Rabu, 09 April 2008


“ STOP…!!!, KEKERASAN DALAM OPDIK ”
(Abdul Kholek)

“Puluhan bahkan ratusan jiwa telah melayang di negeri ini, hanya Karena sebuah ritual kosong tanpa makna yaitu ritual budaya kekerasan di dalam dunia pendidikan“
Ada apa dibalik kejadian ini ?
dan dimana letak lingkaran syetan yang telah membelenggu dunia pendidikan di negeri ini ?

Tanggal 3 agustus 2007 adalah hari yang bersejarah terutama bagi calon-calon mahasisiwa/i yang lulus dalam SPMB. Rasa was-was dan banyak hal yang menghantui para peserta SPMB, telah terobati ketika nama mereka terukir dalam lembaran kertas Koran di pagi yang indah. Dan disanalah gerbang dunia baru akan mereka masuki, dunia yang penuh doktrin, dunia yang penuh dengan persaingan ideologi dan dunia idealisme.

Opdik sebagai suatu rangkaian acara penyambutan mahasiswa baru telah menjadi tradisi yang berlangsung cukup lama dan tak mungkin untuk dihapuskan. Opdik sebagai wadah untuk pengenalan dunia baru khususnya dalam dunia pendidikan secara teoritis berfungsi sangat positif dan urgen sekali, tetapi pada tataran pelaksanaan semuanya hanya sebatas konsep dan teoritis belaka, yang terjadi hanya suatu ritual kekerasan yang telah menorehkan catatan kelam dunia pendidikan.

Maraknya kekerasan dalam dunia pendidikan di negeri yang terluka ini, seharusnya membuat kita semua untuk lebih dewasa dalam menyikapi apa yang sebenarnya telah terjadi dalam dunia pendidikan kita. mengevaluasi hal apa yang menjadi penyebab semua permasalahan di dunia pendidikan

Satu kata kunci dari segala permasalahan yaitu
Stop Kekerasan Dalam Opdik !!!,
Mari kita JADIKAN OPDIK TAHUN INI MENJADI OPDIK YANG PENUH DENGAN KEDAMAIAN DAN PERSAUDARAAN...^_^

opini

"Demokrasi Semu, di Balik Pemilihan Rektor UNSRI"
Oleh : Abdul Kholek


“sebagus apapun sebuah birokrasi pemerintahan yang di rancang, ia tidak bisa di anggap demokratis kecuali para pejabat yang memimpin birokrasi pemerintahan itu dipilih secara bebas oleh segenap warga masyarakat dalam suatu cara yang terbuka jujur untuk semuanya”(Democracy Magazine )

Pemilihan rektor Universitas Sriwijaya 30 mei 2007 tinggal hitungan hari ada harapan dan kecemasan dari masing-masing zona, pemilihan kali ini sangat berbeda dengan pemilihan beberapa tahun yang lalu, terlihat banyak konsfirasi politik bermain dalam pemilihan ini, tapi ini merupakan suatu kewajaran karena memang manusia sebagai insan politik, yang selalu mempunyai keinginan akan kedudukan dan kekuasaan. Pertarungan antar elit politik fakultas dari Zona Eksaks dan Zona Sosial pun tak terelakkan, suatu kemajuan demokrasi yang besar dalam persfektif pejabat birokrasi kampus unsri, tetapi tidak dalam persfektif mahasiswa karena keterlibatan mahasiswa dalam pemilihan rektor masih sangat minim sekali.

Pertarungan terbuka antar elit politik masing-masing fakultas, tidak lepas dari perubahan dalam system pemilihan rektor dimana setiap dosen mempunyai hak untuk mencalonkan diri dan di calonkan, serta pihak mahasiswa serta karyawan mempunyai hak untuk memilih bakal calon rektor melalui penjaringan bakal calon rektor.

Komentar dan pendapat banyak menyebar baik dari kalangan mahasiswa, kalangan dosen, maupun karyawan mengenai bagaimana unsri kedepan. Hal yang paling mendasar yang disoroti menurut kaca mata mahasiswa dari pemilihan rektor unsri yaitu menyikapi ada apa dibalik perubahan dalam proses pemilihan rektor ?. Walaupun perubahan tersebut hanya menyentuh kalangan pejabat birokrasi kampus khususnya dosen, tetapi kita tidak dapat menutup mata bahwa telah ada langkah awal yang baik untuk perubahan positif bagi kemajuan dan perkembangan Universitas Sriwijaya kedepan.

Kingsley Davis, mengatakan bahwa perubahan social merupakan perubahan-perubahan dalam struktur dan fungsi masyarakat. Asumsi mengenai perubahan di atas setidaknya sudah memberikan gambaran akan adanya perubahan dalam sistem pemilihan rektor dalam birokrasi kampus.

Komentar mahasiswa pun semakin berkembang munculnya opini publik di kalangan mahasiswa bahwa pemilihan rektor kali ini, hanyalah sebuah demokrasi semu, mengapa dikatakan demokrasi semu ?

Demokrasi semu merupakan suatu demokrasi yang hanya dimiliki kalangan tertentu dalam artian bahwa bukan dari rakyat untuk rakyat, tetapi telah bergeser pada suatu paradigma baru yang jauh melenceng dari pokok-pokok demokrasi, yaitu dari penguasa untuk penguasa
Hal ini bisa dilihat dengan masih kuatnya peranan senat dalam pemilihan rektor, tentunya semua ini di karenakan masih kuat berdiri kokoh dan angkuhnya undang-undang pemilihan rektor yang sebenarnya sudah tidak relevan lagi di era sekarang ini dan dalam usaha pembangunan demokrasi yang sesungguhnya. Mahasiswa dan karyawan hanya di libatkan dalam pemilihan bakal calon ini pun tidak berarti, di karenakan hasil dari penjaringan hanya sebagai pembanding dan memunculkan nama saja, buktinya tidak semua lima besar hasil penjaringan punya suara signifikan di tingkat senat ( mahdhor syatri dalam sumeks 23 april 2007 ). suatu pengkebiran dalam demokrasi karena seluruh elemen dalam system belum semuanya di libatan dengan proporsi yang sama.

Pelibatan karyawan dan mahasiswa hanya merupakan suatu trik dan strategi politik untuk meminimalisir adanya konflik, karena memang potensi-potensi konflik atau konflik laten memang sudah ada dan mengakar di dalam setiap masyarakat kampus, semua ini tidak terlepas dari fakta yang ada bahwa kelompok-kelompok kepentingan dan ideologi-ideologi berkembang pesat dalam setiap pergerakan mahasiswa di kampus (baca : Pergerakan kampus). Tidak salah kalau ada rekan mahasiswa mengatakan bahwa birokrasi kampus menggunakan pendekatan structural fungsional, dimana dikedepankan suatu keharmonisan dan keseimbangan system dan mencoba meminimalisir konflik untuk mempertahan status qou, lain halnya pendekatan yang digunakan mahasiswa mungkin karena mereka lebih mengedepankan suatu tatanan yang ideal maka pendekatan konflik adalah alternative yang terbaik, dimana suatu bentuk-bentuk perlawanan, protes, aksi dianggap sebagai suatu hal yang wajar dalam masyarakat yang mulai demokratis, pendekatan ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Louis D Brandels (1927), seharusnya dalam masyarakat demokratis tidak ada tedeng aling, dan harus terbuka lebar serta boleh saja memasukkan peringatan keras, pedas, dan terkadang serangan tajam yang tidak mengenakkan para eksekutif dan pejabat publik. Serta Sebagus apapun sebuah birokrasi pemerintahan yang di rancang, ia tidak bisa di anggap demokratis kecuali para pejabat yang memimipin birokrasi pemerintahan itu di pilih secara bebas oleh warga masyarakat dalam cara yang terbuka jujur untuk semuanya, tetapi kenyataan yang berkembang, demokrasi yang ada di kampus unsri khususnya hanya sebuah demokrasi yang semu.

Protes mengenai pemilihan rektor tidak hanya di unsri saja, rekan-rekan mahasiswa di UGM juga menentang proses pemilihan oleh senat yang sebenarnya merupakan suatu demokrasi semu di balik bingkai negara yang katanya demokrasi ( 27 April 2007 )

Terlepas dari kebobrokan pejabat birokrasi dan undang-undang pemilihan rektor, yang membuat demokrasi menjadi semu. Satu hal yang perlu dicatat dalam memori kita, bahwa pemilihan rektor kali ini mungkin lebih baik dari pemilihan beberapa tahun yang lalu, semua ini tidak hanya karena semakin profesionalnya birokrasi kampus dalam mengelolah konflik, tetapi yang menjadi titik tolak perubahan proses pemilihan ini yaitu karena adanya mahasiswa yang terus memperjuangkan suatu tatanan ideal yang terbaik bagi berkembangnya demokrasi di tataran masyarakat kampus.
Tidak banyak yang kita harapakan !!!
Tidak banyak yang kita impikan !!!
Tidak banyak yang kita inginkan !!!
Tapi satu hal yang pasti yaitu unsri kedepan dipimpin oleh sosok pemimpin yang benar-benar bisa memahami dan mewakili semua elemen yang ada dalam masyarakat kampus khususnya dan masyarakat luas umumnya.

KENDARAAN POLITIK PILKADA

(oleh : abdul Kholek)

Belakangan ini sejak munculnya era reformasi serta bergulirnya program otonomi daerah dan terjadinya perubahan terhadap sistem politik di Indonesia terutama mangenai tata cara pemilihan presiden dan wakilnya, sampai pada kepala-kepala pemerintahan di daerah, yang dulunya dipilih oleh MPR untuk presiden / wakilnya dan DPRD untuk memilih kepala daerah , dan sekarang beralih pada suatu cara yang dinggap lebih demokratis yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat, dari perubahan cara seperti ini, bisa di lihat semakin besarnya peran rakyat dalam kehidupan bangsa dan negara ini, dimana mereka terlibat langsung dalam kanca perpolitikan walau hanya dalam politik pasif

Seiring perubahan sistem perpolitikan di negara ini, terjadi pula perubahan teknik, atau strategi-strategi politik yang di mainkan para pemegang kekuasaan dan juga para oposisinya.
Hal ini terlihat jelas dengan menjamurnya kelompok-kelompok etnosentrisme, yang muncul kebanyakan baru-baru ini, fenomena ini sangat menarik satu hal yang sering mendapat sorotan dari para analisis bahwa timbulnya kelompok ini di sebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang berperan di belakangnya yaitu kepentingan politik.

Kelompok etnosintrisme bisa juga di katakan sebagai kelompok kepentingan, karena kelompok ini diciptakan untuk mempertahankan, atau mewakili sikap-sikap terbatas atau khas
( Rafael Raga Maran, hal, 149 ), hal utama yang menjadi landasan pembentukan kelompok ini yaitu demi kepentingan-kepentingan kedaerahan, memajukan daerah dan lain-lain, inilah hal yang mendasari terbentuknya kelompok kedaerahan, tetapi pada kenyataannya kelompok ini merupakan suatu rekayasa politik dari actor-aktor politik untuk menarik dukungan dari rakyat, missal sebagai contoh salah satu kelompok etnis yang baru satu tahun terbentuk yaitu Front Pemuda Dan Mahasiswa Besemah Bersatu (FPMBB), ternyata pemprakarsa serta menjadi penaungnya adalah pemerintah kota pagar alam yaitu Walikota.

Begitu juga dengan kelompok-kelompok kedaerahan yang lain, dari sini sudah sangat jelas bisa terbaca oleh kita semua, baik dari masyarakat lapisan atas, ataupun dari lapisan bawah, bahwa pembentukan kelompok ini adalah suatu rekayasa atau permainan politik sebagai strategi untuk mendapat dukungan dalam PILKADA yang akan dilakukan dalam beberapa tahun kedepan, hal ini juga sejalan dengan pendapat dari beberapa elemen masyarakat, yang di tanya mengenai tanggapan mereka terhadap pembentukan kelompok etnis yang banyak bermunculan dewasa ini, kebanyakan mereka memberi jawaban yang sama bahwa kemunculan kelompok tersebut adalah suatu politik untuk menarik perhatian rakyat di dalam PILKADA ( Abdul Kholik, 2006)

Menurut Dekan FISIP Undip Abdul Khohar Badjuri, 2002. dalam Suara Merdeka ia mengatakan bahwa menjamurnya gejalah etnosintrisme di berbagai daerah merupakan suatu fenomena social sebagai akibat dari Otonomi Daerah, gejalah ini tidak dapat di elakkan lagi sebagai respon dari elit politik daerah , untuk mendapat dukungan dari rakyat demi kepentingan politik mereka ( Suara Merdeka :2002), dari beberapa penjelesan diatas sudah sangat jelas sekali akan adanya hubungan antara pembentukan kelompok etnosentrisme dengan kepentingan politik tertentu.

Munculnya kelompok-kelompok primordial atau etnosentris, ternyata telah mengakibatkan berkembangnya sikap fanatisme yang berlebihan terhadap suku, ras, agama dan juga daerah, di dalam masyarakat, dari sudut pandang fsikologis fanatisme merupakan suatu sikap seseorang tidak mampu memahami apa-apa yang ada diluar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang lain, berpikiran negative terhadap orang lian dan lain-lain ( Agus Syafii, 2006 ), dalam tinjauan sosiologis fanatisme telah melahirkan konsep “ingroup” dan “outgroup”. Menurut Dr Yudi Latif, 2005. kekerasan yang mewarnai Indonesia dewasa ini adalah buah dari fanatisme, Secara tidak langsung dengan berkembangnya sikap fanatisme dan terkotak-kotaknya masyarakat dalam berbagai kelompok kedaerahan maka akan berakibat pada terjadinya perpecahan dalam masyarakat, serta sangat rawan sekali terjadi gesekan-gesekan budaya yang berujung pada konflik antar daerah yang akahirnya dapat manggoyahkan integrasi bangsa.

Kelompok kedaerahan yang awalnya di ciptakan sebagai kendaraan politik dari para actor politik daerah, telah menjelma manjadi kekuatan besar yang mengancam integrasi / persatuan dan kesatuan bangsa, dan telah mangeser cita-cita para pejuang dan pendahulu negeri ini untuk menjadikan bangsa ini bersatu padu dalam naungan pancasila dan UUD 1945.

Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan di Palembang
( oleh : abdul kholek)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan kita sehari-hari, sering kali kita temui, kita lihat melalui media elektronik, dan juga kita baca melalui media cetak, mengenai kekerasan terhadap perempuan. Beragam bentuk kekerasan banyak menimpa wanita, dari hal yang ringan berupa rayuan, siulan dan ataupun cemoohan sampai pada perbuatan memperkosa, membunuh dan banyak lagi yang lainnya, kekerasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana, di jalanan, di rumah-rumah, di kantor, di institusi pemerintah / swasta, dan sebagainya. Tindak kriminal yang terjadi terhadap perempuan selain bentuknya bervariasi juga menimpa pada wanita dari berbagai status social, dan segala umur, terjadi pada wanita tua, dewasa, remaja bahkan anak-anak wanita di bawah umur juga menjadi korban, bahkan ada juga tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam waktu yang cukup panjang.

Berbagai daerah di belahan bumi ini terutama di daerah perkotaan, tidak terlepas dari hadirnya fenomena sosial yang di sebutkan diatas, kekerasan terhadap perempuan di wilayah perkotaan seakan-akan sesuatu yang lumrah, dan menjadi sesuatu yang dianggap biasa dalam masyarakat, tidak tabu lagi, semua bentuk kekerasan yang terjadi menjadi hal yang biasa, mungkin karena sarapan kita tiap hari, dari tv, radio, koran, menu utamanya adalah mengenai kekerasan. banyak kasus yang sering kita temui melalui media cetak atau juga melalui media elektronik misalnya mengenai pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, penganiayaan pembunuhan, pelanggaran seksual dan banyak hal lainya yang bisa kita lihat dalam media-media dalam masyarakat
Dan masih banyak lagi peristiwa-peristiwa yang memuat tentang kekerasan terhadap perempuan yang dapat membuat kita merasa ngeri melihat realita seperti itu tetapi itulah yang terjadi dimana wanita diinjak hak dan martabatnya, seakan mereka tidak mempunyai nilai sedikitpun, inilah pandangan yang keliru sehingga menjadikan wanita sebagai objek dari kekerasan

Kekerasan yang menimpa perempuan tidak terlepas dari kondisi social budaya dan ekonomi masayarakat. masyarakat mempunyai peranan yag sangat besar dalam mensosilaisasikan nilai-nilai budaya, kekerasan terhadap perempuan umumya dilakukan oleh kaum laki-laki, terlihat disini adanya dominasi lelaki terhadap perempuan, tepatnya terdapat hubungan yang tidak harmonis antara pria dan wanita
Tindakan-tindakan kriminal yang berupa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu masalah social yang sangat meresakkan masyarakat, kriminal merupakan masalah social yang menonjol dalam kehidupan masyarakat. Timbulnya kriminalitas di sebabkan adanya ketimpangan social, seperti gejalah-gejala kemasyarakatan, krisis ekonomi, keinginan-keinginan yang tak terslurkan, tekanan mental dan lain-lain ( Abdusyani, hal. 129 )

Tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah perkotaan mencapai angka statistic yang cukup tinggi hal ini bisa dilihat dari pemberitaan-pemberitaan media cetak atau media elektronik, setiap harinya ada pemberitaan mengenai tindakan kekerasan terhadap perempuan, fenomena semacam ini sangat memprihatinkan dan perlunya penanganan yang serius oleh berbagai pihak terutama pemerintah, aparat penegak hukum dan masyarakat luas umumnya, tanpa adanya penanganan yang serius dan intensif mengenai permasalahan ini, tidak mungkin permasalah ini akan bisa di kurangi apalagi untuk di hilangkan.

B. Rumusan Masalah
Tindak kekerasan terhadap perempuan menjadi permasalahan yang sangat besar, dan berat, cukup serius bagi kota, karena gejalah ini merupakan suatu fenomena yang dapat menghambat kemajuan, serta perkembangan suatu kota, Kekerasan tehadap perempuan merupakan suatu tindakan kriminal yang tidak dapat di tolelir karena fenomena tersebut telah meresahan masarakat luas dan telah mengakibatkan tidak teratur, dan stabilnya sistem social yang ada dalam masyarakat
Berdasarkan uraian diatas serta latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini yaitu,
“Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan, yang akan dilihat dengan mengangkat beberapa artikel serta tanggapan masyarakat terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di wilayah perkotaan”

C. Tujuan dan Manfaat
1) Tujuan
Pembuatan makalah ini mempunyai tujuan, yaitu :
a. Untuk memperoleh serta mangetahui penyebab-penyabab atau faktor-faktor yang melatar belakangi terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan
b. Untuk mengetahui langkah-langkah yang terbaik yang dapat di gunakan untuk mengurangi dan mengatasi tindakan kekerasan terhadap perempuan
c. Untuk mengetahui respon masyarakat terhadap tindak kekerasan terhahap perempuan, melalui menampilkan artikel-artikel dan tulisan-tulisan yang dimuat dalam internet, mengenai kekeran terhdap perempuan di wilayah perkotaan
d. Untuk memberikan gambaran mengenai tingkat kekerasan terhadap perempuan di wilayah perkotaan
2) Manfaat
Makalah ini diharapkan akan mempunyai manfaat dan kegunaan, yaitu :
a. Memberikan sumbangan teoritis mengenai tindak kriminal khususnya terhadap perempuan, serta untuk manambah khasanah ilmu-ilmu social yang membahas berbagai permasalahan social
b. Dapat digunakan untuk pengkajian yang mendalam mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan
c. Dapat di gunakan sebagai bahan masukan atau bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan atau juga undang-undang tentang perlindungan terhadap perempuan



BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

II.1. Tinjauan Pustaka
Manusia adalah mahluk sosial, saling membutuhkan, mempengaruhi dan berinteraksi satu sama lain. Komunikasi merupakan salah satu cara yang tidak lepas dalam hubungan antar manusia yang merupakan proses penyampaian dan penerimaan suatu informasi, semua kejadian yang di ketahui atau di dapat oleh manusia kebanyakan di dapat dari informasi komunikasi, begitu juga fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat menyebar dengan adanya komunikasi.

