelumnya. Ada beberapa instrumen infrastruktur IT yang digunakan dalam proses perijinan usaha terpadu yaitu; web online, touch screen information, sofware computersasi perijinan (LAN/Local Area Network), sistem jaringan IT – antar dinas / satuan kerja s/d kecamatan - 2007 sampai ke desa, online system – laporan dinas (daily report), dan fasilitas teleconference.

Semua instrumen IT tersebut merupakan seperangkat kapasitas yang tersedia untuk mencapai cita-cita pelayanan sosial yang diinginkan. Adapun tujuan yang di cita-citakan oleh BPT yaitu : pertama, mewujudkan pelayanan prima; kedua, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen, khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat; ketiga, mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya masyarakat dapat terdorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan .
Pemanfataan IT telah berlangsung dari dari 2000 saat pertama kali pembangunan OSS. Diresmikan pada 1 Oktober 2002 hingga saat ini telah berlangsung lebih kurang 7 tahun penggunaan IT dalam pelayanan perijinan tersebut. Sebagaimana tujuan dari BPT, dan melihat dari kinerja selama 7 tahun tersebut. Implementasi IT dalam perijinan usaha berimplikasi positif bagi berbagai stakeholders, baik itu pemerintah maupun costumer atau masyarakat pangguna perijinan.

Implikasi positif tersebut meliputi; pertama, pelayanan lebih efisien dari segi waktu, dan biaya; kedua, tidak terjadinya penyimpangan-penyimpangan dana karena perangkat IT telah menyusun kerangka yang tepat untuk memisahkan antara berbagai bagian kerja; ketiga, kenyamanan yang dirasakan oleh masyarakat dalam pembuatan perijinan, kondisi ini dapat dilihat perkembangan perijinan pada tahun 2002 sebanyak 2.027 dan pada tahun 2006 telah mencapai 5.274; keempat berimplikasi pada semakin mandirinya masyarakat dan dalam skala lebih luas terjadi peningkatan PAD Kabupaten Sragen, yaitu dari Rp 22.562.309.000,- meningkat cukup signifikan pada tahun-tahun berikutnya hingga pada tahun 2006 mencapai Rp. 88.384.823.631,- .

Meningkatnya efisiensi perijinan juga diungkapkan oleh informan Suhari (30), menurutnya dulu sebelum menggunakan infrastruktur IT proses perijinan memakan waktu yang cukup lama, untuk mendapatkan ijin SIUP bisa mencapai 1 bulan, tetapi sekarang hanya dalam waktu 5 hari sudah selesai . Dari uraian tersebut bahwa pemanfaatan dan pendayagunaan IT dalam perijinan, memiliki implikasi positif atau berdampak positif bagi pencapaian targetan-targetan Kabupaten Sragen.

3. Penilaian Pendayagunaan Infrastruktur IT Di Kabupaten Sragen

Pendayagunaan infrastruktur IT akan lebih efektif atau memperoleh hasil optimal apabila didayagunakan tidak hanya pada satu konteks kegiatan saja misalnya untuk pelayan terpadu, partisipasi politik (democracy online), e-businees, sekaligus marketing dan sebagainya.

Khusus untuk di Kabupaten Sragen penggunaan atau pendayagunaan IT, telah merambah keberbagai asfek dalam masyarakat misal bidang politik dilakukan pemilihan umum secara online melalui alat pemilihan suara digital (smart card elction). Perangkat IT tersebut memudahkan para konstituen politik untuk menyalurkan aspirasinya dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat di Kabupaten Sragen.

Sekaligus perangkat IT digunakan juga untuk pemasaran dan promosi potensi-potensi daerah, yang merupakan stimulus bagi para investor yang akan menanamkan modalnya. Dan bahkan jumlah investasi meningkat cukup signifikan dari tahun 2002 ke tahun 2006 yaitu dari 592 miliar menjadi 1,2 triliun.

Berdasarkan data tersebut dan hasil wawancara dengan informan, bahwa pendayagunaan IT di Kabupaten Sragen, yang meliputi berbagai asfek kehidupan masyarakat, sehingga saya berasumsi bahwa pemanfaatan IT di Sragen telah dilaksanakan cukup optimal, tetapi masih perlunya peningkatan partisipasi masyarakat terhadap akses dan pemanfaatan IT. Melalui berbagai program pemberdayaan dan pelatihan kepada masyarakat khususnya di Sragen.

Khusus untuk proses Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), saya mengkritik mengenai proses tersebut yang pada kenyataanny pemanfaatan IT oleh costumer hanya sebatas pada partispan pasif dalam artian mereka hanya bisa membuka web online, kemudian mendaftar dan mendownloud surat permohonan, tetapi mereka harus menyerahkan berkas secara manual dengan mendatangi Kantor BPT. Sehingga pemanfaatan IT hanya pada tataran aktor dalam BPT, tidak terlalu mengena pada asfek pengguna layanan online. Kalau seandainya bisa dilakukan penyerahan berkas-berkas secara online mungkin akan lebih efisien baik waktu maupun biaya dari penggu layanan.

Referensi :
Profil Badan Perijian Terpadu Kab. Sragen. http://bpt.srgenkab.go.id/content/profil/maksud.html Kamis 14 Januari 2010. Jam 23.15 Wib.

Profil Badan Perijian Terpadu Kab. Sragen. http://bpt.srgenkab.go.id/content/keberhasilan/dampak.html Kamis 14 Januari 2010. Jam 23.15 Wib.

Profil Badan Perijian Terpadu Kab. Sragen. http://bpt.srgenkab.go.id/content/profil/maksud.html Kamis 14 Januari 2010. Jam 23.15 Wib.