Jumat, 24 Oktober 2008

”PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM PARTAI POLITIK”

oleh : Abdul Kholek


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan nasional akhir-akhir ini selama beberapa dasawarsa terakhir ini, dan berkembangnya berbagai kemajuan di berbagai bidang atau yang lebih sering disebut modernisasi telah memberikan warna tersendiri dalam peradaban manusia diabad ini. Tidak dapat dipungkiri akan besar manfaat yang telah dirasakan oleh berbagai pihak, tetapi yang menjadi masalah yaitu ternyata dalam dunia realitas manfaat tersebut hanya terpusat dan didominasi oleh kaum menengah keatas dan dalam persfektif gender laki-laki masih mendominasi kemajuan dalam berbagai bidang.

Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan tercermin terutama pada kualitas hidup. Kualitas hidup perempuan di ASEAN yang tercermin pada tingginya angka kematian ibu malahirkan, dan rendahnya tingkat kesehatan dan status gizi. Selain kesehatan, asfek lain yang menggambarkan rendahnya posisi dan kedudukan permpuan di Indonesia adalah pendidikan, ekonomi dan politik ( Siti Musdah 2001 :108)

Kesehatan, pendidikan, ekonomi dan politik sebagai basis utama permasalahan kesenjangan gender telah menarik berbagai pihak untuk meneliti dan juga melihat relaitas sebenarnya dari ketidakadilan dan ketimpangan antar laki-laki dan perempuan tersebut. Pertama kesehatan dan status gizi perempuan sampai saat ini masih merupakan masalah uatama dan semakin memprihatinkan dengan adayna krisis ekonomi yang tak kunjung padam. Angka kematian bayi (AKI) akibat melahirkan meduduki peringkat tertinggi di ASEAN. Jumlahnya sekitar 308 per 100.000 kelahiran, atau rata-rata 15.000 ibu yang meninggal setiap tahun kerena melahirkan. Kedua asfek pendidikan, kesetaraan antara perempuan dan laki-laki unutk tingkat pendidikan SD dan SMP secara umum sudah semakin seimbang. Hal ini dimungkinkan karena sudah adanya program Wajib Belajar 9 Tahun. Akan tetapi hal ini tidak berarti dalam dunia pendidikan tidak ada lagi ketidaksetaraan gender, dalam realitasnya semaki tinggi jenjang pendidikan maka semakin sedikit perempuan yang masuk didalamnya. Dalam asfek ekonomi permpuan yang memimpin usaha hanya 0,4 %. Asfek yang lainnya yaitu politik juga sangat rentan akan terjadinya kesenjengan dan dikriminasi gender.

Konsep dari UUD 1945, GBHN 1988 dan 1993 yang isinya penghapusan terhadap diskriminasi terhadap permpuan, terutama dalam persamaan hak dan kedudukan perempuan sebagai peserta pengambil keputusan, dan peran dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial maupaun budaya ( UU NO 7 tahun 1994) Pada kenyataannya dalam dunia realitas perempuan selalu dihadapkan pada kondisi ketidakbedayaan, baik dalam pemenuhan praktis gender maupun kebutuhan strategis gender.

Masalah-masalah perempuan yang terjadi akibat fanatisme budaya patriarki yang dianut oleh sejumlah masnyarakat indonesia menyatakan bahwa perempuan selalu dianggap sebagai kelas nomor dua selalu berada dibawah laki-laki dan tersisihkan. Tentunya hal ini akan membuat perempuan selalu tersingkirkan dari dunia publik ( Jurnal Perempuan, no 19 tahun 2001 ).
Dunia politik sebagai salah satu asfek yang menarik untuk diteliti, apalagi ada penjatifikasian bahwa wilayah atau ranah politik hanya diminati oleh laki-laki dan sedikit sekali perempuan berperan katif didalamnya, seperti dapat dilihat data dalam tabel berikut :