Fenomena menarik yang sering di diskusikan oleh orang-orang yang ada dijalan, di kantor, di sekolah dan lain sebaginya yaitu tentang tindakan kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan, hal ini didukung juga dengan maraknya pemberitaan mengenai peristiwa kekerasan yang dialami oleh perempuan, pemberitaan ini mengandung unsur berita sekaligus yaitu ketegangan yang di timbulkan, ketegangan dan pertentangan, sek yang ada dalam berita, jarak lingkungan yang terkena, akibat yang timbul dari berita.

Mengenai kekerasan platform for action and Beijing Declaration menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga / keluarga (privat life) maupun didalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (united nations depertement of public relation 1986)

Masalah kekerasan erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya tindakan kekerasan dilakukan oleh laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempan, sistem ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu.
Pada umumnya laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi, sebaliknya perempuan di pandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif.

Dr. Mansur Faqih mendefinisikan kekerasan sebagai serangan fisik maupun integritas mental psikologis seseorang, kekerasan dapat di bedakan menjadi dua yaitu kekerasan structural dan kekerasan personal. Kekerasan structural merupakan bentuk kekerasan yang sudah terpola atau ada legalitasnya, seperti pelanggaran untuk berorganisasi, menyatakan pendapat dan lain-lain.

Sedangkan kekerasan personal dapat di bedakan menjadi kekerasan pisik dan kekerasan verbal. Kekerasan secara fisik dapat di contohkan seperti pemukulan, pembunuhan, pemerkosaan dan lain-lain, bentuk kekerasan verbal antara lain dengan lelucon yang jorok serta merendahkan martabat perempuan

Kekerasan terhadap perempuan di wilayah perkotaan bukan merupakan rahasia umum lagi, pada umumnya sebagian besar masyarakat perkotaan sudah mengetahui permaslahan itu, kota sebagai daerah yang mempunyai kepadatan penduduk yang relative tinggi, penduduk yang heterogen, terdapat banyak pengklasifikasian masyarakat, dan lain-lain, merupakan factor pendorong muculnya berbagai macam permasalahan social, begitu juga permasalahan social yang dingakat dalam makalah ini.

II.2. Artikel Dan Tulisan-Tulisan Mengenai Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Diwilayah Perkotaan
Dalam bagian isi ini akan di tampilkan beberapa artikel serta tulisan-tulisan dari berbagai sumber, mengenai suatu permasalahan social di perkotaan yaitu tindak kekerasan terhadap perempuan, dan di bagian akhir akan ada beberapa analisis dari penulis menanggapi artikel dan tulisan tersebut.
II.3. Analisis Dan Tanggapan Mengenai Artikel Dan Tulisan Tentang Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Di Wilayah Perkotaan
Tindakan kekerasan, kejahatan di sebut juga sebagai kriminalitas, kekerasan bukan merupakan peristiwa herediter ( bawaan sejak lahir, warisan ), juga bukan warisan biologis ( Kartini Kartono, 1981: 121), tindakan kekerasan bisa dilakukan oleh siapapun baik pria maupun wanita, dapat berlangsung pada usia anak dewasa ataupun lanjut umur. Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, yaitu di pikirkan, direncanakan, dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas

Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat, a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana.
Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan social-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang immoral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelas sangat merugikan umum, karena itu tindakan kekerasan harus diberantas dan tidak dibiarkan berkembang demi terciptanya keamanan dan keselamatan manusia.

Dari beberapa artikel dan tulisan mengenai tindak kekerasaan terhadap perempuan diatas, penulis mencoba untuk menganalisis dan memberikan gambaran umum mengenai tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya di wilayah perkotaan, kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sekarang ini merupakan suatu permasalahan besar yang perlu di tanggulangi secepatnya, dalam beberapa tahun terakhir ini kekerasan terhadap perempuan meningkat sekitar dua kali lipat setiap tahunnya, bisa di bayangkan apa yang akan terjadi pada saat tidak adanya penanganan yang serius dari berbagai pihak, terutama pemerintah dan juga masyarakat luas.

Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi satu hal yang cukup memprihatinkan, tetapi yang sungguh memprihatinkan belum adanya upaya yang tegas, yang seharusnya telah diambil pemerintah untuk mengatasi permasalahan social ini. Kekerasan terhadap perempuan menjadi bahasan yang menarik di seminar-seminar, perkuliahan, tetepi hanya sebatas itu, walaupun seharusnya harus ada langkah yang konkrit dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan itu.
Anak perempuan jalanan merupakan generasi bangsa ini, yang tersisihkan yang cukup rawan dan rentan sekali menjadi objek kekerasan, suatu realita yang sangat mengerikan, dan memprihatinkan. Tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di wilayah perkotaan, tidak hanya dialami oleh anak perempuan jalanan, tetapi dialami juga oleh hampir semua lapisan masyarakat, terlihat disini bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan yang meresahkan dan merugikan semua pihak dari kalangan manapun, sudah sepatutnya perlunya kesadaran dan penyadaran bersama, agar segala bentuk kekerasan rehadap perempuan harus segera di selesaikan, walaupun bukan hal yang mudah untuk melakukan ini, tetapi kesamaan visi dan tujuan serta persatuan kita dalam menanggulangi setiap permasalahan yang muncul, akan memberikan kekuatan yang besar bagi kita untuk dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.


BAB III
PENUTUP

III.I. Kesimpulan
Kota dan kekerasan merupakan salah satu fenomena sosial yang tak terpecahkan, dimana ada kota maka disana akan muncul berbagai permasalahan yang rumit sekali, baik politik, sosial,ekonomi, budaya dan lainnya. Kekerasan terhadap perempuan merupkan sebagian kecil dari permasalahan yang ada dalam wilayah perkotaan. Permasalahan ini sangat merugikan semua pihak, baik itu pemerintah, dan masyarakat secara luas
Kekerasan terhadap perempuan umumya dilakukan oleh laki-laki hal ini di karenakan masih kuatnya budaya patriokal dalam masyarakat kita, dimana laki-laki memiliki kekuasaan yang dominan, dalam berbagi hal dan perempuan diposisikan sebagai sosok yang lemah, tak berdaya, dan tidak mempunyai kekuatan, selain itu pengruh sosial dan ekonomi juga sangat besar berpengaruh terhadap timbulnya kekerasan terhadap perempuan
Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu fenomena sosial yang perlu kita perhatikan bersama baik oleh pemerintah dan juga pihak masyarakat luas tanpa terkecuali, permasalahan ini mereupakan permasalahan kita bersam tanpa adanya kesatuan visi dan misi serta dukungan dari masyarakat tidak mungkin program yang di buat oleh pemerintah untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan akan berhasil, disinilah perlu keterlibatan kita semua demi menegakkan hak azazi manusia dinegara kita ini.






III. 2. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan di atas penulis menyarankan kepada pengambil kebijakan terutama pemerintah kota agar benar-benar memperhatikan kepentingan perempuan, jangan sampai perempuan dianggap sudah menjadi kodrat mereka untuk selalu ditindas dan perlunya memeperhatikan faktor budaya, faktor sosial dan faktor ekonomi dalam mengambil kebijakan untuk megurangi atau menghilangkan tindak kekerasan terhadap kekerasan terhadap perempuan


DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber Buku-buku :
Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Komnas Perempuan.2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Idonesia. Jakarta : Amepro

Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta

Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

2. Artikel-Artikel :
Abu, Thalib Akbar. 2006. Rantai Kekerasan Terhadap Perempuan di Jalan Nusantara. Panyingkul Jurnalistik Orang Biasa

Bactiar, Fajar. 2006. “ Jenggo Bispak “ Kisah Perempuan Penjaja Nasi. Panyinggul Jurnalistik Orang Biasa

F Huda, Nurul. 2006. Seonggok Daging. Batam : Batam Post

Hatta, Muetia. 2004. Risaukan Pelecehan Perempuan. TOKOH INDONESIA COM

Kasusnya Naik Dua Kali Lipat Meningkat, Kekerasan Terhadap Perempuan . 2005. Bandung : Pikiran Rakyat

Lukyastirin. 2003. Menggugah Keberanian Perempuan. Jakarta : Kompas
Menteri KOMINFO. 2006. Pencegahan Dan Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Di Tingkatkan. Dep KOMINFO dan Informasi Republik Indonesia

Ratnawati, Tursiani. 2006. Prihatinkan Nasib Perempuan. Bandung : Pikiran Rakyat

Redaksi on Monday.2006. Stop Kekerasan Terhadap Perempuan. INDIP- online

Wilonoyudho, Saratri. 2005. Nasib Anak Perempuan Jalanan. Jakarta : Kompas

buku

Kelas Menengah Indonesia

BAB I
Pendahuluan

Masyarakat indonesia sangat berbeda dengan Negara barat yang lebih kapitalis, dalam masayarakat kapitalis sengat jelas akan adanyan kelas menengah dalam kehidupan masyakat dan dalam tataran Negara, tetapi di dalam bangsa indonesia sangat sulit untuk menentukan masyarakat kelas menengahnya, banyak asfek yang melatar belakanginya. Kelas menengah Indonesia merupakan buah dari wajah politik yang porak poranda dan memilukan, ada beberapa tema yang muncul dalam konfrensi mengenai “politik kelas menengah Indonesia” pada juni 1986. centre of southeast asian studies, Universitas Monash. Yaitu : 1). Fakta adanya sebuah elemen baru berdasarkan kelas dalam masyarakat Indonesia, 2) Maka ideologis dari kelompok dan masalah-masalah yang berkaitan dengan karakter politik kelas menengah Indonesia, 3)Perlunya perdebatan tentang karakter pengelompokan-pengelompokan ini

Kerangka Teori ( Rambu Atau Alat ? )
Masalah penerapan suatu kerangka konseftual secara lebih atau kurang kaku tidak bisa dilepaskan dari analisa substantive. Pembagiannya seringkali di pertengkarkan dalam ilmu social barat yang bersal dari marx dan pengkritik-pengkritik liberalnya. Kelas merupakan suatu istilah yang sentral dalam leksikon politik barat dan merupakan suatu istilah yang di mana makna yang dilekatkan padanya secara histories berhubungan erat dengan tujuan-tujuan analisa politik Analisa weberian menempatkan kelas pada suatu status ekonomi yang berhadapan dengan status distribusi kehormatan dan pristise dan kekuasaan politik walaupun ketiga hal tersebut merupakan sumbu dari kekuasaan dan perselisihan antar kelompok. Karya weber mengetengahkan kelas konsumsi tradisional yang ada dalam masyarkat

Politik Kelas Menengah
Di dalam masyarakat Indonesia kelas menengah, sehubungan dengan bangsa Indonesia yang baru berkembang maka sangat sulit untuk mengidetifikasikan kelompok kelas menengah, di Indonesia kelas menengah dilihat sebagai actor politik sentral. Sedangkan dalam masyarakat barat yang dikatakan sebagai kelas menengah pada saat itu adalah suatu kondisi dimana masyarakat kapitalisan mulai berkembang menggantikan sistem pemerintahan yang feodal.
Menurut Lav lahirnya kelas menengah di Indonesia dikarenakan tarik menariknya antara ediologi dan kepentingan, Negara dan masyarakat. Pada tahun 1950 mulai munculnya kelas menengah yaitu kelompok-kelompok professional muda, dan pada masa orde baru kelas tersebut mengokohkan kedudukannya dengan membangu basis ekonomi, Setelah berlangsung selama seperempat abad pembangunan kapitalis, Negara militer, dan hipertrofik

Ideologi dan Legitimasi di Indonesia : Masyarkat Sipil Melawan Negara ? Pokok permasalahan dalam bahasan ini yaitu begaimana kelompok masyarakat sipil bisa menandingi hak-hak istimewa Negara, melalui kelompok kelas menengah yang ada dalam masyarakat. Pada masa setelah kemerdekaan terjadi pertentnagan antara kelompok kelas menengah mengenai perlunya pembatasan atas kekuasaan Negara dalam tradisi politik yang sangat statis dan kolektivitas, Pada masa orde baru pertentangan ini terus terjadi karena sistem yang militer yang memberikan beberapa petentangan dimana militer menjadi pengontrol pemerintahan
Penelitian Lav menemukan tiga kajian penting yaitu :
· Mengeloborasi argument sebelumnya, Lidle mejwab Lav bahwa Negara orde baru memiliki suatu derajat legitimasi yang efektif dan memadai unutk menjamin keberlangsungannya setelah masa Soeharto lewat.
· Transpormasi dari salah satu sector kelas menengah Indonesia yaitu kelas menengah santri “ Abdurrahman Wahid “ yang pada masa lalu mendambakan Negara islam.

Gap dan Agenda
Gagasan utama dalam bahsan ini yaitu interaksi antara gender dan kelas, masalah yang menarik yang di ajukan Abeyasekere di akhir pernyataannya, satu lagi yang menarik yaitu mengenai politik kaum feminisme atas beberapa preskripsi yang lebih sederhana tentang pembelaan terhadap masyarakat sipil untuk menghadapi Negara, Elemen terkahir yang hilang adalah dimensi internasional atau secara lebih tepat suatu penjelasan tentang suatu penjelasan tentang proses tak terbantahkan yang dengan mana Negara dan ekonomi global. Kelompok menengah sebagi kelas borjuasi da kapitalis atau lebuh tepatnya kelompok –kelompok menengah professional, birokrat, pengusaha dan pedagang kecil, mereka tetap merupakan kekuatan pengarah yang secara ekonomis sangat ekspansioner
Structural kelas menengah Indonesia perlu ditujukan setidak-tidaknya ke empat dari urban, kearah perekonomian global melalui perubahan-perubahan di tingkat militer ke arah bawah yaitu: melalui pemerintahan rovensional dan jaringan pasar ke kota dan kabupaten serta daerah pedesaan, kesamping yaitu kedalam keragaman mode produksi yang berbeda-beda secara regional. Dan kedalam yaitu pada dunia dalam pembentukan identitas laki-laki dan wanita di lingkungan rumah tangga kelas menengah dengan situasi dan orientasinya yang berbeda-beda






BAB II
Kelas Menengah Islam Di Indonesia

Dalam bahasan ini yang menjadi permasalahan yaitu mengidentifikasikan kelas menegah islam di dindonesia unutk melhat bagaimana perkembganan masyarakat kedepan Di Negara ini yang menjadi golongan kelas menengah bukanya dari kelompok penguasa tetapi dari kelompok-kelompok professional, pegawai negeri, pejabat-jejabat, bahkan kaum akdemisi.
Di masa lalu kelas menengah islam dengan jelas mudah di identifikasiakn di pedesaan, pad petani kaya dan pedagang dan di daerah perkotaan, watak dari pengusaha dari kelas menengah islam sangat jelas bertentangan dengan kelas penguasa tradisional, bahkan pengaruh sangat jelas dan sangat jauh sama seperti perbedaan anatar kelas penguasa dengan kelompok kelas menengah keturunan cina.
Ketika pendekatan politik para ulama gagal untuk membentuk Negara islam, maka kelas menengah islam kemudian mengembangakan respon ganda terhadap kekuasaan colonial. Bergabung dengan perjuangan politik unutk mencapai kemerdekaan, hal ini menjadi suatu gerakan unutk menentang colonial dari dua arah yaitu secara politik dan secar budaya.kelas menengah islam Indonesia berkeras untuk mempertahankan identitas budayanya, sendiri dengan mendirikan berbagai macam bacaan sendiri mengenai bacaan-bacaan yang islami
Setelah kemerdekaan kelas menengah islam merubah peran ganda tadi dengan menutut di resmikan ajaran-ajaran islam sebagai ideologi politik seluruh negeri, atau kalau gagal ia menjadi hokum di Negara itu.mereka melakuaka itu dengan mendukung pemimpin yang mempunyai komitmen yang sama. Seprti : M Natsir, A Wahid Hasyim, dan Abikusmo Tjokrosujoso. Sikap ini berkakhir dengan macetnya siding Dewan Konstituante 1959. Kegagalan ini berakibat adanya konsekuansi perkembangan politik yang sekarang ini telah mematikan aspirasi, untuk formalisasi islam dalam kehidupan Negara
Dua kelompok islam yang berbeda telah memberikan dua respon dengan menetapkan dua pendekatan, yaitu :
Startegi pertama dengan menyebarkan bahwa hanya islam yang bisa memlihara demokrasi sejati
Kelompok lunak islam memainkan peranan penting dalam kehidupan berbangsa. Tetapi yang menjdai kenyataan bahwa islam di kesampingkan dengan ideology modern.islam hanya dijadikan sebagai pelengkap dari aturan kenegaraan



BAB III
“Kelompok Tengah” Dan Perubahan Di Indonesia

Istilah kelas menengah berubah dari waktu-kewaktu. Penelitian tentang kelompok menengah Indonesia sangat kurang sekali, banyak kaum ilmuan Indonesia yang cenderung mengabaikan strata menengah social, dengan melebur kelompok-kelompok baru kedalam dua kelas yang penggunaannya masih sangat dominan.
Hal yang paling mendasar untuk memberikan pengamatan terhadap strata menengah adalah bahwa mereka di bandinkan dengan lainya cenderung konsisten mempromosikan perubahan. Secara histories kelas menengah telah menjadi factor uatama dari desakan terhadap perubahan ekonomi, social, politik, dan cultural. Pada saat sekarang ini yang menjadi pemimpin gerakan nasionalis dan anti-kolonial
Dalam makalah ini ada dua macam perubahan :
Pertama menunjukkan bagaimana kelompok menengah yang terus meluas ini dengan munculnya ediologi-ediologi baru.
Berkaitan dengan sistem politik dan tekanan-tekanan yang dalam jangka panjang akan mengubahnya.
Kebangkitan Dan Pertumbuhan
Evolusi kelompok menengah di Indonesia dapat di identifikasikan dalam beberapa tahapan yaitu pada masa belanda didirikan sekolah-sekolah untuk kalangan pribumi yang pada akhirnya melahirkan kelompok pribumi menengah professional, dan merupakan suatu indicator lahirnya kelompok-kelompok social baru, pada tahun1900-an
Menurut Dale Johnson (1985), kelompok menengah adalah sebuah kumpulan yang dinamis yang tumbuh dari dua kelas yang popular, mereka bukan datang dari kalangan petani, atau pekerja kota di satu pihak elit Negara di pihak lain menempati strata wiraswasta, komersial, financial dan frofesional. Kaum professional di satu sisi akan melahirkan para revolusioner, namun pada lain sisi mereka bersikap lebih konservatif. Walaupun dalam jumlah yang sedikit tetapi kelompok social yang baru itu dapat menciptakan perubahan-perubahan yang cukup penting, kelompok professional muda telah mampu menciptakan gerakan-gerakan nasionalis dan memimpin Negara baru. Kaum liberal diantara mereka adalah dari kelompok professional PNI dan Masyumi, secara paradok strata menengah lahir dari masa demokrasi terpimpin
Orde baru mulai menghamparkan landasan ekonomi ekspansif yang tak dimiliki sebelumnya. Landasan inilah yang memberikan danfak revolusioner terbesar dalam sejarah Indonesia.

