Sabtu, 29 November 2008

SENJATA ORANG-ORANG YANG KALAH

Oleh : Abdul Kholek

Wono Rejo 7 November 2008, panasnya terik mentari, dan panasnya suasana hari ini, tidak menghentikan langkah para petani untuk pergi ke sawah, menggarap lahan yang sedikit tersisah

Petani itulah sebutan yang selalu membekas dalam nuansa ketidakberdayaan, “para petani bagai orang yang selamanya berdiri di dalam air hingga sampai ke leher, sedikit saja ombak yang di bawah angin kecil sudah cukup untuk menenggelamkan mereka”

Itulah sekelumit cerita yang tidak pernah terputus ketika melihat petani di negeri ini, Wono Rejo, adalah salah satu potret terkecil dari sekian banyak daerah pertanian. Berdasarkan etnis daerah ini didominasi hampir 99 % penduduk berasal dari pulau jawa atau lazim mereka sebut dari seberang, dengan penduduk 100 % beragama islam, dan 95 % bekerja sebagai petani. (sumber data monografi desa)

Jauh angan menghayal menerobos dunia yang paling ideal, mencari format baru untuk sebuah kesejahteraan masyarakat yang seadil-adilnya, yang di amanahkan undang-undang, dari pasal-pasal yang hanya menjadi sebuah obsesi dan isapan jempol, Pasal 33 UUD 45, tentang pengaturan kehidupan ekonomi, pasal 34 UUD 45 tentang pemeliharaan pakir miskin dan anak terlantar, Pasal 27 dan 28 Tentang kesempatan untuk mendapatkan kehidupan yang layak

Tidak ada yang salah dan keliru dari sebuah undang-udang itu, dan tidak ada salahnya para pendiri negeri menginginkan kesejahteraan yang total terwujud dalam negeri indonesia

Program-program sudah beribu bahkan berjuta telah di lakukan tapi sayang semua hanya dalam kerangka teoritis yang tidak tahu dimana awal dan dimana akhirnya

Petani merupakan kelompok yang mayoritas di negeri ini, tetapi mereka adalah kelompok yang selalu di alienisasi oleh semua pihak tanpa terkecuali,

Para petani adalah potret orang-orang yang kalah dan selalu di sudutkan oleh realitas globalisasi dan kapitalisme, mereka tertekan dan teralienisasi dari produk yang mereka lahirkan dan mereka ciptkan dengan keringat dan jerih payah setiap harinya, harga gabah yang di permainkan, harga pupuk yang juga di permainkan, menjadikan mereka sebagai sebuah bola yang selalu di permainkan, kondisi ini seperti yang di ungkapkan oleh Jauhari (45) petani padi, berikut ini :

Belum selesai kawan……!!!!



BELUM ADA JUDUL BY : obsesi jalanan

Setelah memulai denyut hari dengan hal-hal yang berat, aku tergoda untuk mengajak badaniah masuk dalam lingkaran naluri menyenangkan. Lagi-lagi asmara tetap hangat diangkat menjadi topik tanya-jawab. Yang pasti, aku sendiri merasa senang dijebak dalam jedah yang bisa berlipat-lipat, membelok akan tujuan awal “Mengapa aku disini?”. Walupun apa yang tersimpulkan hanya sekedar hipotesis yang sinting, condong memberikan daya eksra untuk terus melangkah dengan kemantapan hati yang dikarbiti. Aku akan berusaha untuk terus terjaga dalam skenario yang mengalir dalam episode yang mengambang.

Merenung mengenai dunia Eross membawaku tenggelam dalam imaji, membaluri naluri dalam skema diskusi pakar pemecah teka-teki malam, melahirkan berjuta hipotesis centang-perentang yang memikat. Belum lagi, bonus plusnya… semakin tinggi mengajak otak kiri menerawang, melewati dimensi realitas dunia nyata. Reaksi-reaksinya pun tak kalah hebat; dari gelak tawa lepas sampai pada intropeksi yang memilukan. Semuanya dikemas dalam serba-serbi dari alur kelokkan cerita yang dibuat dramatis, prinsipil dan terkesan dilebih-lebihkan.