Tabel 1
Jumlah Perempuan Dalam Legeslatif
No
Masa Jabatan
Perempuan
Jumlah
%
1
1950 – 1955
9
236
3,8
2
1955 – 1960
17
272
6,3
3
1956 – 1960 (konstituante)
25
488
5,1
4
1971 – 1977
36
460
7,8
5
1977 – 1982
29
460
6,3
6
1982 – 1987
39
460
8,5
7
1987 – 1992
65
500
13
8
1992 – 1997
62
500
12,5
9
1997 – 1999
54
500
10,8
10
1999 – 2004
45
500
9
Sumber : jurnal perempuan tahun 2001

Tabel tersebut menggambarkan akan suatu realitas yang cukup nyata akan adanya kesenjangan gender dalam dunia politik, dari tahun awal adanya parlemen dinegeri hingga memasuki era reformasi perempuan dalam parlemen masih sangat minim sekali, angka tertinggi yaitu periode 1992 – 1997 sebanyak 12,5 %. Secara tidak langsung dengan minimnya anggota perempuan dalam parlemen (DPR) akan berimbas pada output kebijakan-kebijakan yang tidak sensitif gender dan terkadang bias gender. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melihat bagaimana partisipasi perempuan dalam partai politik. Partai politik sebagai wadah para politikus untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi tempat yang berbahaya sehingga pertisipasi perempuan pun samapai saat ini masih relatif rendah.

1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam makalah dan analisis ini yaitu :
1.Bagaimana konsep gender yang ada dalam realitas politik ?
2.Bagaimana partisipasi perempuan dalam partai politik ?
3.Apa yang menjadi hambatan partisipasi perempuan dalam partai politik ?
4.Bagaimana solusi yang tepat untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam dunia politik ?

I.3. Tujuan
I.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam makalah (analisis) ini adalah untuk mengetahui gambaran umum mengenai partisipasi perempuan dalam realitas dunia politik.

I.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam makalah (analisis) ini adalah sebagai berikut :
a)Untuk memberikan gambaran umum mengenai konsep gender yang ada dalam dunia politik
b)Untuk mengetahui dan mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam partispasi perempuan di dunia politik
c)Untuk memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi ketidaksetaraan gender dalam politik.

I.4. Manfaat
I.4.1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan teoritis mengenai partisipasi perempuan dalam dunia politik. Serta memperkaya khasanah bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi dalam mengkaji dan menganalisis berbagai dimensi yang berkaitan dengan masalah gender dan politik

I.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah :
a)Dapat digunakan untuk pengkajian yang lebih mendalam mengenai partisipasi perempuan dan politik
b)Sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk memperhatikan permasalahan gender secara konfrehensip dalam pembangunan diberbagai bidang.


BAB II PEMBAHASAN

2.1. Konsep Gender Dalam Realitas Politik

Permasalahan gender akhir-akhir ini terutama setelah bergulirnya orde reformasi, semakin menggelinding, menembus sekat-sekat birokrasi, perguruan tinggi, rumah tangga, bahkan institusi agama. Institusi agama sebagai sarang konservatif terhadap arus perubahan kontemporer dan sekuler lambat laun juga merespon wacana tersebut. Konsep gender yang pada mulanya berasal dari negara barat ternyata dengan kemajuan teknologi, dan informatika telah cepat merebak seakan bola salju yang terus menggelinding dan semakin membesar, akhirnya diadopsi oleh banyak negara terutama negara dunia ketiga, termasuk bangsa indonesia.

Walaupun pembicaraan mengenai gender sudah hampir merebak keseluruh sistem masyarakat tetapi kesalah pahaman dan pemahaman yang keliru mengenai konsep gender masih banyak terjadi. Hal ini wajar karena antusias mayarakat megenai permasalahan gender bisa dikatakan masih berumur sangat mudah, dan sosialisasi pihak pemerintah masih sangat minim walupun ternyata dana untuk sosialisasi sudah mencapai anggka yang cukup besar.

Kesalahpahaman yang sering terjadi dalam masyarakat yaitu mereka mengangap gender adalah jenis kelamin sehingga pembicaraan mengenai genderpun masih sangat tabu terutama dalam masyarakat yang masih memagang teguh adat istiadat tradisional. Padahal secara subsatansial kedua konsep itu jauh berbeda, hal ini sesuai dengan pendapat yang di kemukakan oleh banyak ahli dan pakar dibidang ilmu sosial dan juga dari ilmu eksak.