Ideologi di Tengah : (Negara / masyarkat dan Hukum)
Kalangan professional sebagaimana kalangan wiraswastawan, tujuan dan gaya secara alami tumbuh semakin beragam. Secara keseluruhan kaum professional, seperti para wiraswasta sangat antusias dalam mengumpulkan uang sejalan dengan etos boom orde baru, Para wiraswastawan terpecah dengan adanya kedekatan salah satu pihak pada elit militer dan pemerintah.
Perubahan strata kelompok menengah juga terjadi perubahan dalam ediologi seirng dengan perkembangan jaman, kelompok yang mengalami perubahan itu yaitu para putra priyayi, sejak awal karena terpengaruh oleh ide-ide belanda maka kaum professional swasta Indonesia cenderung untuk memandang masyarakat / Negara dalam cara berkutub, Pertarungan yang di lahirkan akibat manifestasi kebudayaan pada awal-awal orde baru, ketika keganduhan perdebatan isu Negara/masayarakat mencapai titik tertinggi, isu itu tidak dapat di pajamkan dalam waktu yang singkat, kelompok-kelompok menengah secara intens terlibat aktif dalam menyalurkan gagasan mereka dalam orde baru. Munculnya berbagai gerakan yang menyuarakan berbagai hak-hak masyarakat, pada tahun 1960-an, mereka adalah kelompok yang indevenden tidak terikat oleh parol. KAMI, KAPPI dan KASI, LBH dan lain-lain.
Dua decade berikutnya banyak dari organisasi itu menunjukkan sikap militant dalam keberjarakan dengan Negara, dan akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an kehadiran asosiasi-asosiasi aktivis yang tertanam secarah teguh dalam masyarakat menjadi sangat lazim terlihat, Piagam Jakarta merupakan sebuah dokumen Negara / masyarakat, namun dua puluh lima tahun demokrasi terpimpin dan oerde baru telah mulai menenamkan tumbuhnya kesadaran akan kebutuhan perlindungan akan hak azazi manusia
Persoalan etnisitas pada dasarnya berkaitan dengan pertanyaan apakah kelompok-kelompok non jawa memilki minat khusus terhadap pemisahan Negara / masyrakat mengingat pemisahan semacam itu manjanjikan peluang social dan ekonomi lebih besar dalam Negara yang yak mungkin mereka dominasia ataupun bahkan mereka peroleh secara professional.
Konsep Negara hokum menjadi sangat relevan, Negara hokum menarik perhatian dari berbagai pihak, karen Negara hokum akan melindungi para warga neagranya dari perlakuan yang tidak adil. Pemrintah orde baru cenderung merangsang lahirnya ekonomi swasta yang tak dapat di elakkan, hal ini cendrung melahirkan swastanisasi lainnya



Orde Baru dan Menengah Baru
Rezim militer manjadi landsan yang kuat untuk bisa mempertahankan kekusaan seorang yang berkuasa, begitu juga di Indonesia pada zaman orde baru kedudukan militer berada di belakang pemerintah, yang cukup memprihatinkan yatiu kalangan menengah tidak mampu berbuata banyak. Hubungan antara kelompok-kelompok menengah privat dan rezim orde baru telah di penuhi dengan dualisme dan ketidak pastian serta kecurigaan mendalam.
Rezim orde baru mendapat dukungan dari oleh beberapa pihak yang mersa di untungkan karena telah mampu menghancurkan komunisme dan dalam menciptakan peluang-peluang ekonomi. Namun demikian legitimasinya masih di ragukan atau paling tidak banyak meragukan. Militer politik modern telah melekat dan menetap secara institusional maupun secara ediologis dalam Negara, seperti kebanyakan militer politik, menggerogoti potongan-potongan imbalan di sana-sini. TNI sejak 1959 dan terutama tahun 1966 telah manjalin kesegenap pelosok birokrasi. Sangat sulit untuk mencabut militer dari posisi itu, ia bebar-banar melekat pada Negara terikat dari atas kebawah dengan lembaga-lembaga Negara, Krisis suksesi mungkin tak akan mengurangi domonasi militer sebagai political estate utama, hal ini akan sangat berpengaruh pada hubungan antara para penerus dengan kelompok-kelompok menengah swasta. Lidle berargumen bahwa pemimpin yang cakap akan mampu mengendalikan situasi seperti yang dilakukan oleh Soeharto, dan kemungkinan para pemimpin baru akan berusaha iutnuk memprelihatkan daya tariknya, kalau perubahan terjadi bertahap seperti ini maka para kelas menengah akan bisa menerima dengan wajar.






BAB IV
Sejumlah Catatan Mengenai Kelas Menengah
Dan Perubahan Di Indonesia

Perubahan dalam orde baru sangat mendasar sekali, walau dengan harga yang mahal harus di bayar cukup jelas di sejumlah hal namun belum bisa di pastikan di sejumlah hal lainnya. Dimensi dari perubahan itu yaitu adalah dengan bangkitnya sebuah kelas menengah yang ketiadaannya berakibat penting selama dua decade pertama setelah revolusi dan kehadirannya akan berpengaruh besar setelah dua decade berikutnya.
Kelas menengah telah terevolusikan dengan adanya pergantian zaman dimana dulu mereka sebagai kaum profesional yang terus melaju dengan menyebarkan sikap nasionalis dan anti terhadap kolonialisme, setelah mereka dapat merebut kemerdekaan mereka tersisihkan dari perpolitikan yang memang cukup kejam, seharusnya mereka dapat menikmati indahnya mengisi kemerdekaan tetapi mereka terlupakan oleh bangkitnya sosok militer yang mulai beaksi, sistem social, politik, ekonomi dan budayapun tidak lagi bisa memberikan kedudukan yang berarti bagi mereka.
Dan mulai pada saat 1965 mereka mulai dapat berperan walau mereka masih dalam tekanan mereka memiliki sedikit kekuatan politik. Soetjipto Wirosardjono (1984) menunjuk pada akar feodal dari kelas menengah Indonesia yang ia percaya sebagai penyebab dari ketiadaan hasrat mereka akan perubahan social mandasar.
kelas menengah tentu saja mencakup sebuah keseragaman kelompok yang cukup luas sekali. Mereka adalah kaum professional yang sering terabaikan, di Indonesia kelompok professional yang tidak kohesif berkembang secara perlahan sepanjang periode sekitar 50 tahun. Kemudian tahun 1970-an pertumbuhan ekonomi swasta, besama-sama dengan nilai-nilai status baru ynag diinspirasikannya, menciptakan gelombang ke dalam pekerjaan-pekerjaan professional baik oleh para sarjana maupun para pegawai negeri yang lebih tua.
BAB V
Kelas Menengah dan Legitimasi Orde Baru

Beberapa arguman Daniel S Lev, mengenai kelas menengah, yaitu : pertama bahwa sebuah kelas menengah (atau kelas-kelas) telah tumbuh secara signifikan semasa Orde Baru sebagai akibat sampingan dari kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah. Kedua bahwa sebuah porsi cukup besar dari kelas ini secara politik berpendirian liberal. “liberal” di sini berarti memiliki kepedulian untuk menciptakan jarak antara Negara dan masyarakat, dan yang ketiga bahwa kelas menengah liberal akan terlibat dalam aksi politik.
Mempertegas pernyataan-pernyataan ini dengan argument penutup bahwa kelas menengah adalah minoritas kecil yang walaupun tampaknya bisa menimbulkan kesulitan namun bukan merupakan ancaman serius bagi otoritarianisme untuk jangka waktu cukup lama mendatang.
Mungkin karakteristik terpenting dari Orde Baru yang perlu kita kenali adalah bahwa ia merupakan rezim pasca-1950 pertama yang menikmati keabsahan mendasar. Demokrasi Perlementer sebagai sebuah rangkaian prinsip dilumpuhkan oleh ketiadaan dukungan dari public secara umum maupun dari banyaknya politikus. Demokrasi Terpimpin berupaya untuk melegitimasikan ideology nasionalis revolusionernya yang sesungguhnya telah kadaluarsa, tanpa menawarkan jawaban-jawaban yang dibutuhkan bagi bermacam dilema kebijakan Indonesia di akhir 1950-an dan awal 1960-an.
Kunci bagi keabsahan Orde Baru adalah “develovmentalisme”, serangkaian ide yang aplikasinya oleh pemerintah sudah menelurkan berbagai hasil dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur social dan peningkatan kesejahteraan individual. Namun sama pentingnya adalah fakta bahwa itu sangat menarik hati para pendukung politik kritis, warga Indonesia berpendidikan menengah yang memenuhi sector modern, dengan proporsi besar darinya dikaryakan oleh birokrasi Negara.
Apa yang menarik bagi birokrat pada ideology developmentalisme adalah sifat paternalisticnya, yang menganugerahkan mereka peran kunci, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kebijakan. Kebanggaan dan kepercayaan diri kaum birokrat dimanapun sangat terasa. Itu disimbolkan secara sederhana, dalam pakaian safari, lencana KORPRI yang mengkilat. Namun perwujudan utamanya adalah dalam kenikmatan yang mereka rasakan saat menceritakan peran yang telah mereka jalankan untuk menjadikan Indonesia modern. Pejabat-pejabat militer, sebuah subset dari birokrasi, mengambil bentuk kebanggaan paternalistic serupa dalam keberhasilan mereka memelihara corak ketertiban public tertentu yang dibutuhkan bagi birokrasi untuk menjalankan tugasnya. Selama dua decade terakhir, pemerintah Orde Baru telah mengembangkan sejumlah cara dalam menangani kelompok-kelompok diluar birokrasi. Sebagian dari sarana ini melibatkan parlemen,yang tujuan utamanya adalah untuk mensimbolisasikan ketiadaan oposisi terhadap rezim dan para pemipinnya


BAB VI
Indonesia Adalah Indonesia

Indonesia tidak bertengger dipuncak suatu revolusi demokrati maupun revolusi islam, namun terus menarik perhatian para pengamat Dunia Ketiga. Di antara negeri-negeri padat penduduk yang kaya minyak tidak ada satupun pemerintahan yang berhasil secara ekonomi selain Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto. Sejak 1971, pemilihan-pemilihan perlementertelah diselenggarakan sebanyak tiga kali dan dijadwalkan kembali pada perengahan 1987. lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi partai , dan aturan-aturan kampanye dirancang sedemikian rupa untuk mendukung partai pemerintah. Presiden, kemudian dipilih secara langsung oleh MPR yang kuat yang terdiri dari seluruh anggota parlemen DPR ditambah jumlah yang sama dari anggota-anggota yang diangkat pemerintah, membuat tidak mungkin untuk menggeser suatu jabatan yang sedang dipegang.
Pada pertengahan 1960-an pada masa akhir konfrontasi politik luar negeri dan pengabaian ekonomi domestic di bawah pemerintahan Orde Lama pimpinan presiden Soekarno, GNP Indonesia merosot. Dari akhir 1960-an hingga ketika dilanda resesi dunia, pertumbuhan ekonomi menunjukkan rata-rata 8% per tahun. Untuk mengurangi merosotnya penerimaan ekspor pada awal 1980-an, pemerintah mengambil serangkaian tindakan pengencangan ikat pinggang, termasuk penundaan sampai waktu yang tak terbatas beberapa proyek proyek yang paling prestesius.
Apa yang menyebabkan keberhasilan ekonomi yang relative ini ? sebagian jawabannya terletak pada factor insidentil perorangan, serta kecerdasan Presiden Soeharto yang menginginkan negerinya berkembang dan percaya pada para ekonomnya. Namun dibalik kepribadiannya terdapat banyak keinginan umm. Salah satunya adalah keputusan Yayasan Ford, yang diambil segera setelah kemerdekaan, untuk menginvestasikan pembangunan jurusan ekonomi pada Universitas Indonesia dengan mengirimkan dosen-dosen mudanya yang berbakat untuk belajar ke California dalam rangka meraih gelar Ph.D. kedua adalah ekonomi yang berantakan, dililit inflasi dan tak tersentuh oleh manajemen ekonomi moderns, teknologi, dan modal yang merupakan warisan dari masa Soekarno pada 1966. jendral Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan prioritas utama untuk pemulihan perekonomian. Ini menuntunnya pada para ekonom yang merupakan satu-satunya kelompok pemgang kunci yang membuka bantuan asing, investasi dan perdagangan. Variable ketiga yang kritis seringkali diabaikan dalam berbagai diskusi tentang pembangunan Dunia Ketiga di Negara-negara Barat adalah penciptaan suatu system politik yang dapat mendukung peranan penting bagi para ekonom untuk periode waktu yang panjang.



BAB VII
Pembangunan Politik Asia Timur

Pada waktu pasca Perang Dunia II, tertanam kepercayaan bahwa perubahan social pada seluruh tingkat masyarakat adalah sistematis dalam bentuknya dan pararel dalam isinya. Sistematis berarti struktur ekonomi, politik, budaya dan social sangat erat terjalin, sehingga perubahan disegi yang satu memerlukan keterlibatan gerak sebanding disegi yang lain. Paralelisme adalah pandangan bahwa revolusi industri di Eropa merupakan pertanda dan model bagi perubahan social di Negara-negara baru. Dengan demikian, istilah abstrak “pembangunan politik” menunjukkan kesejajaran antara hubungan politik dengan ekonomi dan aspek-aspek lain dari pembangunan.
Apakah gerakan kearah demokrasi yang lebih besar, menelanjangi keinginan-keinginan ilmiahnya sebagai pembangunan politik, merupakan saran yang berguna bagi pemerintah-pemerintah Asia Timur ? menurut kaum liberal barat partisipasi rakyat harus diupayakan di segala waktu dan tempat, dan menempatkannya pada prioritas lebih tinggi ketimbang nilai-nilai lainnya.
Politikus-politikus yang memerintah di ketiga kasus itu, menganggap lawan-lawan masa lalu dan masa kini mereka. Muslim dan komunis di Indonesia, komunis dan sosialis democrat cina, muslim atau komunalis atau sosialis Malaya di Malaysia, Cina kiri dan chauvinis Cina di Singapura. Tidak sesederhana seperti kepentingan-kepentingan yang meminta perwakilan tetapi sebagai musuh yang berupaya menjatuhkan kemapanan tatanan politik dan social.
Apakah mereka benar ? sebaliknya jika beberapa dari kekuatan tersebut diberi hak berpartisipasi dalam system, apakah mereka akan menjadi regu pemain yang jinak ? pertama, kebenaran objektif jarang merupakan persoalan penting, karena orang dapat membuktikan siapa yang menjalankan keuletan. Kedua adalah bahwa kekuatan-kekuatan oposisi sesungguhnya siap bertaruh di dalam system, tetapi pertaruhan ini telah dimenangkan sebagian besar di luar kerangka pranata-pranata perwakilan semacam partai politik dan dewan perwakilan.
BAB VIII
Refleksi Lanjutan Terhadap Kelas Menengah

Perbedaan kepentingan ekonomi yang ada, beragumentasi bahwa kelas menengah Indonesia dapat dikenali secara lebih mpan dalam kaitannya dengan cara berkonsumsi. Hal ini tidak hanya mengacu pada tingkat tindakan mengkonsumsi yang lansung berkaitan dengan timgkat penghasilan, dan juga tidak secara khusus mengacu pada tipe barang-barang konsumsi, seperti barang-barang yang tidak mudah rusak/tahan lama. Sebagian besar orang Indonesia berkeinginan memiliki barang konsumsi modern yang tidak mudah rusak, dan banyak juga yang jelas-jelas bukan tergolong kelas menengah.
Kelas dapat didefinisikan berkaitan dalam kerangka budaya dan nilai bersama sebagaimana kepentingan ekonom bersama, dan kreteria-kreteria ini tidak harus saling mendukung.namun dalam pengertian yang sama, orang tidak boleh mengabaikan keaneka ragaman pekerjaan dari berbagai kelompok social ini mengacaukan keselarasan dari budaya, gaya hidup dan nilai-nilai.
Jadi pokok permasalahan bukanlah pada pemilikan atas barang tahan lama yang dimiliki konsumen, melainkan cara konsumsi mereka. Jstru, hal ini mendasari bagaimana masyarakat berprilaku dan mendefinisikan status mereka dalam kehidupan di kampung sehari-hari, barang apa yang dibagi atau menjadi milik bersama, siapa yang saling berbagi dan dalam kondisi apa pembagian terjadi.
Melalui gaya hidup, masyarakat mewujudkan tingkat kesadaran kelas dalam cara-cara yang sangat praktis. Dalam hal ini, kasadaran tidak mengacu pada penentuan minat aksi politik yang dpat dikenali oleh para marxis. Kesadaran ini cenderung malah malah merupakan identifikasi dengan suatu kelas masyarakat yang menjalankan gaya hidup ala Barat yang modern, yang sampai pada tahap tertentu didasari peranan para model, dan di propagandakan melalui media massa nasional terutama televisi.
Bila dalam rangka pola konsumsi dan gaya hidup terdapat perbedaan yang jelas antara kelas menengah dan “rakyat”, maka akan lebih sulit mengenal “kelas atas”. Walaupun sesungguhnya ada kelompok yang makmur, namun gaya hidupnya lebih menunjukkan gaya hidup orang kaya baru, dari pada gaya hidup aristokratik, berbeda dengan kelas menengah yang sudah lebih jelas tingkatannya dari pada dalam jenisnya. Kesulitan mengidentifikasi nilai kelas menengah disebabkan karena adanya kesamaan sekaligus berbagai perbedaan.adanya nilai suatu komitmen bersama terhadap pembangunan, terhadap pemerataan, dan terhadap kemajuan.
Di Eropa, kelas menengah yang tergolong rendah sangat peka untuk membedakan statusnya dengan kelas pekerja, dan juga secara politis menjadi sangat konservatif dalam menghadapi apapun yang mengancam stabilitas politik.
Penarikan diri dari tugas atau gaya hidup kampung dan partiipasi pemeliharaan kampung oleh kelas menengah, dapat diterima karena adanya factor moral dan perpaduan dan kekuatan agama Islam. Karena hidup di kampung, anggota kelas menengah bawah terlalu dekat dengan rakyat, sehingga tidak dapat dengan tenang menerapkan kaidah islam yang lebih liberal dan modern sebagaimana penghuni di luar kampung. Karenanya kelas menengah bawah terbelah antara sekumpulan nilai yang terbentuk dari cara hidup dan sekumpulan nilai lain yang berasal dari daerah di mana mereka tinggal. Masalahnya adalah system nilai rakyat yang diikuti oleh sanksi agama, membentuk kekuatan moral yang memberikan mereka sekumpulan nilai yang bertentangan dengan kelas menengah di kota. Bila pembangunan berjalan lancara sehingga sanggup mempertahankan standar hidup dan kemajuan kelas menengah, maka tampaknya kelas menengah-atas akan tetap menjadi kelompok penguasa, yang memiliki desakan kepada professional dan intelektual di tingkat menengah




BAB IX
Pemilikan Dan Kekuasaan Di indonesia


Kemerdekaan Indonesia ditandai dengan melemahnya posisi kelas menengah Persoalan, dengan berbagai pendekatan terhadap masalah tersebut adalah bahwa mereka mengasumsikan bahwa jalinan kausal antara pemilikan dan kekuasaan politik, beroperasi dalam cara yang secara esensial sama di Indonesia dan dimasyarakat lain di asia dengan yang berlangsung dibarat, kendatiun jelas bahwa diindonesia kata pemilikan itu sendiri tidak mengandung banyak konotasi dan landasan hokum yng telah lama mencirikannnya disebagian besar masyarakat barat. Dan system politik Indonesia sendiri merefleksikan kenyataan itu dalam karakter yang mendasar, yang berarti bahwa sumber utama dari kewenangan politik dan beragam bentuk kekayaan adalah sangat terkonsentrasi dipuncak system politik / ekonomi, pada derajat yang sangat jarang dapat dijumpai disistem pluralistic dan kapitalis konfensional. Dibarat, orang tidak perlu menjadi marxis untuk menerima proposisi umum bahwa secara keseluruhan uang membeli kekuasaan, sementara Indonesia lebih sering dijumpai sejak 1945 bahwa kekuasaan membeli kekayaan.