Katanya “Cinta itu buta” sebuah kalimat pendek yang berulang-ulang terdengar oleh telinga. Sebelumnya bagiku, hanya sebuah kiasan biasa yang didengungkan oleh para pujangga dalam rangka melengkapi ramuan puitisnya. Tak ada makna lebih hanya sebuah pemanis. Keawaman penalaranku pun tak ambil pusing akan filosofis yang terkandung didalamnya. Tapi disini (karna mu), aku diajak merasakan sendiri apa itu pemahaman jangan hanya berhenti pada pengertian dan definisi karna kau takkan kemana-mana kalau hanya selesai pada katanya, katanya, dan katanya… Refleksi langkah kaki pun telah jauh menembus berlipat-lipat kesadaran, selagi aku sibuk akan penalaran, konsentrasiku pun terpecah oleh riak dengusan bisik knalpot bis yang terbawa oleh hembusan angin, Perputaran percepatan roda yang berputar yang bekerja sama dengan alunan suara mesin yang menggema, menjadikan perpaduan irama lagu yang mendengung-dengung mengalahkan suara obrolan yang tak beraturan yang terdengar oleh indera pendengarku, yang terdengar hanyalah gumaman suara lebah yang menggema.

Kuteliti sekelilingku, semua seperti menikmati ayat Kauliyah ini membawa sketsa harapan melawan perputaran jarum jam. Ku mencoba menuruti apa yang mereka lakukan, “Bagaimana menikmati suasana ini?”, sejenak memang terasa suasana damai seolah menghipnotis jiwa agar melepas hiruk-pikuk hidup yang telah menjadi rutinitas yang aku pun lupa kapan memulainya, yang ku tau dari sebagian orang yang berada disini mempunyai satu kepentingan yang sama kembali ke zona aman ketempat dimana mereka menyatu dalam keluarga. Aku enggan mencoba berkomunikasi dua arah dengan orang disampingku, pilihannya lebih baik aku menikmati langit sore ini yang matahari bisa dilihat dengan mata telanjang berwarna jingga keemas-emasan membawa lamunan yang tak berujung, dimana menerawang disahkan. Aku pandang keluasan alam semesta, langit cerah dipenuhi warna kejora yang begitu indah berpencar kesegala penjuru membawa aroma terapis bagi jiwa, ku lepas pandangan pada sisi sebelah kiri atas, terlihat susunan awan lembut bagai jelmaan lukisan abstrak yang mengandung makna tersirat, sangat berbeda dengan langit sebelah kanan yang lebih menawarkan harapan baru pada keinginan biru.

Dan inilah tempatnya!!!. Langit sore, asli…!!! engkau membawa alam bawah sadarku menjinjing harapan rapuhku hanya tuk sekedar tegak dari keinginan yang tak terelakkan. Tanpa sadar, ku telah berdiri ditanah yang lebih tinggi, ku teliti sekeliling ku, tempat ini dipenuhi orang-orang yang tak ku kenal, terdengar jejak telapak kaki yang mendekat, terlihat dua orang tengah berbincang “Apakah harapan itu?”. Sebagaimana dikira banyak orang berarti menghendaki dan menginginkan? Jika demikian, orang yang menginginkan mobil, rumah dan perkakas yang lebih banyak dan lebih bagus lagi dapat disebut sebagai orang yang berharap. Apakah disebut harapan jika objek harapan itu bukan berupa sesuatu (benda) melainkan sesuatu yang tak dapat dilihat tapi nyata yang lebih bermakna, suatu kondisi hidup yang lebih menyenangkan, bebas dari kejenuhan yang berkepanjangan. Memang hal ini dapat dikatakan harapan. Akan tetapi itu bukan harapan jika mengandung makna kepasifan dan “menunggu untuk ___” sehingga harapan dalam kenyataannya menjadi kedok dari dunia khayal, hanya ideologis semata…. Salah satu dari dua orang itu memulai percakapannya.