Menurut Siti Musdah Mulia (2001 : 12) bahwa konsep sex atau jenis kelamin dan konsep gender berbeda. Menurutnya sex adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki, misalnya laki-laki memiliki venis, testis dan sperma sedangkan pempuan mempunyai vagina, payudara, ovum dan rahim. Laki-laki dan perempuan secara biologis berbeda dan masing-masing mempunyai keterbatasan dan kelebihan biologis tertentu. Misalnya permpuan dapat mengandung, melahirkan dan bisa menyusui, sementara laki-laki memproduksi sperma, perbedaan bilogis tersebut bersifat kodrati. Sedangkan gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Sebagai contoh laki-laki sring digambarkan sebagai manusia yang kuat, perkasa, rasional, dan tegar. Sebaliknya perempuan digambarkan dengan pigur yang lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh dan lembut gemulai.

Penjelasan mengenai konsep sex dan konsep gender dalam uraian diatas telah memperlihatkan suatu perbedaan yang jelas. Dari penjelasan tersebut dapat dirumuskan bahwa sex adalah suatu konstruksi bilogis sedangkan gender sebagai konstruksi sosial. Gender sebagai konsep yang dualisme bukan merupakn konsep yang dapat berdiri sendiri, sehingga gender akan mendapat makna pada saat melekat pada konsep atau juga asfek-asfek lain yang ada dalam mesayarakat. Misalnya muncul istilah kesetaraan gender, ketidakadilan gender, bias gender, gender dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan lain-lain.

Dunia politik sebagai salah satu bagian realitas kehidupan manusia menjadi salah satu asfek kehidupan yang akan mengantarkan orang yang berani untuk bermain didalamnya kepada suatu tujuan puncak yaitu kekuasaan (power). Pada akhir-akhir ini banyak orang yang menyadari bahwa politik melekat pada lingkungan hidup mereka. Politik hadir dimana-mana, disekitar kita. Sadar atau tidak, mau tidak mau politik ikut mewarnai kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masayarakat. Aristoteles mangatakan bahwa politik merupakan master of science karena menurutnya bahwa pengatahuan tentang politik dan dunia politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan (Ramlan Surbakti,1992 : 1)
Sebagaimana telah dijelaskan mengenai realitas politik dan konsep gender diatas maka konsep gender dalam dunia politik merupakan suatu konstruksi sosial kedudukan, peran, tanggaung jawab, kewajiban dan hak perempuan dan laki-laki dalam dunia politik. Keseimbangan dan keadilan merupakan suatu tujuan dari hakikat konsep gender yang harus menjadi landasan dalam kehidupan politik.

2.2.Partisipasi Perempuan Dalam Partai Politik
Partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisir secara rapi dan stabil yang di persatukan dan di motivasi dengan ideologi tertentu, dan berusaha mencari serta mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara yang lain yang sah (Michael Rush, 1992 : 113)

Fungsi utama partai politik ialah untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Adapun beberapa fungsi dari partai politik yaitu dapat dijelaskan dalam uraian berikut :

1.Sosialisasi politik
Sosialisasi politik dibagi dua yakni: pertama, pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan memperlajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik, seperti sekolah, pemerintah, partai politik , dan peserta didikdalam rangka pemahaman, penghayatan, pengamalan nilai, norma, dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. Dan indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap pihak yang berkuasa ideal dan baik.

2.Rekrutmen politik
Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi rekruitmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu fungsi rekruitmen politik ini sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup sistem politik akan terancam.

3.Partisipasi politik
Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud, antara lain, mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, mengajak para anggota dan anggota masyarakat untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Jadi, partai politik merupakan wadah partisifasi politik.

4.Pemadu kepentingan
Untuk menampung dan memadukan berbagi kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan maka partai politik dibentuk. Kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Itulah yang dimaksu dengan Pemaduan kepentingan.