Sejumlah Persoalan Analitis
Awal 1980an, sebagian besar dari isu yang sama kembali saya hadapi ketika saya melakukan studi mengenai pola – pola perubahan social diberbagai daerah pedesaan jawa. Dua gejala pantas mendapat perhatian khusus. Pertama adalah bahwa kelas kulak yang semula diantisipasi ternyata tetap tak lahir. Kedua adalah bahwa tetap sulit ditahun 1980an untuk mengidentifikasi siapa yang merupakan elit regional, atau kelompok kunci pemegang kekuasaan, dikabupaten atau propinsi manapun dijawa.
Pemilikan lahan dihampir semua daerah diindonesia sangat tersebar tidak terkosentarasi disejumlah kecil tangan. Generalisasi umum bahwa penguasaan pemilikan didominasi oleh satu atau beberapa kelompok, baik kalangan asing atau keturunan cina atau birokrat politik, sirng kali mengabaikan hal elementer bahwa tanah masih tetap merupakan bentuk pemilikan terpenting dinegeri ini dan hanya sedikit orang – orang tersebut yang memiliki banyak tanah.
Di Indonesia, kita hampir tidak dapat menemukan pola yang dapat dibandingkan dengan pola – pola penguasaan lahan luas yan digandakan dengan tingkat penyewaan yang tinggi yang menjadi cirri Filipina dan Amerika Latin. Adalah mungkin bahwa stratifikasi social mulai muncul diwilah pedesaan Indonesia dan mungkin pula bahwa sejumlah corak simbiosis kelas baru muncul dikalangan kaya desa dan para pejabat kota yang telah lama menjadi elemen kunci dalam kelas menengan di banyak kota kecil dipinggiran kota Indonesia.

Sektor Negara : Peran Paradoksal
Pengambilan keseluruhan asset ini yang berlangsung bersamaan dengan hadirnya ediologi yang sangat anti kapitalis pada era 1950an, menguatkan keyakinan yang telah ada secara umum bahwa semua sector strategis ekonomi harus ditempatkan dalam genggaman Negara dan bukan dalam genggaman bisnis swasta baik dalam maupun luar negeri. Bahkan pada kenyataanya, adalah pada tahun – tahun pertama pada 1967 dua buah perusahaan yang paling massip dan kontropersial menjalankan peran komersial mereka yang terkemuka, mereka tentu adalah Bulog dan Pertamina.
Cirri paradogsal dari perusahaan – perusahaan Negara adalah bahwa para bosnya, secara mengejutkan nampak memiliki hanya sedikit pengaruh penentuan strategi atau kebijakan ekonomi Negara secara keseluruhan. Mereka cenderung menjadi para penerima pasif atau hanya sekedar instrument pemerintah ketimbang menjadi pemberi bentuk yang aktif dan berpengaruh.



Pengaruh Politik Modal Asing.
Peran modal asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia pasca 1965 telah merupakan factor yang sangat penting. Dua butir penting perlu mendapat perhatian seksama, pertama adalah bahwa modal asing tidaklah memperagakan pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemerintah. Ladang utama infestasi asing adalah minyak dan gas. Kedua adalah kenyataan bahwa perusahaan asing kini sedemikan rentan secara politiklah menyebabkan ia menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.

Cina Indonesia
Ada dua hal yang sangat mengecewakan dari pandangan mengenai ornag cina di Indonesia, yaitu : Pertama, perusahaan bisnis cina belum mampu mendominasi semua puncak komando ekonomi Indonesia pada derajat seperti dijalankan belanda dulu. Kedua, mereka memiliki hanya sedikit pengaruh atau kekuatan politik, sementara perusahaan – perusahaan perkebunan dan perdaganan belanda memiliki peran politik yang luar biasa. Tak ada cina di Indonesia yang dapat berharap untuk memaikan peran politik secara berjarak yang dapat dibandingkan dengan tahun 1970an.
Tida butir lain penting diperhatikan mengenai cina sebagai borjuasi potensial Indonesia dalam perbandingan dengan rekan – rekan sejawat cina thai mereka. Pertama, infestasi mereka dalam cakrawala waktu hamper semua bersifat jangka pendek. Kedua, dalam ratusan kota yang tersebar diseluruh Indonesia baik kota kecamatan atau kabupten dimana cina adalah lebih terkemuka sebagai kelas bisnis dari pada dijakarta, medan atau Surabaya, mereka cendereung terkemuka dlaam dua corak aktivitas: pengembangan proverti dan bentuk – bentuk yang lebih mensyaratkan keahlian dari industri kecil dan perdagangan

Kesimpulan : Kelembekan Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan ekonomi tak terstruktur secara memadai dan hamper – hamper tak memiliki pengaruh politik sama sekali. Tidak tak dapat membandingkan Kadin sebagai organisasi loblying dan kelompok kepentingan yang serupa di amerika dan Australia. Sementara kelompok – kelompok kepentingan bertarap lebih rendah seperti asosiasi pengusaha tekstil, atau asosiasi penggilingan karet memiliki kekuatan yang lebih tidak signifikan.
Penyebab dari kelembekan yang menarik perhatian dari kelompok kepentingan Indonesia ini, saya percaaya harus kembali dilacak dalam domain politik dan ediologi cultural ketimbang pada sisi ekonomi ataupun structural. Para pengelola karet, penghasil gula, produsen tekstil memang memainkan peranan ekonomi penting dalam ekonomi nasional dalam ekonomi keseluruhan sehingga kita mungkin menduga bahwa mereka dapat mengorganisir diri untuk bertindak secara politis sebagai kelompok – kelompok lobyis namun nyatanya mereka telah menjalankannya hanya untuk derajat yang sangat kecil. Penjelasan terhadap anomaly ini dapat ditemukan dalam dua pertimbangan. Pertama, adalah karakteristik rezim yang bersifat patrimonialis.


BAB X
Uang dan Kelas Menengah

Siapa Kelas Menengah ?
Borjuis merupakan konsep yang cukup terbatas, mengacu hanya kepada kelas kapitalis, kelas pemilik kekeyaan yang agaknya merupakan sub kelompok dari kelas menengah sampai orang yang mempunyai keinginan yang mendefenisikan sebagai bagian dari kelas penguasa yang memang terpisah dari kelas menengah.
Crouch menyimpulkan bahwa atas dasar pekerjaan dan gaya hidup, bahwa kurang dari 5 % penduduk Indonesia termasuk kelas perkotaan yang mampu yang berarti 7.3 juta orang pada tahun 1980an atau secara kasar 1.6 juta rumah tangga ( dengan asumsi tiap rumah terdiri dari 4 – 6 orang ).
Crouch juga mencatat bahwa 8.9 % dari seluruh rumah tangga memiliki sepeda motor,5.6 % televise, 2.1 % memiliki mobil. Jika kita menyetujui jika kepemilikan televise layak dipercaya sebagai indicator status kelas menengah, secara relative beberapa keluarga kelas menengah perkotaan memiliki tidak hanya satu, dipihak lain jika mengangap sepeda motor menjadi indikatornya minimal status kelas menengah maka batasan paling tinggi

Cara Memperkirakan Jumlah Kelas Menengah
Ada empat pendekatan yang digunakan yaitu :
1. Bukti Dan Kategori – Kategori Pekerjaan
Crouch tentulah benar bahwa relative sedikit tenaga usaha penjualan atau staf tata usaha yang dapat diidentifikasikan sebagai kelas menengah, tetapi tanpa memiliki indicator status yang tepat kita tidak mempunyai dasar memperkirakan proporsi yang relevan untuk setiap kategori
2. Fraksi Kelas Menengah Penduduk Perkotaan
Kita dapat memeriksa kembali setiap perkiraan yang telah kita buat tentang ukuran dari kelas menengah perkotaan dengan landasan diatas pada rujukan proporsi yang dihasilkan nya sehingga diketahui mengenai jumlah penduduk perkotaan. Hampir bias diasumsikan bahwa jelas sekali bagian terbesar dari kelas menengah kota Indonesia bermukim dikota besar .
3. Etnis Cina Dan Pegawi Negeri
perkiraan jumalah etrnis cina di Indonesia tahun 1980an sekitar empat juta orang, tetapi tidak semuanya berada dikelas menengah atau penghuni kota apapun penilaiannya. Tidak semua penghuni kota besar bermukim dikota besar yang tentu saja merupakan tempat utama kelas menengah perkotaan namun hamper pasti proporsi yang sangat besar dari mereka sekitar 600.000 keluarga .
4. Pendekatan Penghasilan Pengeluaran
Pada prinsipnya adalah mungkin menentukan tingkat panghasilan atau pengeluaran nasional untuk memperkirakan status kelas menengah diberbagai kota dan kemudian terlihat data yang oleh berbagai survey pengelauaran susenas membuktikan persentase orang diwilayah perkotaan yang melampaui jumlah tersebut,

Kelas Menengah Atau Borjuasi
Karakteristik – karakteristiknya seperti :
1. Ia adalah kelas yang dalam terminology marxis, mengandung defenisi yang tepat sebagai kelompok kohesif orang yang diikat secara bersama oleh hubungan yang sama dan distingsif dengan alat – alat produksi atau setidaknya memasukan beberapa ikatan bersama kesadaran dan solidaritas kelas.
2. Ia kelompok yang memiliki atau mengontrol cadangan modal atau pemilikan lain yang besar atau kelas yang menjalankan kekuasaan control terhadap modal tersebut dalam sector ekonomi modern kapitalis melalui kombinasi kepemilikan dan pengelolaan.
3. Ia kelompok yang berpengaruh secara politik dalam banyak hal, mampu melakukan daya ungkit yang efektif terhadap kebijakan pemerintah yang relevan terhadap kepentingan investasi mereka.

Sumber – Sumber Kekayaan
Secara konseptual kita dapat mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan kelas menengah setidaknya berkaitan dengan variable – variable berikut ini :
1. Derajat urbanisasi di Indonesia yang meningkat dari kurang 6-7% sebelum 1930 menjadi 22% tahun 1980.
2. Perluasan pendidikan khususnya pendidikan menengah dan kejuruan dimana sebagian besar kelas menengah adalah kaum terdidik.
3. Perluasan industri manufaktur dan tersier serta tingkat lapangan kerja mereka.
4. Pemilikan rumah mewah khususnya diperkotaan
5. Penghasilan – penghasilan bisnis dari kegiatan komersial dan industri
6. Penghasilan investasi tetapi ini menjadi vaksi yang sangat kecil di Indonesia
Pertumbuhan Pesat Dan Kelas Menengah
Karena jalan perkembangan sebagaian besar negeri – negeri di asia timur yang pertumbuhannya pesat pada dasarnya adalah kapitalis, kita yang berada dibarat cenderung berpikir tentang kapitalisme dari sudut pandang bahwa kelas menengah atau borjuasi yang mendominasi kehidupan social ekonomi, mengubah masyarakat menurut bayangan mereka, untuk menggunakan prasa dan lev. Dan membangun semacam keharusan dan kondisi yang mencakupi bagi pembangunan ekonomi. Secara umum diasumsiakan bahwa borjuais adalah kelas pemupuk dan penanam modal. Tentu saja asumsi ini khalayan bahwa setiap bangsa harus mengikuti jalan pertumbuahan dari setiap seperti di barat.



BAB X1
Komentar Tentang Konsep Uang Dan Kelas Menengah

Status social dan segala atribut yang menempel padanya adalah sangat penting. Eksistensi pedagang bebas dan kaya atau kelas pengusaha bias ditolelir oleh pejabat – pejabat militer atau sipil yang berkuasa kecuali jika mereka sendiri mempunyai akses kepada kekayaan yang lebih besar, yang diwujudkan dalam bentuk tanda – tanda kebesaran modern atau sebagai atribut status. System kasta tradisonal tidak mengizinkan pedagang pada kasta ksatria sipil atau militer. Cara mudah untuk mendapatkan kekayaan masyarakat dengan pendapatan yang tetap adalah tak perlu dikatakan melalui praktek korupsi yang tidak mengherankan tetap dapat diterima dalam suatu masyarakat dimana prinsip timbale balik atau utang budi masih sangat dihargai, meskipun kini semakin hari semakin memudar.
Manakala masyarakat terbiasa pada aturan permainan untuk saling memberi ganjaran, manakala korupsi telah menjadi membudaya atau melembaga, sangat bias dipahami bahwa aliansi yang sudah berlangsung antara penguasa politik , pedagang cukong paria dan para investor modal asing menjadi kuat, sementara disekeliling mereka kini ada tiga kelompok , seperti semut – semut yang mengelilingi madu dan gula, yang bergabung adalah para teknokrat , professional, intelektual dan sebagainya.
Dalam keadaan begini akan sangat sulit untuk menentukan suatu defenisi kelas menengah Indonesia yang jelas, khususnya jika seseorang mempunyai gambaran dalam benaknya tentang borjuais weberian yang gila kerja yang pada kenyataanya telah menjadi pencipta dan pembawa kebudayaan kapitalis eropa.


BAB XII
Kelas Menengah Sebagai Kekuatan
Politik Di Indonesia

Kelas menengah diartikan sebagai suatu kelas yang mencakup kelompok – kelompok social yang berkembang, yang dianggap berada diantara buruh dan petani atau kelas bawah disatu pihak dan kelas berkuasa apakah itu feudal atau kapitalis dipihak lain. Masyarakat menengah dalam pandangan ini memiliki keterampilan, relative kaya, dan memiliki nilai – nilai individualis, materialisme, sekularisme dan rasionalisme.

Konsep Kelas Menengah Weberian
Dalam tradisi weberian kelas didefenisikan dalam bentuk posisi pasar yang berkaitan dengan hak pemilikan, kesejahteraan dan kesempatan – kesempatan hidup daripada sebagai bentuk terhadap alat – alat produksi. Weber adalah orang pertama yang mengklaim bahwa meluasnya kapitalisme dan munculnya kapitalisme industrial secara khusus membutuhkan suatu system politik dan otoritas birokratik yang rasional dalam rangka untuk memungkinkan terjadinya akumulasi capital.
Pengadopsian pemikiran weber membawa beberapa perbedaan yang penting dari tesis orisinil weber. Pertama, penekanan yang berlebiahan terhadap keunggulan budaya sebagai agen perubahan dan pengabaian factor – factor material sebagai kekuasaan penggerak. Kedua, sementara weber memandang rasionalisasi wewenang dan ekonomi mendorong kepada ramalan mengenai korporasi dunia dan borokrasi serta pengasingan individu, maka kaum liberalis memandang kekuatan ini sebagai membebaskan individu dan memperkuat demokrasi.
Namun demikian ada persoalan utama dalam pandangan kelas menengah ini. Pertama, sementara kelas menengah dilihat sebagai himpunan identitas yang koheren menurut status sosialnya, posisi materialnya dan peranannya sebagai kelompok rasionalis, maka terdapat keraguan yang serius akan peran mereka sebagai pembawa nilai – nilai individual, kemerdekaan dan demokrasi. Kedua, jika istilah menengah dan kelas adalah untuk mengartikan suatu yang lain, maka penguasa politik Negara dan pemegang kekuasaan ekonomi dalam beberapa hal harus dibedakan dari kelas menengah bahkan jika mereka mungkin dilihat sebagai pembawa nilai – nilai budaya rasional dan sekuler yang sama sebagaimana kaum professional bergaji menengah dan kelompok – kelompok wiraswasta.

Kelas Menengah di Indonesia
Pengamatan yang dilakukan Horward Dick mengenai maslah kelas menengah diletakan pada dua aspek. Pertama, proses pormasi capital diantara kelas kapitalis kecil yang baru muncul benar – benar merupakan suatu konderensi bagi suatu basis lama didalam dalam birokrasi dan desa. Kedua, melihat kelas menengah baru dalam arti pola k- pola konsumsi dan tingkah laku social.
Kelas kapitalis diindonesia bukan merupakan entitas monolitik dan tidak dapat dibedakan, terbagi antara modal industrial, financial dan pedagang asing dan domistik, cina dan pribumi, skala besar dan kecil, maka kelas menengah merupakan entitas yang kompleks dan beraneka.