Aku mulai tertarik dengan obrolan ini, jadi ku putuskan terlibat dengan berjalan pelan kira-kira dua meter dibelakang mereka.

Lelaki itupun meneruskan kata-katanya. Dua bulan yang lalu saya menyaksikan seorang Pencinta mendatangi pintu hati Sang Pujaan dan meminta izin untuk masuk kedalam kehidupannya. Sang Pujaan mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan seseorang untuk masuk selama beberapa saat. Sementara pintu itu terbuka, Pencinta itu memutuskan untuk menunggu sampai Sang Pujaan mengizinkannya masuk dalam kehidupannya. Dia duduk selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Berkali-kali ia menanyakan apakah sudah diizinkan masuk, tetapi selalu dijawab bahwa dia belum bisa mengizinkannya. Selama bertahun-tahun Pencinta itu tak henti-hentinya memperhatikan Sang Pujaannya, sambil melepas kutu-kutu yang menempel dikerah bajunya yang menjamur. Sampai-sampai dia rapuh dan hampir mati harapan. Untuk pertama kalinya ia menanyakan: “Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin untuk masuk kecuali saya?” Sang Pujaan itu menjawab, “Tak seorang pun kecuali Anda yang bersikeras meminta izin memasuki pintu ini. Sekarang saya mau menutupnya”.

Pencinta itu sudah terlalu tua untuk memahami maksudnya, bahkan ia tidak dapat memahaminya ketika ia masih muda.

Dengan roh yang belum begitu penuh masuk kedalam raga ku melepaskan pandangan dari jendela yang kusam, terlihat sab-sab barisn tebu . . . oh !!! sudah melewati simpang Tanjung Pinang, langsung ku benahi cara duduk, spontan kuusap wajah dan ku kucek kedua bola mataku. Ku tarik napas cepat sambil memijit-mijit leher bagian belakangku. Aku cerna kata-kata yang sempat ku ingat dari percakapan dua orang dalam tidur satu jamku, “Apa maksud obrolan mereka?, ataukah mereka memberi petuah. “jangan pernah berkata menjadi pejuang kalau hanya bisa berobsesi !!!”, tidur singkat yang begitu berat.

Dengan nalar ku coba memberikan arti dari makna yang tersirat. Para Pujaan mempunyai kata-kata usang: jika mereka mengatakan “tidak”, maka seseorang tidak bisa masuk meskipun pintu hatinya terbuka untuk siapa saja. Jika Sang Pencinta telah menjadi pasif daripada ini, berharap dengan menunggu, mengharapkan Sang Pujaan melakukan tindakan pembebasan yang menghantarkan ke istana hatinya yang istimewa. Kebanyakkan orang akan menjadi “Pencinta tolol”. Mereka berharap tetapi hal itu tidak akan mempengaruhi dorongan hati para Pujaan, dan selama para Pujaan tidak memberi lampu hijau, mereka tetap menunggu dan menunggu. Sementara menunggu dengan pasif merupakan bentuk ketidakberdayaan dan impotent yang memuakkan. Disisi lain, ada bentuk ketidakberdayaan dan keputusasaan lain yang menyamar dalam bentuk yang sangat berlawanan, penyamaran yang terwujud dalam tindakan pertualangan, tidak memperdulikan realitas, suatu kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Ini merupakan sikap pemimpin gerilya palsu, orang yang muak terhadap orang yang tidak lebih memilih kematian daripada kekalahan.

Artiannya…Tak ada satu pun pengecualian dengan peristiwa sekarang kecuali hanya dalam moment berikutnya, hari berikutnya, tahun berikutnya, dunia besok adalah absurd untuk menyakini bahwa harapan dapat direalisasikan dalam dunia ini. Tetapi masa depan, proyeksi dari waktu, akan mendatangkan apa yang tidak bisa diraih”.