5.Komunikasi politik
Komunikasi politik ialah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak menyampaikan begitu saja segala informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada pemerintah, tetapi merumuskan sedemikian rupa sehingga penerima informasi (komunikan) dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan. Dengan demikian segala kebijakanyang biasanya dirumuskan dalam bahasa teknis dapat diterjemahkan kedalam bahasa yang dipahami masyarakat. Sebaliknya, segala aspirasi, keluhan dan tuntutan masyarakat yang biasanya tidak terumuskan dalam bahasa teknis dapat diterjemahkan oleh partai politik kedalam bahasa yang dapat dipahami oleh pemerintah. Jadi, proses komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat dapat berlangsung secara efektif melalui partai politik.

Pada kenyataannya dalam implementasinya fungsi tersebut terkadang tidak jalan seluruhnya, hanya sebatas konsep dan bahkan ada juga pengahambatan-pengahambatan karir (diskriminasi) berdasarkan suku, jenis kelamin dan lain sebagainya, begitu juga dalam partisipasi perempuan dalam partai politik sehingga muncul juga ketidaksetaraan gender dalam politik.
Peran aktif dalam pembangunan sesungguhnya banyak diperankan oleh kaum perempuan, namun kenyataannya masih banyak anggapan bahwa perempuan hanya sebagai pihak penerima. Studi yang dilakukan oleh Lembaga Riset Pembangunan Sosial (UNRISD) menyatakan bahwa laki-laki yang terpilih menduduki jabatan eksekutif dan legislatif, yang memegang kendali atas pembuatan keputusan bagi prioritas pembangunan, sebagian besar tidak menyadari kebutuhan rumah tangga dan hubungannya dengan pembangunan sosial ekonomi pada tingkat masyarakat, kota, provinsi, maupun tingkat nasional. Namun perjuangan kaum perempuan tidak pernah berhenti denyut nadinya. Perjuangan untuk memperoleh hak asasinya di dalam politik, sosial, ekonomi, pemerintahan dan di bidang lainnya masih terus digaungkan.

Ketentuan perundang-undangan di Indonesia sudah memberi peluang yang sama bagi semua warga negara, laki-laki dan perempuan. Siapapun warga negara itu memiliki hak yang sama untuk menjadi seorang kandidat atau wakil. UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 28-D ayat (3) menyebutkan : Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Wujud dari perjuangan perempuan Indonesia memperoleh perhatian untuk memuluskan jalannya untuk menikmati haknya tersebut menemukan titik terangnya manakala Indonesia memiliki seorang kepala negara seorang perempuan. Perjuangan ini bukanlah perjuangan seseorang atau beberapa orang namun perjuangan banyak perempuan yang merasa cukup lelah dengan ketimpangan perlakuan yang dirasakan kurang adil. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%. Meskipun kata ”memperhatikan” disini belum merupakan ”keharusan” yang harus (tidak bisa tidak), ini membuktikan perempuan Indonesia telah mampu membuka lembaran baru dalam suatu Undang-Undang Politik untuk menyebutkan secara jelas suatu target ”kuota” dalam angka yang diharapkan mampu menjadi titian tangga menuju arena para pemain dalam proses pembuatan suatu keputusan.

Perempuan berkeinginan untuk bisa mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut kehidupan dan keluarga mereka, perekonomian dan taraf hidup masyarakat, dan pembangunan negaranya. Esensi perjuangan itu direpresentasikan dengan partisipasi perempuan dalam politik. Hal itu juga memungkinkan perempuan dan laki-laki memperoleh kesempatan yang sama untuk menikmati hak-hak asasinya serta membuka jalan untuk menyeimbangkan alokasi sumber daya pembangunan agar dinikmati dalam kehidupan perempuan dan laki-laki secara merata. Perempuan menyadari bahwa partisipasi ekonomi dan politik tidak dapat dipisahkan, maka diperlukan suatu lingkungan institusi yang kondusif dalam memberdayakan perempuan di segala bidang pembangunan. Keinginan perempuan untuk memperoleh keadilan adalah hak asasi yang sangat manusiawi. Tata pemerintahan adalah mencakup semua institusi dan organisasi dalam masyarakat, dimulai dari keluarga sampai negara. Justru karena perempuan diindentikkan dengan ibu rumah tanggalah semestinya disadari oleh semua pihak bahwa kaum perempuanlah yang berperan sebagai tiang negara.