BAB XIII
Kelas Menengah Santri :Pandangan Dari Dalam

Beberapa hal yang mendasar dalam pembicaraan tentang kelas menengah di Indonesia. Yaitu adanya kesepakatan mengenai kekaburan istilah itu sendiri. Bahkan bagi Jamie Mackie kaegori kelas dipakai hanya dalam pengertian sehari-hari yang longgar, sementara Robison menganggap bahwa borjuis nasional sama sekali gagal untuk muncul.
Namun dengan munculnya budaya kelas menengah (middle calss culture) yang (mengutip H.W. Dick) sangat jelas di Jakarta dan sedang dalam proses menjadi budaya nasional serta menjadi topic dalam pembicaran masyarakat akhir-akhir ini. Kompas misalnya, baru-baru ini muncul publikasi mengenai kaum profesinal di Jakarta. Serta Prisma misalnya, mengangkat isu-isu lama seperti percaturan politik antar generasi dan peran intelektual. Akhirnya terdapat kesepakatan mengenai asal-usul kelas menengah baru yakni dari keluarga priyayi disatu pihak dan dipihak lain dari petani-petani kaya dan pedagang-pedagang kecil ekonomi bazaar dengan mengecualikan golongan Cina dalam hal ini
.
1. Rekrutmen Priyayi
Keluarga priyayi kelihatannya menjadi menonjol sebagai sumber rekrutmen dengan kecenderungan dalam bidang ekonomi dan pentingnya pendidikan sebagai jalan utama menjadi anggota kelas menengah.
Ini menunjukkan perhatian masyarakat terhadap konsumsi mereka yang berlebihan dan ketidakacuhan terhadap tangung jawab sosial. Mungkin ini merefleksi dari non-afiliasi setiap partai politik, walau bisa diartikan kekecewaan mereka terhadap sistem politik sekarang. Mereka tidak mau mengambil resiko serupa dengan lazimnya asal-usul priyayi mereka. Ini menggambarklan pada aristokrasi Geertz, bergerak ke ekonomi bertipe firma dengan mengambil keuntungan dari posisi kekuasaan dan monopoli, hal ini mendorong pembentukkan feodalisme industri.
2. Rekrutmen Santri
Dalam sektor ekonomi, Negara tetap dominan sementara swasta berada pada monopoli Cina dan sedikit pengusaha kliennya. Hal ini tidak memberi jalan keluar bagi ekonomi bazar mengubah dirinya menjadi model ekonomi firma. Untuk berperan dalam transportasi tersebut mereka mengirim anak-anak, laki-laki dan perempuan ke sekolah-sekolah modern supaya mendorong mereka masuk dalam keanggotan kelas menengah. Ternyata ini bukan transformasi dari ekonomi bazar ke ekonomi modern melainkan “pemborjuisan” anak-anak kaum santri atau priyayisasi santri.
Dari lapisan menengah atas kelompok santri priyayi, banyak dijumpai pada posisi strategis berbagai departemen dan BUMN. Banyak dari mereka merupakan bekas aktifis-aktifis mahasiswa yang jeli meniti posisi strategis mereka melalui sistem patronase. Sementara anggota lainya adalah rekrutmen baru yang menanjak posisinya melalui akses alumni dan organisasi kemahasiswaan berdasarkan pada loyaliatas kelompok santri.
Lapisan selanjutnya diisi kaum professional seperti, para eksekutif, manager, ahli teknik, konsultan, akuntan dan pengacara. Mereka menduduki sebagian besar karena keahlian dan pendidikan dan tidak melalui patronase dan birokrasi Negara. Sementara lapisan menengah tengah, dapat dmasukkan kaum intelektual dan masyarakat pers secara umum. Kaum professional bebas misalnya pengacara dan dokter, fungsionaris LSM, juga pegawai negeri sipil menjabat esolen tiga dan empat.
Dalam lapisan menengah bawah dapat memasukkan kelas menengah bawah urban seperti pegawai menengah rendahan, buruh pabrik, dan mereka yang bekerja di bidang angkutan dan jasa-jasa urban lainya. Namun menggunakan kriteria seperti tingkat pendapatan, pola konsumsi dan gaya hidup merupakan kategori yang masuk akal. Lapisan atas biasanya tinggal di pemukiman kota yang bagus, pada lapisan menengah bawah tinggal di pemukiman baru yang murah sedangkan lapisan menengah tengah tinggal diantara keduanya yaitu dirumah-rumah bagus di kampung-kampung.
3. Perubahan Pandangan : Tema-tema Liberal dan Radikal
Ketika mereka mengalami priyayisasi, anggota kelas menengah santri mengubah sebagian pandangannnya. Mereka memilih untuk bersikap lebih harmonis, menerima sistem secara damai, kurang radikal, kurang fanatik terhadap umat karena untuk mendelegitimasikan posisi representasional mereka dalam sistem. Mereka lebih toleran dan berhati-hati dalam meniru symbol-simbol kelas menengah dan pola konsumtifnya. Dan dalam internal mereka cenderung bertahan dan memelihara solidaritas kelompok santri.
Bagi lapisan menengah tengah, lapisan atas itu melangkah terlalu jauh, bertindak lebih dari agen-agen birakrasi dari pada sebagai wakil umat. Laisan ini kurang radikal karena banyak belajar mengenai akibat dari sikap-sikap non-kompromis atau radikalisme yang premature, yang tidak menguntungkan cita-cita Negara Islam. Mereka lebih liberal, terbuka terhadap interperasi dan tidak ada wewenang interperasi tunggal secara internal konflik antara keyakinan Islam modern dan keyakinan tradisional dapat disurutkan bahkan menghapus garis pembatas antara abangan dan santri.
Dengan disfungsi partai politik kelas menengah santri memelihara hubungan umat melalui saluran lembaga-lembaga dan organisasi-orgnisasi keagamaan dan organisasi pengembangan masyarakat. Lapisan tengah menengah ini terlihat malu-malu, mereka mengkritik tetapi dengan kelihatan yang kontruktif dan non-oposisi agar tidak diinterpretaikan kelompok elite sebagai pihak yang menentang.
Kelompok radikal jumlahnya sedikit tapi efektif dalam mengendalikan jaringan jemaah masjid tertentu. Melalui pertemuan keagamaan, latihan dan meluaskan pengaruhnya diantara para pelejar-mahasiswa dan generasi muda yang memerlukan spiritualitas dan alternatif terhadap situasi perubahan-perubahan social yang membingungkan. Mereka mengaspiratifkan ketaatan terhadap doktrin-doktrin Islam bukan cita-cita Negara Islam sebagai symbol melawan Negara sekuler.


BAB XIV
Komentar terhadap Aswab Mahasin
Kelas Menengah Santri : Pandangan dari Dalam

Diketahui bahwa struktur politik parlementer memliki ketimpangan yaitu sesuatu yang intinya non Jawa atau bahkan mungkin non Indonesia. Keseimbangan yang stabil dan kemanunggalan adalah nilai-nilai yang didambakan masyarakat Indonesia.
Sikap ketidakacuhan golongan menengah terhadap tanggung jawab social Mahasin mengatakan bahwa ini ‘mungkin terefleksi dari sikap non-afiliasi mereka setiap partai politik, walaupun ini dapat diartikan bahwa mereka kecewa dengan sistem poltik yang ada sekarang atau juga mereka tidak mau mengambil resiko dalam mengambil permainan yang berbahaya tersebut’.
Dengan ini dari kenyataan bahwa pemerintah, kelompok sipil dan kekuatan militer menyadari akan kelebihan kekuatan. Maka PDI dan PPP mengalami deislamisasi, bergabung dalam kesatuan ksatuan politik sebagai partai pengontrol dan pengoreksi, sebagai Partai Pengimbang berhadapan dengan Golkar dalam tipe hubungan yang serasi.


BAB XV
Birokrat Menengah, Petani Menengah, Kelas Menengah?
Dimensi Ektra- Perkotaan
( Kennet Young )

Peranan klasik Negara dalam sebuah masyarakat kapitalis yang ideal adalah non-intervensi disamping menjaga kondisi-kondisi repropruksi kapitalis, kepemilikan pribadi, kebebasan membuat perjanjian, pasar dan lain-lain. Negara turut campur sebagian besar atau sedikit pada seluruh perekonomian kapitalis. Dalam kondisi demikian lapisan menengah sebagian penduduk pedesaan berkembang, dalam pengertian mereka bukan borjuis ataupun buruh tanpa tanah. Sementara mereka yang memiliki penampilan, gaya dan pola konsumsi yang kita bisa asosiasiakan dengan kelas menengah kota sedikit memiliki subtansinya.
Kelas menengah menurut angaka masih tetap lemah dan secara politis pengaruhnya relative dianggap tidak berarti dalam pembuatan kebijakan nasioanal (Crouch 1984: 82,84). Kemunculan kelas-kelas menengah merupakan fenomena-fenomena kesejarahan yang meluas, kelompok-kelompok yang memiliki derajat otonomi ekonomi dan politik yang penting vis-à-vis otoritas politik, dan secara pasti menancapkan bentuk-bentuk politik yang melindungi posisi mereka telah berlangsung dalam kondisi-kondisi yang dicirikan oleh tatanan social kapitalis.
Dengan menggunakan aliansi-aliansi politik seringkali menajadi peralihan pekerjaan untuk membuka jalan masuk dalam saluran dan perluasan kegiatan ekonomi yang diatur oleh Negara. Proses pengayaan elite-elite desa sebagai sebagai jauh telah dimanfaatkan untuk memperlakukan kembali banyak keunggulan struktur lama yang masih terus menyesuaikan diri pada patronase ketimbang mengejar kesejahteraan individu yang otonom dalam pasar yang impersonal. Jika ada kelas menengah di luar kota-kota, jumlahnya tetaplah kecil dan lagi pula memilki berbagai ciri tunggal yang sama dengan hal yang paling berharga ialah keanekaragaman pengalaman lokal.

Kelompok-kelompok Dominan dan Menengah di Pedesaan Jawa
Rumah tangga, keluarga, kerabat dan sanak saudara, klien dan hubungan-hubungan elite politik seringkali berdekatan sehingga tidak bisa dibedakan dengan elite ekonomi. Inti aparat-aparat Negara di pedesaan ialah pejabat-pejabat pemerintahan regional dan lokal, pegawai-pegawai dari departemen dalam negeri. Berbeda namun bertalian intim dengan dengan mereka ialah pamong-pamong desa yang dipimpin oleh lurah.
Walaupun demikian personel Negara tidak hanya terbatas pada pemerintahan kabupaten, kelurahan, dan desa. Jumlah mereka sepadan dengan hirarki pararel militer dan kepolisian. Kemungkinan anggota-anggota kelas menengah masyarakat yang paling jelas adalah angota-anggota lingkup profesi seperti guru dan pekerja-pekerja diluar pertanian (Lev,1989).
Sementara pada sistem bengkok, tidak satupun dari selain pamong desa khususnya lurah, pejabat-pejabat desa, saudara dan kerabat mereka kerap kali secara kedinasan maupun pribadi menguasai banyak tanah dan menguasai aset-aset lainya serta mendekati lapisan kaya. terakhir.

Hadiah Berkilauan
Beberapa posisi didalam Negara lebih diinginkan ketimbang lainya, setiap orang di Indonesia mengetahui apa yang dimaksud dengan jabatan basah. Hadiah berkilauan ini dapat membuat seseorang menjadi kaya. Oleh karena pengeluaran Negara dan kegiatan ekonomi berdampak besar terhadap ekonomi desa, sumber-sumber alternatif akumulasi modal sawasta di pedesaan mungkin merupakan kekuatan ekonomi yang dominant. Konservatisme kelas menengah dalam banyak masyarakat mungkin berhubungan dengan meluasnya kesadaran bahwa keuntungan-keuntungan mereka berkaitan dengan tatanan yang sedang berlangsung (dan kekawatiran akan biaya transisi Di Indonesia, pendidikan secara sosial penting sekali artinya dan merupakan kunci untuk memasuki banyak kedudukan kelas menengah

Kelas Menengah dan Pemilikan Pribadi
Keunikan personel Negara dan kelas menengah baru didalam struktur menyeluruh masyarakat telah mendapat banyak perhatian. Analisa kelas karenanya terpusat pada masyarakat sipil (civil society), serta sector swasta dan pasar baik yang berasal dari Marx ( hubungan-hubngan apropriasi dalam produksi sosial dan hubungan-hubungan dominasi) atau dari Webber (peluang-peluang pasar).
Dalam memperhatikan Indonesia maka terlihat berbagai jaringan pribadi yang rapat antara personel elite Negara dengan pemilik atau pengusaha perusahaan-perusahaan terbesar dan yang paling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa regulaisi ekonomi teknokratis mengenai kepentingan-kepentingan modal secara umum sangat sulit. Birokrat politik (politicio bureaucrats) yang terlibat sangat jauh dalam proses akumulasi modal dan kelompok-kelompok borjuis yang mengendalikan sector ekonomi vital yang mampu memaksakan kepentingan-kepentingan kolektif mereka atas Negara, baru saja muncul
Dengan ini jika sseorang merujuk kelas-kelas menengah sepanjang berkenaan dengan kelompok professional, intelektual, borjuis kecil dan petani-petani menengah juga perlu dimasukkan kedalam posisi birokrat Negara tingakat menengah. Jika karakter swasta dari situasi social dan budaya mereka relatif lemah, begitulah yang diharapkan, maka posisi kelas-kelas sawasta secara umum lemah didalam proses reproduksi struktur keuntungan yang telah mapan.

Implikasi-implikasi Politik
Pertumbuhan keals menengah Indonesia menjadi berpengaruh secara politis, tentunya mereka akan melakukannya ditempat-tempat mereka tumbuh. Perubahan-perubahan tidak akan terjadi dari sudut pandang perluasan jumlah kelas-kelas menengah tetapi perubaha-perubahan dapat berjalan untuk menggantikan kepentingan-kepentingan swasta dan koneksi Negara yang relatif kuat.
Munculnya persekutuan yang dominan telah dimungkinkan karena pendapatan-pendapatan pemerintah telah tumbuh pada tingkat yang tidak diperkirakan sebelumnya tanpa meningkatkan jumlah penarikan pajak pertanian (dan sector-sektor nonektrakrif lainya) secara besar-besaran. Hal demikian pasti berdampak terhadap berbagai program pembangunan pedesaan dimana pemerintah sangat menyandarkan klaim keabsahannya.
Hadir pula tantangan lain, tekanan jumlah penduduk di pedesaan Jawa tak bertanah semakin tinggi dan meningkat. Jenjang pendidikan dengan lulusan yang dikembangkan secara besar-besaran sedangkan lapangan kerja merupakan persoalan mendesak yang harus segara dipecahkan. Adalah mungkin dengan tetap mengingat adanya beberapa inisiatif politik yang sulit, untuk menyerap sejumlah pertanian produktif yang penting, mesti mengharuskan juga dilakukannya tindakan yang bertentangan dengan kepentingan anggota-anggota elite pedesaan


BAB XVI
Profesional Muda Jakarta Gaji Jutaan
Kerja Keras Kurang

Professional dengan berbagai ketrampilan dan kahliannya, kini mempunyai posisi yang kuat baik dalam masyarakat maupun kalangan dunia usaha juga karena lobby-lobby mereka lewat organisasi profesioanal yang juga cukup diperhitungkan dengan sebagian dominan dari kelas menengah Lewat penelitian penjajakan yang dilakukan Kompas yang terbatas di kalangan professional muda kota Jakarta ,Dengan 70 responden menggunakan kuiesioner dan diikuti wawancara mendalam. Dan menggunakan indicator penelitian yakni pendidikan dan pendapatan terdapat indikasi karakter khusus. Hampir seluruh responden mengecap pendidikan tinggi : 20,9% sarjana muda, 64,7% sarjana penuh, 7,3% pasca sarjana dan hanya 7,3% berpendidikan sekolah lanjutan atas serta tak seorangpun berpendidikan dibawahnya.
Ada indicator lainya dalam gambaran professional muda Jakarta yaitu menggunakan waktu libur, waktu senggang pilihan rumah makan dan musik ataupun film kesenangan mereka. Lebih dari separuh responden mengatakan pernah berlibur keluar negeri, 21,9% sering (satu atau dua kali per tahun), dan 37,5% kadang-kadang. Rumah makan favorit, lebih dari seperempat (35%) memilih rumah makan berciri dari negeri barat seperti American Hamburger. Dan menggunakan waktu luang untuk berolahraga memilih bowling (32%), golf (28%), tennis (20%), driving (12%), dan main radio CB (8%). Yang menarik kemudian bagaimana nilai-nilai social yang hidup setelah itu. Adanya pertarungan, tekanan nilai-nilai tradisional dan desakan nilai baru yang membonceng simbol-simbol barat tadi.


BAB XVII
Pernyataan Pada Konferensi
Tentang Politik Kelas Menengah Indonesia

Banyak defenisi kelas menengah tidak memperhitungkan perempuan. Semuanya didasarkan terutama pada jenis pekerjaan dan ditambah kriteria pendidikan, jumlah pendapatan dan ideology yang hampir dilihat kaitanya dengan kedudukan laki-laki dialam masyarakat.
Selama konferensi telah menelaah beberapa alasan mengapa konsep kelas menenga menjadi suatu konsep yang komplek latar belakang Indonesia. Oleh sebab itu perlu diajukan beberapa patah kata mengenai ini. Bagaimana kehadiran perempuan pasti mempengaruhi konsep kelas di masyarakat manapun, termasuk di Indonesia dan kemudian mengajukan beberapa pertanyaan tentang signifikansi politik kaum perempuan didalam kelas menengah di Indonesia.
Dalam hal politik kelas yang menjadi topik pembicaraan Yaitu yang pertama Politik hanya dilihat kaitanya dengan pemegang tampuk kekuasaan. Perubahan kelas akan mengubah watak suatu Negara, apakah akan membangkitkan tantangan didalam diri para pejabat tinggi pemerintah (penguasa). Dan yang ke dua yaitu Agenda politik kelas menengah secara histories ditentukan oleh kaum lelaki, tapi jika perempuan menyumbang sesuatu misalnya yang berhubungan undang-undang perkawinan atau pemeliharaan anak dan dianggap sebagai permasalahan perempuan atau kurang penting dibanding persoalan-persoalan politik.