Peran perempuan tidak boleh diabaikan, betapa besar tanggungjawab yang di emban, menyeimbangkan waktu antara tanggungjawab sebagai bagian dari komunitas masyarakat dalam suatu negara dengan tanggungjawab mengurus rumah tangga.

Partisipasi perempuan dapat dimulai dari lingkungan rumah tangga, desa, kota, hingga tingkat nasional bahkan internasional. Dalam tingkat mikro perempuan berperan dalam lingkungan rumah, di tingkat organisasi masyarakat dan bahkan ke tingkat makro yaitu partai politik, parlemen dan di struktur pemerintahan. Para pemimpin partai politik sudah seharusnya mulai memperhatikan kebijakan kesetaraan gender dan segera mengimplemetasikannya. Sehingga kata-kata ”kesetaraan gender” bukanlah hanya sekedar retorika dan angka 30% hanya tinggal sebagai simbol. Perhatian disini bukan dalam artian ”kuantitas” namun dengan menempatkan kaum perempuan dengan ”kualitas” yang pantas ditempatkan pada nomor ”prioritas”. Mengacu kepada prinsip hak-hak perempuan sebagai hak asasi manusia, dan target 30% kursi mengisyaratkan kepada partai-partai politik untuk memfasilitasi partisipasi yang seimbang bagi kedua gender dengan lebih membuka diri kepada tuntutan perempuan.

2.3. Hambatan Partisipasi Perempuan Dalam Partai Politik

Hambatan merupakan hal yang cukup wajar terjadi dalam setiap program ataupun suatu kebijakan yang telah dikelurkan oleh berbagai lembaga baik eksekutif, legeslatif dan yudikatif karena dalam kehidupan masyarakat memang selalu ada perbedaan, belum lagi ditambah kondisi masyarakat yang sangat plural seperti bangsa Indonesia. Partisipasi perempuan dalam partai politik dalam tataran konsep sebenarnya sudah mulai terbuka dan sudah mulai akan bangkit setelah kebijakan sistem yang selalu mencabut hak perempuan untuk berperan aktif dalam politik mulai luntur sejak keluarnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 65 ayat (1) Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%

Secara garis besar ada dua hambatan utama yang menghambat partisipasi perempuan dalam partai politik, hambatan tersebut yaitu :

1.Tidak sejalannya antara konsep dengan implementasi
Undang-Undang, perturan pemerintah, instruksi presiden dan peraturan pemerintah daerah yang di buat untuk memudahakan perempuan dalam mengakses dan terlibat dalam berbagai lingkungan. Dalam bidang politik seperti yang telah di sebutkan diatas mengenai UU tentang pemilihan umum yang mengharuskan 30 % perwakilan calon legeslatif adalah perempuan. Tetapi pada tataran implementasinya masih jauh dari harapan yang dinginkan oleh UU tersebut, banyak hal yang melatar belakangi salah satunya yaitu kerana tidak sejalannya kerangka tahnis dan kerangka dasar (konsep dasar), pada kenyataannya nomor urut calon legeslatif menjadi kunci utama naik atau tidaknya seorang calon anggota dewan, dimana urutan teratas masih di dominasi oleh kaum laki-laki. Sehingga 30 % yang diharapkan hanya sebatas retorika kosong tanpa makna.

2.Budaya politik

Budaya politik merupakan pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota sistem politik. Budaya politik sebenarnya sesuatu yang inheren (melekat) pada setiap masyarakat yang terdiri atas sejumlah individu yang hidup baik dalam sistem politik tardisional, transisional, maupun modern. Sebagaimana konsep kebudayaan juga terdapat dalam masyarakat primitiv dan pada masyarakat modern.
Menurut Amond dan Powell, budaya politik merupakan persepsi manusia, pola sikapnya terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik terbawa juga pada pembentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat. Budaya politik seperti halnya kebudayaan mempunyai asfek dan jangkauan yang cukup luas sekali.