Penelitian

SOLIDARITAS SOSIAL KELOMPOK PAGUYUBAN
DI KOTA PALEMBANG
( Studi Kasus Solidaritas Sosial Front Pemuda dan Mahasiswa
Besemah Bersatu ‘ FPMBB ‘ )
oleh : Abdul Kholek
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang memiliki penduduk dengan beranekaragam suku. Meningkatnya keanekaragaman penduduk salah satunya yang di sebabkan oleh proses urbanisasi, ini yang berkaitan dengan masalah ketidakpastian para urban dalam menjalankan kehidupan sosialnya, dan di sisi lain para urban harus menghadapi kemajuan kehidupan kota, di mana setiap suku memberikan makna kepada kehidupan dan menempatkan segala sesuatu dalam suatu tatanan, terlepas dari betapapun membingungkan keadaan tersebut pada mulanya
Setiap kelompok masyarakat memunculkan karakteristiknya sendiri namun jika terjadi keadaan yang tidak mengenakkan, karena beraneka orang saling berinteraksi, yang memungkinkan dapat membentuk karakter baru. Karakter ini merupakan bentuk atau alat untuk menyesuaikan diri dan tanpa menghilangkan karakter kelompoknya. Paguyuban (Gemeinschaft) merupakan alternative untuk mempertahankan karakter-karakter seperti nilai dan norma, pranata, budaya dan lain-lain. Hal ini disebabkan mereka merasa memiliki suatu kesamaan nasib karena berada didaerah perantauan, asal-usul daerah, maka tidak ada pilihan lain untuk tidak bersatu dengan sesamanya (common will). Sehingga mereka tetap mempertahankan nilai atau budaya yang mereka bawa dari daerah asalnya ( Edwarto Ihromi, 1984 : 56 )
Semakin majemuknya suku disuatu daerah maka dipandang sebagai suatu faktor kaburnya karakter atau ciri khas budaya yang asli. Oleh sebab itu tipe paguyuban yang paling baik bagi mereka adalah kelompok karena ikatan darah atau yang memiliki nenek moyang sama ( Soerjono Soekanto, 1990 : 134 ). Kelompok ini menyediakan sarana dan tempat dengan tujuan untuk berkumpul sebagai wadah dalam mengapresiasikan keluhan atau masalah bagi anggota. Kelompok-kelompok kekerabatan ini sudah memiliki struktur dan kepengurusan. Di tempat ini mereka berinteraksi untuk sesamanya, dengan demikian mereka akan saling memberi kepercayaan dan saling membantu karena merasa satu keluarga. Hal yang paling menonjol ialah para anggota dapat mengekspresikan potensinya pada orang yang memiliki latar belakang yang sama sehingga merasa diterima dan dihargai.
Proses-proses itu akan mempengaruhi pola interaksi kekeberabatan dengan masyarakat ditempat perantauan. Interaksi dengan orang diluar kelompoknya tersebut menggambarkan interaksi untuk menyesuaikan diri dan mengikuti pola prilaku dilingkungan masyarakat sekitarnya. Interaksi ini untuk menjalankan kehidupan sehari-sehari mereka dapat akrab tetapi masih ada batasannya, seperti halnya masyarakat yang memiliki tetangga.
Sedangkan pola interaksi yang terjadi dalam kelompok kekerabatan menunjukkan hubungan kekeluargaan yang lebih erat. Adanya persamaan latar belakang dan perasaan satu keluarga, meskipun mereka tidak dapat bertemu setiap hari. Interaksi diantara mereka selain berkaitan dengan hubungan kekeluargaan juga dalam kehidupan ekonomi tetap terjalin.
Interaksi merupakan sebuah proses terbentuknya aktivitas-aktivitas social. Interaksi dalam masyarakat tersebut lebih didasarkan pada ikatan yang muncul dari masyarakat itu sendiri dan nilai primordial yang muncul, pola interaksinya sendiri lebih di dasarkan pada kesamaan suku. Dari pola interaksi tersebut muncul solidaritas yang kuat diantara anggota. Sebagai pola interaksi yang didasarkan pada kesamaan suku. Bentuk nyata dari solidaritas tersebut akan timbul rasa persaudaraan antar anggota di dalam paguyuban tersebut, yang akhirnya membentuk sebuah ikatan yang berdasarkan ikatan primordial.
Munculnya kelompok-kelompok paguyuban di Kota Palembang memberikan realitas dan bukti nyata heterogenitas masyarakat Kota Palembang. Kelompok-kelompok paguyuban tersebut memiliki ciri khas yang berbeda antara kelompok yang satu dengan yang lainnya, disesuaikan dengan asal usul daerah
Kebudayaan di bayangkan sebagai sesuatu kemutlakan, suatu ciri yang akan terus melekat pada tubuh masyarakat untuk selamanya. Kebudayaan selalu terbuka dan sifatnya dinamis. Kebudayaan membentuk sosoknya dengan mengabungkan berbagai unsur yang datang dari luar akan tetapi sekaligus mempertahankan sifat cair dan liar yang agaknya selalu melekat dalam masyarkat. ( Nat J Colletta dan Umar Kayam, 1987 : 309 ).
Front Pemuda Dan Mahasiswa Besemah Bersatu ( FPMBB ), merupakan salah satu kelompok paguyuban yang ada di Kota Palembang. Kelompok basemah ini termasuk dalam tipe paguyuban yang didasari oleh ikatan darah ( Gemeischaft by blood ) yaitu paguyuban yang merupakan ikatan berdasarkan pada ikatan darah atau keturunan. Munculnya kelompok ini didasarkan pada masih kuatnya rasa solidaritas kedaerahan, seperti pada beberapa tahun yang lalu di daerah asalnya terjadi musibah kebakaran, mereka melakukan penggalangan dana untuk membantu para penduduk yang mengalami musibah. Selain itu mereka aktif dalam melakukan promosi tentang profil daerah asalnya melalui berbagai acara yang diselenggarakannya, seperti penyelenggaraan pameran-pameran kebudayaan daerahnya di kalangan para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi yang terdapat komunitas mahasiswa basemah.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka hal yang menarik untuk dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai solidaritas social dalam hal mempertahankan nilai-nilai budaya yang merupakan identitas suatu kelompok ,yang di realisasikan melalaui pola interaksi social. Dalam kelompok paguyuban Front Pemuda Dan Mahasisiwa Besemah Bersatu ( FPMBB ) di Kota Palembang.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah keberadaan kelompok kekerabatan (Paguyuban) Front Pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu ( FPMBB ) di kota Palembang. Kelompok ini saling berinteraksi terutama berkaitan dengan nilai-nilai kedaerahan. Maka dari itu fokus permasalahan penelitian adalah: Bagaimanakah solidaritas sosial dalam kelompok paguyuban FPMBB di kota palembang ?
Adapun rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar-dasar pembentukan komunitas Front Pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu ( FPMBB ) di Kota Palembang ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk manifestasi solidaritas social dalam kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasisiwa Besemah Bersatu ( FPMBB ) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami solidaritas sosial yang terjadi dalam kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu ( FPMBB ) di kota Palembang

1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Untuk memberikan gambaran umum dan memahami dasar-dasar pembentukan kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah bersatu khususnya interaksi dan solidaritas.
2) Untuk mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk manifestasi solidaritas sosial dan pola interaksi pada kelompok paguyuban FPMBB

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya khasanah bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi dalam mengkaji dan menganalisis berbagai dimensi yang berkaitan dengan solidaritas sosial

1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini adalah :
1) Sebagai bahan rujukan awal bagi studi lanjutan dalam mengungkapkan berbagai aspek yang berkaitan dengan solidaritas sosial kelompok primordial
2) Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam usaha memajukan kebudayaan daerah

1.5 Kerangka Pemikiran
Kehadiran kelompok bukan suatu yang baru dalam kehidupan manusia. Kelompok dibentuk karena individu membutuhkan orang lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Usaha ini akan terus menerus dilakukan selama kelompok tersebut bernilai baginya. Selama dirasakan bahwa ia memerlukan kelompok untuk kemajuan dan perkembangan dirinya. Proses ini menuju pada proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut merupakan proses aktif yaitu masuknya orang dalam suatu kelompok.
Pengertian kelompok dapat dirincikan dengan poin-poin sebagai berikut (Herbert G. Hicks, 1993:3);
1. Kelompok atau organisasi sering dipakai untuk memecahkan masalah ekonomi, militer dan masalah masalah lain.
2. Orang mungkin juga masuk kelompok karena kebutuhannya diterima dan mencegah kesepian dan kerenggangan. Kerenggangan famili dan kelompok-kelompok lain sering membantu kebutuhan ini.
3. Demikian kelompok juga dapat memberikan bantuan pada waktu orang menjumpai kesusahan.
4. Kelompok dapat memberikan tujuan dan nilai hidup yang lebih bernilai, norma prilaku, dan kesetiaan kelompok.
5. Kelompok social, kerja dan bermacam-macam kelompok lainnya memberikan prestice, status dan pengakuan.
6. Kelompok, dengan kehidupan mereka, memberi orang kesempatan untuk memuaskan kebutuhannya untuk mengungkapkan perasaannya dan melakukan hubungan dengan berbagai cara.
7. Perasaan keamanan seseorang sering di manfaatkan dari kelompok jika mereka mengurangi kecemasan orang dengan memberi dukungan, tertahanan dan perasaan diikut sertakan.
8. Kadang-kadang kelompok membantu memberikan terapi tatkala memecahkan masalah-masalah pribadi.
Jelas bahwa kehidupan saling pengaruh antar orang jauh lebih bermanfaat dari pada kehidupan diri. Maka dapat dikatakan kehidupan seorang diri tanpa berhubungan dengan orang lain akan nampak kekurangan dan keterbatasan seseorang. Dimana kebutuhan orang sangat beraneka coraknya. Ada kebutuhan kebendaan dan ada pula kebutuhan yang bersifat kerohanian. Disamping itu ternyata antara berbagai macam kebutuhan tersebut bagi seseorang saling berkaitan satu sama lain atau dengan kata lain bahwa seseorang pada umumnya mempunyai kebutuhan yang bersifat jamak, maksudnya pada waktu yang bersamaan menginginkan dipenuhinya lebih dari satu macam kebutuhan.
Menurut Edgar H. Schein (dalam Dasar-dasar organisasi, 1993, 11) “Organisasi sosial adalah pola-pola koordinasi yang tumbuh secara spontan atau batin merupakan saling pengaruh antar orang tanpa melibatkan koordinasi yang rasional untuk mencapai tujuan umum yang tegas”.
Jika mereka berubah menjadi tujuan mereka tegas dan ada kesepakatan resmi untuk memastikan pola-pola koordinasi agar menjamin benar-benar senang, dan jika mereka membentuk beberapa jenjang untuk menjamin koordinasi yang layak mereka menjadikan organisasi formal. Gambaran organisasi informal menunjukan pada pola-pola koordinasi yang tumbuh diantara anggota-anggota organisasi formal yang tidak dapat dicari pada rencana.
Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya di ikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat kekal. Paguyuban merupakan kelompok kekerabatan yang bersifat kedaerahan, yang menekankan adanya suatu ikatan, ikatan itu sebagai ciri pokok paguyuban yaitu: a). intimate adalah hubungan yang menyeluruh yang mesra, b). private adalah hubungan yang bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang saja, c). exclusive adalah hubungan tersebut hanyalah untuk “kita” saja dan tidak untuk orang-orang lain diluar “kita”,Tonnies (dalam Soerjono Soekanto, 1990, hal.134).
Menurut Tonnies (dalam Soerjono Soekamto 1990: hal.134) di dalam setiap masyarakat dapat di jumpai salah satu diantara tiga tipe paguyuban, yaitu:
a. Paguyuban karena ikatan darah (Gemeinschaft by blood) yaitu Gemeinschaft atau paguyuban yang merupakan ikatan yang berdasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.
b. Paguyuban karena tempat (Gemeinschaft of place) yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga dapat saling tolong menolong, contohnya: rukun tetangga, rukun warga, arisan.
c. Paguyuban karena jiwa/pikiran (Gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu Gemeinschaft yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah atau pun tempat tinggalnya tidak berdekatan, akan tetapi mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideology yang sama. Paguyuban ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuan karena darah atau keturunan.
Berdasarkan Tiga Tipe Paguyuban yang dikemukakan oleh Tonnies tersebut, penelitian yang dilakukan oleh peneliti disini berkesimpulan bahwa objek yang diteliti termasuk dalam tipe paguyuban yang berdasarkan ikatan darah karena tipikal dari paguyubannya lebih bercirikan pada ikatan primordial yang dikarenakan pada satu keturunan atau bias disebut dengan Gemeinschaft By Blood.
Kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna.
Menurut Emile Durkeim ( M.Z. Lawang, 1994 : 180) solidaritas menunjukan pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianaut bersama yang di perkuat oleh pengalaman emeosional bersama. Hubungan kontraktual di buat atas persetujuan rasional, karena hubungan-hubungan itu mengendalikan sekurung-kursngnya satu tingkat atau derajat consensus terhadap prinsip-prinsif moral yang menjadi dasar kontrak itu dalam solidaritas tingkatan utamnya adalah kepercayaan bersama, cita-cita, dan komitmen moral.
Solidaritas mekanik di dasarkan pada suatu kesadaran “kolektif” bersama (collective conscisional / conscient) yang menunjukan pada “totalitas kepercayaan dan sintemen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu” itu merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada induvidu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normative yang sama pula karena itu individualitas tidak berkembang. Ivdividualitas itu terus menerus di lumpuhkan oleh tekanan yang besar sekali untuk konfornitas. Individu itu tidak harus menanganinya sebagai suatu tekanan yang melumpuhkan, karena kesadaran akan yang lain dari itu mungkin juga tidak berkembang, ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan sintimen dan sebagainya ( M.Z. Lawang, 1994 : 181)
Selanjutnya terdapat perasaan solidaritas sosial yaitu sebuah perasaan bersifat Doing Together And Thinking Together. Solidaritas merupakan satu perasaan persatuan yang baru tercapai apabila para anggota memilki pandangan yang sama tentang massa depan bersama dan dengan sadar mengetahui bahwa dalam perwujudan masa depan masing-masing memiliki tugasnya demi realisasi tujuan.
Interaksionisme simbolik yang ditengahkan oleh Blumer mengandung arti bahwa tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa tindakan luar (seperti yang dikemukakan oleh kelompok fungsionalisme struktural) tidak juga disebabkan oleh kekuatan dalam. Dengan demikian manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui apa yang disebut blumer sebagai “Self indication” (Blummer, 1995 : 331)
Proses kehidupan bermasyarakat terjadi menurut pandangan interaksionsme simbolik secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut, individu atau unit-unit tindakan yang terjadi diatas sekumpulan orang tertentu saling menyesuaikan atau saling mencocokkan tindakan mereka satu sama lain melalui proses interprestasi. Dalam hal ini aktor yang berbentuk kelompok , maka tindakan kelompok ini merupakan tindakan kolektif dari individu yang tergabung dalam kelompok itu.
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut bahwa kelompok Front pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu (FPMBB) adalah kelompok yang didasarkan pada solidaritas kelompok dan pola interaksi yang ada didalam kelompok tersebut, kerjasama dan tidakan kolektif aktor didalam kelompok tersebut merupakan sebuah bentuk nyata dari adanya sebuah perasaan solidaritas yang kuat diantara para individu didalam anggota kelompok tersebut

1.6 Asumsi-Asumsi Penelitian
1. Paguyuban terbentuk dikarenakan adanya kesamaan nilai-nilai kedaerahan. Pola interaksi dan solidaritas yang ada diantara individu di dalam kelompok paguyuban pun turut mendukung.
2. Interaksi kelompok menghasilkan sebuah kerjasama dan persatuan diantara individu didalam kelompok yang pada akhirnya menjadi sebuah solidaritas didalam kelompok tersebut sebagai sarana pencapaian tujuan kelompok.
3. Manifestasi dari solidaritas sosial kelompok paguyuban adalah mempertahankan ikatan kekeluargaan, melestarikan kebudayaan daerah, dan cendrung berorientasi kerjasama dalam kelompok tersebut.

1.7 Sistematis Penelitian
Sistematika dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB I Berisi pendahuluan yang mengulas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, kerangka pemikiran, asumsi dasar penelitian dan sistematika penulisan
BAB II Merupakan Tinjauan pustaka yaitu mengulas hal-hal yang berhubungan dengan penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam bagian ini di bahas tentang kelebihan dan kelemahan penelitian yang di lakukan di tengah-tengah penelitian serupa lainnya
BAB III Tentang metode penelitian yang di gunakan sebagai acuan dalam penelitian, batasan penelitian, lokasi penelitian, serta subjek penelitian.
BAB IV Tentang diskripsi wilayah penelitian menguraikan tentang letak wilayah, tinjauan umum kelompok paguyuban serta keberadaan kelompok Front Pemuda dan mahasiswa Besemah bersatu
BAB V Tentang hasil dan pembahasan yang menguraikan tentang temuan-temuan di lapangan serta anaisis sosiologis terhadap permasalahan penelitian yang mencakup dasar-dasar terbentuknya kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu di kota Palembang (FPMBB), serta memberikan gambaran umum solidaritas sosial dalam kelompok ( in group ), dan kesadaran kelompok serta bentuk-bentuk manifestasi solidaritas sosial dalam kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu di kota Palembang
BAB VI Berisi kesimpulan yang terdiri dari kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Penelitian tentang kelompok primordial telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu dengan menggunakan berbagai paradigma yang berbeda. Ada beberapa penelitian yang mengkaji mengenai kelompok paguyuban diantaranya oleh Erwin ( 2004 ) dengan desertasinya yang mengkaji mengenai memudarnya solidaritas sosial pada masyarakat matrilineal Minangkabau di Sumatera Barat. Subjek penelitian ini adalah masyarakat komunal Minangkabau yang berada di wilayah Sumatera Barat.
Menurut Erwin ( 2004 ) permulaan perubahan sosial di Minangkabau terjadi karena adanya sistem monetisasi, hasil dari kebijakan ekonomi hindia belanda, melalui sistem kultifasikopi dan pengaruh agama islam. Menurut Erwin pada dasarnya kebudayaan bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat agar lebih baik, lebih teratur dan lebih terarah.
Perubahan sosial budaya yang terjadi di Sumatera Barat akibat dari pertemuan intensif antara masyarakat prakapitalis Minangkabau dengan masyarakat kapitalis barat. Beberapa fenomena social terjadi pada masyrakat Minangkabau selama dua dasawarsa memperlihatkan sistem keluarga luas matrilineal tidak bekerja atau fungsi sosial ekonomi keluarga luas pada tingkat paruik tidak berjalan. Proses individualisasi adalah kecendurungan dari ikatan social kecil dan disintegrasi yang komplementer dari kelompok sosial yang besar. Dengan begini walaupun terjadi perubahan dalam sikap terhadap harta, kelestarian dan tradisi.
Dengan demikian apa yang dikaji oleh Erwin lebih berfokus pada pergeseran solidaritas sosial dikarenakan kepemilikan tanah komunal yang turun temurun mengalami pemindahan kepemilikan tanah komunal tersebut diluar kekerabatannya.
Sementara itu penelitian yang dilakukan Sri Gustiani ( 2004 ) mengkaji tentang in group feeling pada komunitas keturunan Arab di Palembang. Menurut Sri Gustiani ( 2004 ) kuatnya keinginan mempertahankan identitas dirinya sebagai keturunan Arab telah mendorong komunitas keturunan Arab untuk melakukan pengelompokan sosial. Hal ini erat kaitannya dengan ikatan kelompok yang kuat dalam komunitas keturunan Arab tersebut, yang didasari oleh suatu perasaan yang di sebut in group feelling yaitu perasaan yang kuat bahwa individu terikat dengan kelompok dan kebudayaan kelompok ynag bersangkutan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa In Group Feeling pada kelompok-kelompok kekerabatan seperti halnya komunitas keturunan Arab masih sangat kuat di lihat dari pengelompokan yang dilakukannya dan kuatnya keinginan untuk tetap mempertahankan identitas dirinya sebagai keturunan Arab yang dilakukan dengan cara membuat batasan dalam pemilihan pasangan dalam perkawinan. Pada penelitian ini ada tiga hal yang dibahas yaitu :
1. Proses pembentukan in group feeling mancakuap proses belajar terdiri dari tiga proses, yakni sosialisasi, internalisaasi, dan enkulturasi, proses pembentukan kelompok mencakup bentuk sistem kekerabatan, khususnya perkawinan atau pemilihan pasangan dalam perkawinan dan dasar-dasar pembentukan kelompok mencakup dasar psikologis dasar pedagogis dan dasar sosiologis.
2. Fungsi in group feeling mancakup fungsi-fungsi positif dan negative
3. Bentuk ingroup feelingnya mencakup bentuk cooperation (kerja sama) yang terlihat dalam kegiatan pengajian, arisan dan lain-lain.
Dengan demikian apa yang dikaji dalam penelitian Sri Gustiani (2004), menekankan pada ikatan kelompok yang terfokus pada hubungan interaksi kekerabatan.
Berbeda dengan penelitian yang telah ada, penelitian ini cenderung memfokuskan pada pembentukan solidaritas sosial pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam FPMBB. Penelitian ini akan memfokuskan pada kajian solidaritas yang muncul dari interaksi yang berlangsung antara individu dalam kelompok FPMBB.

BAB III
METODE PENELITIAN


3. 1. Desain Penelitian
3.1.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian terletak di lorong Banten Plaju Palembang, alasan yang mendasari dipilihnya lokasi ini karena letak kesekretariatan kelompok Besemah berpusat di Plaju dan sebagain besar pemuda dan mahasiswa besemah berdomisili di lorong Banten Plaju. Berdasarkan pengamatan awal menunjukkan bahwa bentuk solidaritas sosial dalam kelompok basemah perantau di manifestasikan berdasarkan kontek sosial kultural dalam kesadaran kelompok untuk mengembangkan dan mempromosikan kebudayaan daerah mereka.dan desain yang dipilh adalah metode Studi Kasus untuk mendapatkan gambaran yang mendalam.