Budaya politik secara tidak langsung dapat juga dilihat sebagai konstruksi budaya masyarakat yang masuk dalam ranah politik, konsepsi inilah yang terkadang memberikan warna politik yang sangat berbeda anatara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Budaya politik mempunyai berbagai tipe yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, tipe-tipe tersebut yaitu :

a). Budaya politik parokial (parocial political culture) adalah budaya politik yang terbatas pada wilayah yang sempit dan seringkali kepemimpinan dan keterlibatan elit politik merambah keseluruh asfek kehidupan, budaya politik seperti ini menandakan suatu kondisi masyarakat yang tradisional atau sederhana. Pada kebudayaan ini anggota masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas kecuali dalam batas tertentu,

b). Budaya politik kuala (subject political culture) adalah suatu kondisi dimana masyarakat mempunyai minat, perhatian, mungkin juga kesadaran, terhadap sistem sebagai keseluruhan, terutama segi outputnya. Sedangkan perhatian yang frekuensinya masih sangat rendah atas asfek infut serta kesadarannya sebagai aktor politik boleh dikatakan nol. Dalam masyarakat ini terdapat pandangan bahwa masyarakat terbagi dalam herarkis dimana kedudukan akan politik dan juga sebagai masyarakat biasa sebagai hal yang kodrati sehingga perkembangan politikpun terhambat,

c). Budaya politik partisipan (participant political culture) adalah suatu kondisi dimana masyarakat sudah mempunyai kesadaran akan kehidupan politik dan berperan aktif dalam duania realitas politik praktis. Seseorang dengan sendirinya menyadari hak dan tanggung jawabnya (kewajibannya), dan dapat merealisasikan dan mempergunakan hak serta menanggung kewajibannya. Sehingga pemikiran-pemikiran kritis sudah mulai akrab dalam kehidupan masyarakat.

Dalam masyarakat Indonesia yang multi kultur budaya politik yang mendominasi yaitu budaya politik parokial-koala, dan yang paling nyata terlihat yaitu kecenderungan budaya politik indonesia yang masih memegang teguh paternalisme dan sifat primordial, sering juga disebut budaya politik bapakisme, karena pengaruh budaya tradisional yang masih sangat kuat maka marjinalisasi serta diskriminasi partisipasi perempuan dalam kanca perpolitikan nasional, lokal ataupun daerah masih sangat sering terjadi.

Hal ini bisa lihat dari partisipasi perempuan dalam politik terutama dalam Pemilihan Umum 2004 yang lalu masih terbentur pada budaya patriarki yang sudah mengakar di Indonesia. Budaya ini dapat menghambat aktivitas perempuan dalam berpolitik. Apalagi untuk perempuan yang sudah menikah. Budaya patriarki telah menenggelamkan kaum perempuan tidak hanya dalam wilayah domestik, tetapi juga telah memasung kaum perempuan dengan menempatkan posisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya kaum perempuan. Perempuan juga tidak punya peranan dalam dunia politik.

2.4. Solusi Untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Dunia Politik
Dalam penjelasan mengenai hambatan partisipasi perempuan dalam partai politik ada dua akar masalah yaitu pertama ketidak sejalannya anatar konsep dasar dengan implementasi atau dengan kata lain Undang-Udang masih di selewengkan dalam politik praktis, kedua budaya politik dimana suatu budaya tradisional, terutama paternalisme masih berdiri kokoh di depan gawang dunia politik. Dari kedua permasalah dasar tersebut dalam diambil beberapa alternatif sebagai solusi setidaknya akan dapat meinimalisir diskriminasi terhadap perempuan dalam dunia politik.

Ada beberapa solusi yang ditawarkan dalam makalah ini yang tentunya berangkat dari kedua permasalahan dasar atau akar masalah dalam hambatan diatas, hal ini akan uraikan dalam bahasan berikut :

1.Mengintensifkan pemberdayaan perempuan
Keterlibatan Semua Pihak adalah kata kunci dari keberhasilan pemberdayaan perempuan. Kampanye yang dilakukan oleh aktivis LSM dan mahasiswa untuk tidak memilih figur politisi bermasalah utamanya karena pernah melakukan kejahatan/pelecehan seksual terhadap perempuan, adalah perkembangan kepedulian publik terhadap keadilan gender. Hal ini perlu didukung dan dilanjutkan dengan memublikasinya agar kaum perempuan sebagai kelompok yang berkepentingan bisa menentukan aspirasinya secara rasional. Hal inilah yang membutuhkan perhatian yang ekstra oleh berbagai pihak dalam memberdayakan perempuan dalam berbagai asfek kehidupan.