3.1.2. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah meliputi para anggota kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah Bersatu yang merantau di Palembang, dan tehnik untuk menjaring subjek penelitian adalah metode di mana peneliti mengambil subjek penelitian berdasarkan petunjuk dari individu sebagai informan, kemudian individu tersebut memberitahukan siapa yang dapat diwawancarai. Jumlah informan yang didapat berdasarkan tehnik ini yaitu 9 orang, dari sembilan informan dirinci lagi menjadi 5 orang sebagai pengurus dan 4 orang sebagai staf. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel di bawah ini
Tabel 1
Daftar Informan
NO
NAMA
UMUR (tahun)
JABATAN DALAM PAGUYUBAN
UNIVERSITAS
1
Sultan Huri
22
Bendahara Bidang Olahraga
Muhammadiyah Palembang
2
Anggie Eka Sari
21
Staf Bidang Sosial dan Budaya
Muhammadiyah Palembang
3
Ice Handayani
19
Staf Bidang Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan
PGRI Palembang
4
Andi Eko Widodo
23
Kabid Jaringan dan Mobilisasi Massa
Muhammadiyah Palembang
5
Tanti Yuliani
21
Bendahara Bidang Dana dan Usaha
Bina Dharma Palembang
6
Yuni Natalia
22
Kabid Sosial dan Budaya
Bina Dharma Palembang
7
Yeyen
21
Staf Bidang Hubungan Masyarakat
Bina Dharma Palembang
8
Buki Juanda
23
Kabid Lingkungan Hidup
Muhammadiyah Palembang
9
Weni Ariyani
20
Staf Bidang Kaderisasi dan Pengorganisasian
Bina Dharma Palembang

Informasi dapat juga melalui orang-orang yang dirasakan penting dalam struktur paguyuban tersebut, sehingga dapat diperoleh informasi mengenai sikap solidaritas kelompok paguyuban diantara anggota kelompok front Pemuda dan Mahasiswa Besemah Bersatu

3.1.3 Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang menggambarkan dan menganalis masalah yang berkaitan dengan solidaritas social kelompok pemuda Front Pemuda dan Mahasiswa besemah Bersatu (FPMBB), dengan perspektif Interaksionisme Simbolik yang bersifat Induktif. Dan untuk memperoleh gambaran tersebut maka desain penelitian yang diambil adalah Studi Kasus, Studi Kasus adalah bentuk penelitian yang mendalam tentang suatu aspek lingkungan sosial termasuk manusia didalamnya.

3.2 Definisi Konsep
1. Kelompok paguyuban
Kelompok paguyuban adalah salah satu kelompok yang terbentuk karena adanya ikatan rasa primordial yang kuat dan memiliki ikatan batin diantara individu didalam kelompok paguyuban
2. Kesadaran Kelompok
Kesadaran kelompok adalah pemahaman manusia atas pengalamannya sendiri yang memungkinkan untuk mendefinisikan sendiri dan keadaannya dengan orientasi kelompoknya
3. Solidaritas Sosial
Solidaritas sosial adalah keadaan hubungan dalam suatu komunitas yang didasarkan oleh kesadaran kelompok atau individual dan dimanifestasikan dalam bentuk tindakan atau perbuatan tertentu dalam sebuah refleksi dari kesadaran kelompok .

3.3 Tehnik Pengumpulan data
Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagia berikut :

3.3.1 Wawancara Mendalam
Wawancara di lakukan dengan informan untuk menggali informasi kualitatif secara lengkap dan terperinci yang sifatnya wawancara secara mendalam (indepth interview ) dengan instrument penelitian berupa pedoman wawancara berstruktur yang telah di persiapkan. Wawancara mendalam adalah metode yang selaras dan sejalan dengan perspektif interaksionisme simbolik, karena hal tersebut memungkinkan pihak yang diwawancarai untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan lingkungannya untuk menggunakan istilah-istilah mereka sendiri mengenai fenomena yang diteliti, tidak sekedar menjawab pertanyaan. Maka dalam hal ini tujuan wawancara mendalam adalah untuk mendapatkan data primer.
Dalam penelitian ini, data primer digunakan untuk memberikan gambaran dan memamahami dasar-dasar pembentukan kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah Bersatu, serta digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis bentuk-bentuk manifestasi solidaritas sosial dan pola interaksi pada kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah Bersatu. Wawancara ini dilakukan dengan kontak langsung ( face to face ) dengan informan dalam situasi yang sebenarnya dan dalam situasi yang di buat atau di ciptakan ( Hadari Nawawi, 1987 : 95 )
Untuk memudahakan kegiatan wawancara dan analisis data, peneliti akan menggunakan sound recorder ( alat perekam suara ). Dalam menggunakan alat perekam ini, terledih dahulu meminta izin atau kesediaan dari informan unutk di rekam hasil suaranya.

3.3.2 Observasi
Observasi dilakukan untuk mengamati kondisi dan situasi, serta pola pengelompokan dan persebaran dalam kelompok paguyuban Front Pemuda dan Mahasisiwa Besemah Bersatu ( FPMBB ) di kota Palembang. Dalam hal ini observasi di lakukan untuk memperoleh data sekunder. Dalam hal ini akan terperoleh mengenai letak lokasi penelitian, struktur keorganisasian kelompok paguyuban FPMBB dan fasilitas-fasilitas umum dalam lokasi penelitian.


3.4 Tehnik Pengolahan Data
Adapun data yang diperoleh yaitu data primer maupun sekunder akan diolah terlebih dahulu agar dalam menganalisa data serta didalam pembahasan dapat dilakukan secara sistematis. Tahap yang dilakukan proses “pemeriksaan data” (editing) yang dikumpulkan untuk memastikan kesempurnaan penelitian dari setiap instumen pengumpulan data.

3.5 Tehnik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif terdapat tiga tahap dalam menganalisis data adalah sebagai berikut :

3.5.1 Pemprosesan satuan (unityzing)
Dalam unityzing ada dua tahap yaitu tipologi satuan di mana tahap ini memberikan nama sesuai dengan apa yang dipikirkan oleh subjek yang dikehendaki oleh latar penelitian maksudnya peneliti menulis apa yang dipikirkan atau yang dikemukakan oleh informan dalam bentuk bahasanya yang akan diartikan oleh peneliti berdasarkan pengamatannya; kedua yaitu penyusunan yang terdiri informasi kecil yang mempunyai arti yang kemudian disusun untuk memudahkan kategorisasi.

3.5.2 Kategorisasi
Adalah satu tumpukan data yang disusun atas dasar pikiran, intuisi, pendapat atau kreteria tertentu.

3.5.3 Penafsiran Data
Pada tahap ini menggunakan metode deskriftif semata-mata yang menggambarkan dan menceritakan penelitian yang sesuai dengan permasalahan diatas (Moleong, 1998: 191)

BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN


Bab ini menguraikan tentang diskripsi wilayah penelitian yang terletak di lorong Banten, kecamatan Seberang Ulu II kota Palembang.

4.1. Letak wilayah
Secara administratif lorong Banten terletak di daerah paling selatan kecamatan Seberang Ulu II, dimana berbatasan langsung dengan kecamatan Seberang Ulu I kota Palembang propinsi Sumatera Selatan. Batas wilayah kecamatan Seberang Ulu II meliputi :
a) Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Ilir Timur II
b) Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Seberang Ulu I
c) Sebelah Timur berbatasan dengan Plaju
d) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ilir Timur I
Lorong Banten sebagai wilayah penelitian memiliki batas-batas wilayah tersendiri ; dari arah utara terdapat bangunan masjid Nur Hidayah. Masjid tersebut memiliki fungsi sebagai tempat ibadah umat Islam warga lorong Banten dan sekitarnya. Dari arah selatan terdapat bangunan kampus utama Universitas Muhammadiyah Palembang. Dimana Universitas Muhammadiyah ini merupakan salah satu universitas swasta yang menjadi favorit di kota Palembang dengan latar belakang mahasiswa dari berbagai daerah di Sumatera Selatan maupun diluar daerah Sumatera Selatan. Dengan majemuknya latar belakang yang dimiliki mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah tersebut memunculkan adanya pembentukan berbagai kelompok-kelompok yang sifatnya kedaerahan.
Dari arah timur, berbatasan dengan jalan Ahmad Yani. Jalan tersebut merupakan jalan transfortasi utama bagi penduduk Seberang Ulu II dan sekitarnya untuk beraktivitas sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup. Ramainya jalan ini dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang baik kendaraan umum maupun kendaraan pribadi menandakan tingginya aktivitas warga Seberang Ulu II dan sekitarnya. Sedangkan sebelah barat berbatasan dengan lorong Yaktavena. Dimana lorong tersebut terdapat bangunan perumahan yang dinilai masyarakat sekitar sebagai perumahan kelas menegah keatas atau perumahan kelas elite.

4.2. Gambaran Umum Lorong Banten
Lorong banten merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah penduduk yamg tinggi dan majemuk. Hal ini dikarenakan dominannya mahasiswa dari berbagai daerah yang berdomilisili di daerah tersebut serta banyaknya jumlah universitas yang ada di dekat daerah sebagai faktor pendorong perantau dalam menimba ilmu di universitas kota Palembang tersebut yakni universitas Muhammadiyah dan Universitas PGRI.
Selain itu juga terdapat beberapa fasilitas pendukung yang sangat membantu yang ada di seputaran daerah lorong Banten, seperti beberapa warung makan, counter pulsa selluler, warung internet, fhoto copy, serta toko serba ada, sehingga akses kebutuhan pokok serta kebutuhan akademik dapat terpenuhi dengan baik. Dengan demikian hal ini merupakan faktor pendukung lainnya yang menyebabkan para mahasiswa dapat hidup dengan nyaman dalam hal materi serta di dukung dengan kehidupan masyarakat yang mayoritas satu suku.
Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa mahasiswa yang berdomisili di lorong Banten yang berasal dari satu darah yang sama dapat memupuk solidaritas bersama serta rasa kekeluargaan yang sangat kental. Selain itu juga bentuk-bentuk bangunan yang terdapat di lorong banten terlihat begitu rapi tersusun seperti komplek perumahan elit, dimana mahasiswa yang menyewa atau ngekost tinggal bersama dengan ibu kostnya atau pemilik rumahnya, hanya saja dipisahkan sekat-sekat dibagian bangunan rumah.
Letak strategis yang terdapat disana sangatlah mendukung mahasiswa untuk merasa nyaman untuk menetap di kawasan lorong banten tersebut. Selain itu unutk menjangkau atau akses ke jalan raya juga menjadi faktor pendukung dengan tersediannya angkutan ojek atau pun juga beberapa becak yang dapat memudahkan untuk menjangkau beberapa tempat yang akan dituju, akan tetapi biasanya para masyarakat yang menetap disana baik mahasiswa maupun masyarakat kebanyakan menggunakan sarana alami yaitu dengan berjalan kaki untuk menuju tempat yang akan dituju.
Aktivitas masyarakat di lorong banten begitu beragam, hal ini dapat disaksikan pada pagi dan siang harinya setelah jam kerja. Dengan demikian terlihat jelas bahwa kebanyakan masyarakat yang menetap di sana merupakan orang-orang yang mayoritas memiliki kegiatan rutin seperti pergi ke sekolah, kantor, kuliah dan sebagainya. Hal ini juga diindikasikan dengan keadaan perumahan yang terlihat sepi jika dilihat pada jam-jam kerja

BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan menguraikan lebih fokus terhadap temuan masalah yang berkaitan dengan solidaritas sosial Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah Bersatu (FPMBB). Hasil temuan berdasarkan observasi dan wawancara mendalam. Selanjutnya hasil temuan lapangan akan dibahas dalam beberapa uraian, pokok-pokok bahasan yang meliputi dasar-dasar pembentukan kelompok paguyuban FPMBB dan bentuk-bentuk manifestasi solidaritas sosial dalam kelompok paguyuban FPMBB tersebut. Dari observasi dan wawancara mendalam ini hasilnya kami temukan dari para informan yang realitas dialami informan dikemukakan berdasarkan dengan apa yang dirasakan.

5.1. Dasar-dasar Terbentuknya Kelompok Paguyuban Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah Bersatu (FPMBB)
Front Pemuda dan Mahasiswa Basemah Bersatu (FPMBB) merupakan salah satu kelompok paguyuban yang ada di kota Palembang. Munculnya kelompok paguyuban ini didasarkan pada masih kuatnya rasa solidaritas dari kesamaan kedaerahan. Dari kesamaan daerah atau tanah ini dapat diturunkan sebagai adanya kesamaan adat atau kebudayaan yang sama. Ini terlihat dengan adanya kesamaan bahasa yang dimiliki yakni bahasa dari basemah.
Nama paguyuban ini mengguakan nama Basemah yang merupakan sebuah nama simbol yang diberikan kepada kota Pagaralam dan kawasan sekitarnya, karenanya anggota kelompok paguyuban FPMBB ini banyak berasal dari Pagaralam yang menggunakan basemah sebagai simbol nama kelompok paguyuban. Seperti kelompok paguyuban-paguyuban lainnya kelompok paguyuban FPMBB juga mempunyai tujuan yang ingin mereka raih, hal ini diungkapkan oleh Andi Eko Widodo selaku Kabid Jaringan dan Mobilisasi Massa. Menurutnya pernyataan ini sebagai hasil dari deklarasi pembentukan FPMBB. Bahwa adapun tujuan dan kepentingan pembentukan kelompok paguyuban FPMBB adalah sebagai berikut :
1. Untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya daerah basemah yang merupakan bagian dari budaya nasional
2. Untuk mempertahankan dan melestarikan kebudayaan Basemah di daerah perantauan
3. Menciptakan hubungan kekeluargaan yang baik, saling kenal mengenal serta mempererat kerjasama antar anggota-anggotanya dan kelompok komunitas lain
4. Untuk memajukan kesejahteraan sosial bagi seluruh anggotannya
Banyak kegiatan yang dilakukan oleh kelompok paguyuban ini salah satunya pada beberapa tahun lalu di daerah asalnya terjadi musibah kebakaran, mereka melakukan penggalangan dana untuk membantu para penduduk yang mengalami musibah.
Kuatnya rasa kedaerahan ini membuat adanya hubungan yang erat atau kuat antara sesama anggota basemah. Hal ini terbukti dengan terbentuknya iktan-ikatan sosial yang terjalin antar sesamanya baik yang terjadi di lingkungan perkuliahan maupun di lingkungan pergaulan luar perkuliahan. Selain adanaya hubungan yang erat antara sesama Basemah, juga terbentuk dengan adanya memilki kebudayaan yang sama hal ini diungkapkan oleh Sultan Huri, Mahasiswa Hukum 2003 Universitas Muhammadiyah Palembang, bahwa pembentukan kelompok paguyuban FPMBB disebabkan oleh kebudayaan basemah yang bergeser jika didaerah perantauan serta untuk menjaga solidaritas pemuda dan mahasiswa Basemah di perantauan.
Kondisi ini dapat dimanfaatkan oleh sesama anggota kelompok paguyuban FPMBB maupun kelompok atau komunitas lain sebagai ajang pengenalan daerah Basemah atau daearah asal kelompok paguyuban ini. Hal ini di ungkapkan oleh Anggie, Mahasiswa FKIP Matematika 2005 Universitas Muhammadiyah Palembang. Ia mengatakan :
“Karena sesama daerah maka kami sering berkumpul, kemudian kami saling membicarakan perkembangan daerah kami terutama daerah wisata, kemudian bercerita dengan teman-teman kelompok atau komunitas lain. Terkadang ada teman-teman kelompok lain itu ikut mudik bareng dengan kami untuk melihat daerah kami karena mereka penasaran dengan kondisi daerah yang kami ceritakan”.

Kota Pagaralam yang memiliki potensi alam terutama di sektor pariwisata sangatlah memiliki prospek sebagai sumber pemasukan kas daerah yang menjanjikan bagi pemerintah kota. Hal ini menjadikan keinginan bagi para pemuda dan para mahasiswa Basemah apalagi mereka berada di lingkungan perantauan merupakan posisi yang strategis dalam memunculkan profil-profil daearah asalnya mengenai kebudayaan dan daearah wisatanya. Kondisi ini juga diharapkan oleh Ice sebagai anggota kelompok paguyuban Basemah yang masih baru karena ia baru menginjak semester II di Unversitas PGRI Palembang bahwa akan peran lebih dalam paguyuban ini untuk memberikan sumbangsihnya terhadap perubahan dan kemajuan daerah asalnya.
Dalam giatnya mempromosikan daerah asalnya mereka sering mengadakan acara berkumpul atau pertemuan di tempat yang mereka sepakati sebagai ajang bertemunya semua anggota kelompok paguyuban. Di pertemuan ini mereka dapat saling mengenal sesama anggota kelompok paguyuban lebih dalam. Mereka saling bercerita mengenai kondisi daerah asalnya untuk menyusun strategi apa yang digunakan dalam rangka mempromosikan profil daerahnya. Selain itu juga mereka juga saling membantu jika mengalami kesulitan dalam pergaulan terutama dalam masalah-masalah perkuliahan. Mereka dapat saling bertukar pengalaman dan informasi mengenai kondisis perkuliahan di masing-masing perguruan tinggi tempat kuliahnya namun dalam kondisi-kondisi yang santai atau rilek.
Hal ini juga di ungkapkan oleh Andi Eko Widodo, mahasiswa Pertanian 2001 Universitas Muhammadiyah Palembang yang masih kental dengan logat Basemahnya. Ia mengatakan :
“Saya senang dengan adanya FPMBB ini karena sering berkumpul yang awalnya diantara kami satu dengan yang lain belum saling mengenal, namun seringnya berkumpul kami dapat saling mengenal dan lebih akrab. Walaupun kami satu daerah tapi letak tempat tinggal kami berjauhan, jadi kami perlu mengadakan hal ini apalagi di tanah orang lain. Kalau ada kesusahan kita Bantu, untuk itu rasa solidaritas akan tertanam didalam pribadi kami”.

Kehadiran kelompok paguyuban bukan suatu yang baru dalam kehidupan manusia. Kelompok paguyuban FPMBB ini sendiri dibentuk karena setiap individu atau anggota kelompok paguyuban ini saling membutuhkan satu sama lain dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Usaha ini akan terus menerus dilakukan selama bernilai bagi dirinya. Selama dirasakan bahwa ia memerlukan kelompok untuk kemajuan dan perkembangan baginya dan merasa kelompok paguyuban FPMBB ini bagian dari dirinya. Disaat proses ini menuju pada proses sosialosasi. Proses sosialisasi tersebut merupakan proses aktif yaitu masuknya orang dalam suatu kelompok.
Kondisi ini sangatlah membantu bagi seseorang yang berasal dari kota Pagaralam yang baru merantau di Palembang dan membutuhkan sosialisasi tempat yang baru, sehingga mereka dapat beradaptasi terhadap lingkungan baru. Monik dan Ice yang sama-sama mahasiswi Universitas PGRI Palembang asal Pagaralam yang baru semester II merupakan anggota yang tergolong baru di kelompok paguyuban FPMBB dan baru di kota perantauan, menceritakan pengalamannya saat pertama kali ke kota Palembang. Pada awalnya keduanya tidak mengetahui apa-apa dan baru berpisah dari orang tuanya serta merasa canggung dengan kondisi lingkungan yang baru. Namun setelah kenal adanya kelompok paguyuban dan proses sosialisasi lambat-laun keduanya terbiasa dengan kondisi lingkungan perantauan. Keduanya mengatakan ;

“Kami ini kan baru kali ini pisah dari orang tua dan juga keluarg, jadi bila sama kawan-kawan sedaerah kebetulan ada wadahnya yakni kelompok paguyuban FPMBB sudah kami anggap sebagai keluarga dewek (sendiri) dan paling tidak kami bisa mengobati rindu kami pada orang tua dan keluarga karena dapat berkomunikasi seperti kondisi di tanah asal. Komunikasinyapun kami saling terbuka, memahami dan saling mengingatkan karena pola interaksi ini didasarkan oleh hubungan batin dan agama yang lebih dominan”.