Peningkatan kualitas upaya mencapai kuota minimum jumlah perempuan di parlemen tidak bisa dilepaskan dengan upaya peningkatan kualitas dari kaum perempuan itu sendiri. Tanpanya, kesempatan apa pun yang diberikan melalui ketentuan untuk memberikan ruang politik yang lebih luas bagi perempuan, tidak akan menghasilkan perbaikan yang berarti. Dengan demikian, diperlukan upaya yang sistematis dan terprogram untuk meningkatkan kapasitas politik perempuan.

2.Mengintensifkan pendidikan gender dan sosialisasi konsep gender

Pendidikan merupakan langkah awal dalam penanaman nilai serta aturan kepada seorang individu pemahaman mangenai kesetaraan gender seharusnya mulai ditanamkan pada anak sejak dari lingkungan keluarga. Ayah dan ibu yang saling melayani dan menghormati akan menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya. Demikian pula dalam hal memutuskan berbagai persoalan keluarga, tentu tidak lagi didasarkan atas "apa kata ayah". Jadi, orang tua yang berwawasan gender diperlukan bagi pembentukan mentalitas anak baik laki-laki maupun perempuan yang kuat dan percaya diri. Dalam hal ini harus ditingkatkannya pendidikan intensif berwawasan gender dalam keluar terutama memberikan penyuluhan pada keluarga baik ayah juga ibu, sehingga pemahaman yang didapat akan seimbang dan setelah tahapan implementasinya yaitu dilingkungan keluarga akan menghasilkan output anak-anak yang sensitif dan peka gender.
Lawan utama kesetaraan gender yaitu budaya patriakis, hal ini juga diungkapkan oleh Gadis Arivia Perempuan sepanjang masa harus selalu memerangi berbagai ketololan hasil budaya patriarki, hingga saat ini. Bila dulu perjuangan perempuan diawali dengan mengangkat bedil, kini dengan menggunakan informasi. Bagaimana pun, era informasi akan sangat menguntungkan perempuan dimana komunikasi dan networking adalah dua permainan yang sangat dikuasai perempuan.Memang tidak mudah bagi orang tua untuk melakukan pemberdayaan yang setara terhadap anak perempuan dan laki-lakinya. Sebab di satu pihak mereka dituntut oleh masyarakat untuk membesarkan anak-anaknya sesuai dengan "aturan anak perempuan" dan "aturan anak laki-laki". Di lain pihak, mereka mulai menyadari bahwa aturan-aturan itu melahirkan ketidakadilan baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran memerlukan keterlibatan Depdiknas sebagai pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sekolah secara kelembagaan dan terutama guru. Dalam hal ini diperlukan standardisasi buku ajar yang salah satu kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru akan menjadi agen perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya kesetaraan gender dalam pendidikan

3.Penguatan pengawasan pelaksanaan Undang-Undang
Baik UU, Instruksi Presiden, Peraturan Pemerintah, Peraturan pemerintah daerah, yang menekankan pada asfek keadilan dan kesetaraan gender diantaranya, yaitu Perlindungan diskriminasi ( Pasal 28 UUD 1945 ), Undang-Undang Politik (UU No 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum, pasal 65 (1), Mewajibkan parpol peserta pemilu untuk memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % untuk setiap daerah pemilihan ,Perlindungan kekerasan ( UU No 23 Tahun 2004 PKDRT ) , perlindungan serta sanksi pidana bagi pelaku dan Instruksi Presiden RI no 9 tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender (PUG).
Dalam pelaksanaan dunia realitas ternyata perempuan masih termajinalisasi, di diskriminasi dan dianggap sebagai warga kelas dua setelah laki-laki, fenomena ini seharusnya dijadikan sebagai suatu dasar untuk mengevaluasi undang-undang, pertaruan, dan juga inpres untuk mengetahui dimana letak adri kegagalan penerapan konsep gender yang diamanakan dalam undang-undang, dengan adanya evaluasi yang intensif, komfrehensif, dan juga konsisten akan menghasilkan suatu pencerahan baru dalam dunia pengambil kebijakan terutama, legeslatif, eksekutif dan juga yudikatif. Sehingga pembangunan berwawasan gender akan terlaksana dari herarkis atas sampai pada herarkis paling bawah. Dan akan berimbas positif munculnya kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat juga dalam dunia politik.

4.Penerapan startegi pengarusutamaan gender (PUG)
Pengarusutamaan gender merupakan suatu strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat, ada tiga konsep dasar yang harus diterapkan dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender yaitu : a). Menempatkan individu sebagai manusia seutuhnya, prinsip ini berasal dari paradigma politics of difference (politik perbedaan) yang melihat laki-laki dan perempuan sebagai manusia yang memikul tanggung jawab masing-masing. Kemanusia laki-laki dan perempuan harus mendapat penghormatan dan penghaergaan yang sama. Prisip individu sebagai manusi sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia yang menganggap laki-laki da perempuan sebagai manusia yang sama-sama memiliki hak-hak dasar yang harus dilindungi, b). Demokrasi, berarti keterlibatan anggota sipil dalam proses-proses pemerintahan. Demokrasi juga meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dalam membangun dan merancang kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Perlu diselenggarakan forum-forum dimana perempuan dan laki-laki dapat menyuarakan kebutuhan dan aspirasinya. Merekalah yang bisa memastikan agar sumber daya di alokasikan berdasarkan pemangku kepentingan, c). Fairness, jistice, dan equity, prinsip ini yaitu pemertaan , pegeakan hukum dan kesetaraan dan yang di sebut keadilan sosial.
Ketiga prinsip dasar pengarusutamaan gender (PUG) diatas harus menjadi kerangka awal, keragka dasar dalam berbagai kebijakan yang dikelurkan khususnya untuk menciptakan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan.



BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Partisipasi perempuan dalam dunia politik akhir-akhir ini sudah memperlihatkan kemajuan yang cukup pesat, walaupun secara umum perempuan masih sering dimarjinalisasi, dideskriminasi, dan juga dianggap sebagai warga kelas dua setelah laki-laki, yang mendasari masih besarnya jurang pemisah ketidakadilan dan ketidaksetaran gender, yaitu karena dua faktor yang dominan yaitu masih kuat berdiri kokohnya budaya patriarkis dalam msyarakat dan yang kedua yaitu tidak sejalannya antara konsep dangan impelmentasinya dalam dunia realitas.
Permasalahan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender merupakan permaslahan yang cukup konflek dan memprihatinkan, sehingga penyelesaiannya pun perlu harus multi disipliner, kemprehensif, intensif dan konsisten demi mencapai suatu tujuan bersama yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia, baik perempuan amupun laki-laki.

3.2. Saran
Permaslahan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender harus benar-benar di perhatikan oleh berbagai pihak terutama oleh pihak legeslatif, eksekutif dan yudikatif, karena permalahan ini merupakan permasalahan bersar yang akan mengahambat kemajuan di berbagaia bidang dan sektror kehidupan berbangsa dan bernegara.


DAFTAR PUSTAKA


Achdian, Andi. 1997. 1996 Tahun-Tahun Kekerasan, Potret Pelanggaran HAM di Indonesia. Jakarta : Yayasan LBH

Arivia, Gadis. 2001. Jurnal Perempuan No 19. Jakarta : Yayasan Jurnal Permpuan

Kantaprawira, Rusadi. 1999. Sistem Politik Indonesi. Bandung : Sinar Baru Algensindo

Musdah, siti. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam. Jakarta : Depag RI

Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta

Soedibyo, Mooryati. 2003. Memberdayakan Peran Polotik Perempuan. Sinar Harapan

Surbakti, Ramlan. 1992. Mamahami Ilmu Politik. Jakarta : PT Gramedia Widyasarana Indonesia

Trista Agustiani, Endah .dkk. 1999. Penegakan Hak-Hak Perempuan. Palembang : Yayasan Owa Indonesia

Venny, Adriani. 2006. Jurnal Perempuan Pengarusutamaan Gender. Jakarta : Yayasan Jurnal Perempuan