Karena itu kelompok paguyuban FPMBB ini memliki peranan yang penting dalam kehidupan perantauan dan juga bagi perubahan dan kemajuan daearah asalnya. Apalagi bagi mereka yang baru pertama kali atau baru merantau khususnya di kota Palembang bagi pemuda dan mahasiswa Basemah, kelompok paguyuban ini sebagai agen sosialisasi dan interaksi baik sesama anggota kelompok paguyuban maupun dengan kelompok lain sebagai adaptasi di lingkungan perantauan.

5.2. Bentuk-Bentuk Manifestasi Solidaritas Sosial
5.2.1. Solidaritas Pada Kelompok Paguyuban FPMBB
Bentuk solidaritas ini terjadi pada kelompok paguyuban FPMBB, yang terbentuk karena adanya kesamaan suku dan pola kekerabatan serta adanya ikatan-ikatan kedaerahan. Pola interaksi yang muncul menjadikan kuatnya solidaritas diantara anggota kelompok paguyuban ini. Solidaritas sosial ini diwujudkan dengan adanya kegiatan-kegiatan kelompok paguyuban FPMBB. Untuk mengakrapkan para kader dan mahasiswa baru misalnya, dilakukan kegiatan temu kader untuk memperkenalkan seluruh kader kepada para mahasiswa Basemah yang baru merantau ke kota Palembang. Para senior-senior atau kakak tingkat meberikan arahan-arahan tentang cara-cara beradaptasi di lingkungan perantauan baik di lingkungan perkuliahan maupun di lingkungan pergaulan masyarakat setempat. Hal ini juga diungkapkan oleh Ice yang baru semester II di Universitas PGRI Palembang dan merupakan angggota kelompok paguyuban FPMBB yang masih baru. Ia mengatakan :

“Iyo kak, kemaren kami mengadakan acara temu kader dan para anggota yang baru tentunya yang baru itu para mahasiswa baru dan baru diperantauan juga, acara itu dilakukan setiap kali ada pergantian ajaran baru atau penerimaan mahasiswa baru. Itu sekitar bulan September 2006, disitu kami bisa melihat kakak tingkat atau senior-senior kami baik di universitas PGRI, Muhammadiyah, Bina Dharma dan banyak lagi. Isinya biasalah, wejangan, arahan dan perkenalan. Arahan itu banyak berisi bagaimana kami bisa beradaptasi dengan lingkungan perantauan bisa di perkuliahan maupun dengan masyarakat tempat kos kami. Namun sebelum acara ini ketika kami mau pendaftaran di universitas kami kemarin, FPMBB ini mendirikan posko yang gunanya bisa mendata mahasiswa dari basemah. Juga bisa berlanjut memberi informasi tempat-tempat kos bagi kami. Makanya kami terbantu dengan adanya posko tersebut”.

Sesuai yang diutarakan oleh Ice yang merupakan anggota baru di kelompok paguyuban FPMBB, bahwa dalam acara temu kader tersebut merupakan agenda dasar dalam mentranformasikan nilai-nilai budaya Basemah dengan menkondisikan kehidupan diperantauan. Hal ini didukung juga dengan bagaimana strategi dalam membantu pemerintah daerah asal dalam mengembangkan daerah wisata tentunya dengan partisipasi kalangan pemuda dan mahasiswa khususnya di daerah perantauan. Seperti memunculkan profil-profil daerah dalam foto-foto khusus guna menarik perhatian diposko-posko yang mereka buat dalam acara penerimaan mahasiswa baru diberbagai Universitas yang terdapat Mahasiswa Basemah.
Seperti yang diungkapkan oleh Ice, sebelum mengadakan acara temu kader kelompok paguyuban FPMBB ini mendirikan posko-posko bagi mahasiswa baru di berbagai universitas dan sekolah tinggi di Kota Palembang. Guna dari posko ini dapat langsung mendata bagi mahasiswa baru dari basemah dan tentunya bisa membantu permasalahan-permasalahan awal perkuliahan seperti memberikan informasi dan mau mencarikannya mengenai tempat-tempat kos di lingkungan perkuliahan.
Selain itu juga dilakukan pola pembinaan mengenai keorganisasian juga dilakukan salah satunya dengan mengadakan acara up-graiding dan latihan kepemimpinan yang diadakan kelompok paguyuban ini setelah temu kader. Acara up-graiding dan pelatihan kepemimpinan ini di isi dengan adanya materi-materi mengenai kepemimpinan oleh pembicara dan dari pembicara tersebut terkadang kelompok paguyuban FPMBB ini mengundang para pejabat daerah / kota Pagaralam. Selain itu acara ini berisi penyususunan rancangan-rancangan kerja selanjutnya.
Untuk lebih mengeratkan solidaritas antara para anggota kelompok paguyuban FPMBB ini mengadakan acara yang sifatnya rilek atau santai yakni adanya acara arisan mingguan. Acara ini selain tempat berkumpul namun juga diisi dengan saling bercerita dan saling bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi selama seminggu baik di lingkungan perkuliahan maupun dilingkungan luar perkuliahan. Tanti misalnya, mahasiswi Bina Dharma Palembang semester VII yang sedang mengajukan judul skripsinya, mengaku terbantunya dengan acara ini karena dengan acara ini para anggota dari universitas lain juga ikut datang jadi ia dapat mencari informasi mengenai data-data yang di butuhkan sehubungan dengan pemenuhan tugas kuliahnya. Ia mengatakan ;
”Walaupun Cuma nugumpul-ngumpul acara arisan ini bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan anggota yang lain. Anggota dari universitas lain bisa saling bertukar pendapat mengenai permasalahan yang dihadapinya, ada juga yang memang mencari informasi mengenai bahan dan data-data tugas perkuliahan. Kalau aku kemaren alhamdulillah ketemu dengan anggota dari unversitas Muhammadiyah yang kebetulan punya bahan sehubungan dengan tugas perkuliahanku, jadi aku bisa pinjam”.

Seperti yang diungkapkan oleh Tanti, bahwa bentuk tindakan sosial dari solidaritas dapat ditemui dengan adanya saling interaksi anggota kelompok paguyuban FPMBB dalam acara seperti arisan yang dimanfaatkan saling membantu dalam pemenuhan tugas-tugas perkuliahan. Masih banyak kegiatan-kegiatan yang mempertemukan para anggota kelompok paguyuban FPMBB ini baik di lingkungan perkuliahan maupun di lingkungan luar kuliah. Diantaranya dengan pembentukan kelompok-kelompok studi yang gunanya untuk membahas permasalahan-permasalan di perkuliahan pada masing-masing universitas anggota kelompok paguyuban.

5.2.2. Solidaritas Antar Kelompok
Interaksi tidak hanya terjalin dengan kelompok paguyuban FPMBB saja. Kelompok paguyuban FPMBB bersatu untuk mewujudkan kebersamaan dengan orientasi masyarakat sekitar atau mahasiswa dan pemuda yang bukan dari Basemah di Kota Palembang sebagai kelompok lain. Kebersamaan yang terjalin karena adanya rasa saling membutuhkan yang terjalin dalam wadah sebagai satu masyarakat atau mahasiswa universitas yang merupakan perkuliahan mahasiswa basemah dengan mahasiswa dalam kelompok lain. Hal yang dianggap saling membutuhkan adalah karena mahasiswa Basemah merupakan elemen masyarakat setempat atau sebagai elemen civitas di universitas mahasiswa basemah berada.
Bentuk dari manifestasi solidaritas sosial antar kelompok di lingkungan kos Mahasiswa Basemah berada, salah satu yang paling dominan adalah kegiatan-kegiatan keagamanan. Hal ini dikarenakan adanya kesamaan kefahaman mengenai nilai-nilai keagamaan seperti di daerah asalnya. Sehingga pola interaksi antar kelompok terwujud dengan terbentuknya solidaritas sosial yang saling membantu dalam meningkatkan niali-nilai keagamanan. Dengan adanya saling membutuhkan tersebut, maka para mahasiswa yang aktivitasnya berada di komunitas kelompok lain cenderung saling membantu bila terjadi sesuatu di kelompok lain tersebut. Mahasiswa Basemah sering dipercaya sebagai pengerak kegiatan-kegiatan di mushola-mushola maupun di masjid sekitar lingkungan kos mahasiswa Basemah. Seperti ketika ada acara hari-hari besar agama Islam, mahasiswa basemah banyak dilibatkan dalam menyusekseskan acara tersebut.
Hal ini diungkapkan oleh Yuni mahasiswi Bina Dharma 2003 yang tempat kos di lorong Banten Plaju kota Palembang. Ia mengatakan :
“Kami ini galak (mau) bantu membantu dengan warga ketika ada kegiatan-kegiatan acara hari-hari besar Islam yang juga kami sebagai umat Islam. Kami biasanya dilibatkan sebagai panitia hari besar tersebut, seperti pada bulan lalu (april) ketika hari besar Maulid Nabi Muhammad SAW di masjid Al Islam yang berada tak jauh tempat kos kami, kami banyak dilibatkan sebagai panitia, hal ini karena dianggap kami sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan seperti ini. Namun kalanya kami memang membutuhkan kondisi seperti ini selain sebagai pelatihan terjun ke masyarakat langsung tapi acara ini adalah cara yang tepat dalam introsepeksi terhadap pola-pola ketauladanan Rosulullah SAW, makanya saya menilai ini hal yang dibutuhkan”.

Namun tidak hanya itu saja, para mahasiswa basemah ini di percaya untuk membina pengajian tingkat anak-anak (madrasyah diniyah), itu dilakukan disela-sela hari kegiatan perkuliahan dan kelompoknya biasanya dilakuakan secara terjadwal dengan giliran mahasiswa lain sehingga tidak mengganggu aktivitas perkuliahan. Hal ini diungkapkan oleh Yeyen mahasiswi Bina Dharma angkatan 2004. ia mengatakan :

“Iyo, kami bantu-bantu warga untuk bina adik-adik untuk ngenal agama khususnya Islam. Ini baik untuk mereka karena di bangku sekolah terkadang kurang dalam pembinaan tentang agama hal ini bisa berkaitan dengan moral anak itu. Sebab kami lihat banyak anak-anak berkaliaran tak tentu kegiatanya. Tapi kami lakukan ini sebatas yang kami bisa saja, itu pun harus disusun jadwal dengan mahasiswa lain ataupun warga yang mengisi supaya tidak tabrakan dengan kegiatan perkuliahan”.

Namun kadang kalanya kelompok paguyuban ini mengadakan kegiatan bakti sosial yang merupakan perwujudan dari tindakan sosial sebagai kepedulian terhadap masyarakat sekitar. Kegiatan ini diwujudkan sebagai pemenuhan agenda program Paguyuban. Kegiatan ini juga dimanfaatkan oleh kelompok paguyuban basemah sebagai mempererat silaturahmi dengan masyarakat sekitar. Hal ini diungkapkan oleh Buki Juanda mahasiswa Universitas Muhammadiyah Palembang yang juga menjabat sebagai Kabid lingkungan hidup, ia mengatakan :

”Kami memang mengagendakan kegiatan ini minimal tiga kali setahun, ini dilakukan sebagai wujud kepedulian terhadap kondisi permasalahan masyarakat yang ada. Untuk lokasi kami pilih pada masyarakat yang banyak tempat kos mahasiswa basemah dan itu perlu kesepakatan bersama. Ini ditujukan dengan maksud agar para mahasiswa khususnya dari basemah untuk lebih erat hubungannya dengan masyarakat setempat apalagi bagi para mahasiswa yang baru bertempat kos disekitar lokasi bakti sosial, alhamdulillah selama kami mengaakan kegiatan ini, kami bisa diterima bahkan masyarakat mau mendukung kegiatan ini. Terkadang masyarakat mau mengajukan jadwal untuk koordinasi kegiatan ini, sehingga kami dengan masyarakat dapat membaur bersama”.

Di lingkungan perkuliahan juga sama mahasiswa Basemah juga hubungan kebersamaan yang saling membutuhkan. Ini dibuktikan dengan membaurnya para mahasiswa Basemah dengan para mahasiswa kelompok lain. Membaurnya mahasiswa Basemah dengan para mahasiswa kelompok lain dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam perkuliahan. Terkadang para mahasiswa ini banyak menimba pengetahuan di dalam kelompok paguyuban untuk diaplikasikan kedalam kegiatan-kegiatan perkuliahan atau sebaliknya guna untuk kemajuan kelompok paguyuban.

5.2.3. Solidaritas Antar Individu
Dasar-dasar terbentuknya kelompok paguyuban FPMBB diperlukan adanya kebersamaan, sehingga menimbulkan rasa solidaritas khususnya para pemuda dan mahasiswa Basemah di perantauan kota Palembang. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh J.S Raucek (dalam Susanto 1985:113), unsur-unsur pengintegrasian dan solidaritas adalah :
• Marga
• Pernikahan
• Persamaan Agama, magi atau upacara-upacara kepercayaan
• Persamaan bahasa dan adat
• Kesamaan tanah
• Wilayah
• Tanggung jawab atas pekerjaan sama
• Tanggung jawab dalam mempertahankan ketertiban
• Ekonomi
• Atasan yang sama
• Pertahanan yang sama
• Bantuan bersama atau kerja sama
• Penagalaman, tindakan dan kehidupan bersama

Solidaritas merupakan salah satu bentuk tindakan sosial. Dalam solidaritas kelompok ini diwarnai adanya saling membantu antar anggota kelompok paguyuban FPMBB. Dalam melihat anggota kelompok paguyuban yang lebih senior atau senioritas, anggota yang lebih muda melihat sebagai suatu Pembina bagi para anggota yang masih baru atau anggota baru. Ini berkaitan dengan kapasitas pengalaman yang dimiliki selama berada di lingkungan perantauan.
Namun hal ini tidak memberikan kecanggungan dalam berinteraksi sesama anggota kelompok paguyuban. Para anggota tetap dianggap sebagai bagian keluarga yang hidup di tanah orang atau perantauan. Ini di ungkapkan juga oleh Weni mahasiswa Universitas Bina Dharma yang baru semester IV ini, mengatakan :

“Walaupun kami sudah dianggap senior oleh adik-adik tingkat, namun kami berinteraksi tetap dalam kekeluargaan. Ini terlihat dari berbagai kegiatan yang telah kami laksaanakan, kami menganggap ini sebagai obat rindu kami terhadap keluarga di daerah asal kami karena kelompok ini memilki rasa kekeluargaan yang kuat dan adanya kebudayaan yang sama dengan kondisi lingkungan asal kami. Begitu juga kami hubungan dengan kakak-kakak tingkat yang kami annggap senior tapi kami berinteraksi dalam suasana keakrapan kekeluargaan”.

Menurut Fairchild (1983:7), bahwa solidaritas merupakan kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok. Berdasarkan temuan-temuan di lapangan menunjukkan bahwa adanya kekuatan persatuan internal dari suatu kelompok mendorong individu untuk saling membantu dan bekerja sama. Tolong menolong dan kerjasama ini muncul manakala anggota lain mengalami masalah-masalah dalam pergaulan baik dilingkungan perkuliahan maupun di lingkungan masyarakat umum. Masalah-masalah seperti mencari bahan tugas kuliah maka anggota lain yang memiliki bahan atau data akan saling mebantu dengan meminjamkan atau memberikan informasi mengenai referensi tersebut. Atau masalah-masalah pergaulan dengan masyarakat umum luar kelompok paguyuban FPMBB, seperti intervrentasi dari kelompok lain maka dapat menghubungi anggota kelompok paguyuban FPMBB yang lain untuk segera diselesaikan agar tidak berlarut-larut dan mengganggu perkuliahan maupun hubungan dngan masyarakat umum lainya.

BAB VI
KESIMPULAN


6.1. Kesimpulan
FPMBB merupakan organisasi yang terbentuk karena persamaan yang dirasakan para pemuda Basemah yang merantau. Nama Basemah yang merupakan sebuah nama simbol yang diberikan kepada Kota Pagaralam, karenanya anggota kelompok paguyuban FPMBB ini berasal dari Pagaralam yang menggunakan basemah sebagai simbol nama kelompok paguyuban. Di daerah perantauan mereka saling berkomunikasi yang merupakan bentuk solidaritas. Solidaritas tersebut terbentuk karena mereka memiliki merupakan bentuk persaudaraan bagi para pemuda Basemah yang berada di daerah perantauan. Selain rasa persaudaraan yang muncul di antara para pemuda basemah, faktor kebudayaan turut melatar belakangi terbentuknya paguyuban ini.
Solidaritas para pemuda basemah dapat terlihat pada kesehariannya dan juga kegiatan yang mereka lakukan. Pada keseharian bisa terlihat pada tempat tinggal kontrakan yang mereka tinggali, komunikasi kepada sesama pemuda Basemah, kegiatan olah raga bersama, arisan dan lain-lain. Kegiatan lainnya antara lain kegiatan mengenalkan pariwisata yang ada di basemah serta memberi tuntutunan kepada para adik-adik mahasiswa baru yang berasal dari basemah sendiri sehingga dapat membentuk solidaritas yang berkesinambungan kepada mahasiswa yang berasal dari Basemah tersebut.

Cara mereka mempertahankan solidaritas tersebut adalah bagaimana mereka mempertahankan komunikasi yang ada diantara mereka sendiri. Dengan solidaritas yang dapat bertahan maka pengawasan kepada pemuda basemah akan mudah dilakukan.hal ini dilakukan mengingat mereka sebagai mahasiswa atau pemuda yang merantau.
Solidaritas tersebut tidak juga bermanfaat bagi pemuda Basemah saja, tapi juga bermanfaat bagi masyarakat sekitar, aktivnya para pemuda Basemah pada pengurus mushola atau masjid.hal tersebut merupakan bentuk pembauran yang dilakukan oleh para pemuda Basemah tersebut kepada masyarakat.

6. 2. Saran
1. Solidaritas Yang di miliki oleh Pemuda Basemah tidak hanya pada saat merantau tapi juga setelah mereka kembali ke daerah.
2. komunitas mereka yang berada dalam satu wilayah dapat lebih berperan kepada wilayah tersebut dan juga masyarakatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarman. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung : CV Pustaka Setia

Erwin. 2006. Tanah Komunal, Memudarnya Solidaritas Sosial Pada Masyarakat Matrelineal Minangkabau. Padang : Andalas University Press

Gustiani, Sri. Skripsi. In Group Feeling pada Komunitas Keturunan Arab di Palembang. Inderalaya : Universitas Sriwijaya

Ihromi, Edwarto. 1984. Antropologi Budaya. Jakarta : PT Gramedia

J Colletta, Nat dan Umar kayam. 1987. Kebudayaan dan Pembangunan sebuah pendekatan Antropologi terapan Indonesia. Jakarta : Yayasan obor Indonesia

J. Moleong, Lexy. 1993. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Khaldun, Ibnu. 2000. Muqaddimah. Jakarta : Pustaka Firdaus

Laiya, Bambowo. 1985. Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias Indonesia. Jakarta : Gajah Mada University Press

M.Z. Lawang, Robert. 1994. Teori Sosial Klasik Dan Modern. Jakarta Gramedia Pustaka Utama

Ritzer, George. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta. Rajawali pers

Soekanto, Sorjono. 2001. Sosiologi Suatu pengantar. Jakarta : Rajawali Pers

Sutarto, 2002. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press

Susanto, Phil Astrid. 1985. Pengatar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Jakarta : Dina Cipta

Zeitlin, Irving. 1995. Kritikan terhadap Teori Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gajahmada Univercity Press