Maaf kalau selama ini aku salah duga, ternyata asmara itu tak mudah tak gampang dan tak secengeng yang selama ini kukira kusangka. Memikirkanmu adalah sebuah keasyikkan tersendiri membawa sejuta cerita dalam khayalan aneh, seolah-olah membawa berton-ton molekul uranium siap meledak menyerap antusias dalam diriku, meletup-letup membawa percikkan api semangat. Disini sempat aku berdecak akan keagungan Tuhan “Makmano nian, putih dan manis dapat bersanding, wahai… Nona yang hidup dalam konsep ideal, asli…engkau berputar dalam kepalaku”. Belum jauh aku berdiri hanya tuk sekedar memahami apa yang ku rasa, keadaan telah mencekcoki dengan segala kilas sejarah, “Bagaimana aku mengenalmu, siapa dirimu?”, mungkinkah aku berdiri diruang dan waktu yang salah , dan pasti keadaannya tak semenarik seperti pertemuan para Pencinta yang lain yang mempunyai kendali penuh atas cerita yang akan dilalui. Yang pasti intropeksi ini menbawa angin dingin menyerang gelora dalam dada. Dari sini aku telah terjebak dalam dilema rumit, menemukan dua persimpangan…yang jelas aku tak mempunyai peta atau petunjuk apapun atas langkah mana yang kuambil; “menjunjung profesionalis atau memperjuangkan fitrah yang mengalir begitu saja”.

Yang ku bisa…membiarkan suara dalam hatiku yang selalu menbunyikan cinta, ku percaya dan kuyakini murninya nurani menjadi penunjuk jalanku…lentera jiwaku. Seharusnya kau tau, apa yang ku rasa ketika melawan loncatan proton-neutron, asli… aku tak berdaya ketika memikirkanmu, ketika draft manis wajahmu berputar-putar didalam waktu luangku, saat-saat kesendirian terpaksa ku nikmati.

Jangan benci aku . . .
Karna ini langkah yang ku pilih
Walau 1000 nasihat, menghujat
Walau 1000 pikat menjerat
Aku tak peduli
Aku pernah sakit dan menyakiti
Dan kini bangkit dalam imaji
Selamanya aku tambah tak peduli
Yang ku bisa bersandar bukan menghindar
Jika benar naluri (fitrah) adalah kebenaran
Adakah pembenaran atas keyakinan
Jika cinta ada nilainya
Berapa kau nilai cintaku
Semestinya kau tau
Betapa sering aku merintih,
Berapa lama aku tertatih ?

Dan inilah istimewanya . . .,melahirkan teoritis dalam menantang keadaan agar tunduk dalam imaji yang terpatri dalam otak yang menyimpan konsep ideal. Sebuah kegelisahan yang berwujud dilema ini membangun perisai dalam usaha menenteramkan hati agar terus terjaga memapah keinginan agar sesuai dalam jalur walaupun konsekuensi yang menyakitkan akan segera datang menjajah hari-hari biasaku, menghantam kepentingan-kepentingan pribadiku.

Polos wajahmu nampak begitu suci
Menjanjikan angan terwangi digurat
Senyumnya…ukhh
Itulah kesan yang terlintas
Kala pertama melihatmu
Siapapun tergoda oleh ranum usia remajamu
Walaupun…
Terus bergulir seiring derai tawamu
Diantara deru jalan
Dan gelap pertanyaan setengah tertelan
Apa hendak dikata
Ku hanya terdiam
Saksikan sosokmu pada kenyataan
Oh…Gadis manis
Apa yang ada dibenakmu
Hei…Paras Teduh
Harapku melesat dalam gema langkah terbatah-batah

Tulisan ini, buah pesan dari kegelisahan, ingin ku katakan sendiri padamu dalam kesempatan yang ada tapi itulah… aku tak mempunyai sihir dalam membangun antusias dalam dirimu, disisi lain, akupun mencoba menghindar dari pergulatan egosentrisme yang keliru, yang ku tahu menahan adalah pekerjaan yang sulit tapi apalah dayaku, yang ku bisa mengumpulkan segala aset yang ku punya. Kau membawa sekekelumit kisah indah yang aku sendiri pun kaku bagaimana membahasakannya.

Kalaupun bahasa lisan tak mampu merangkul segala tetek-bengek, aku pun berusaha untuk menyampaikan pesan dalam tulisan mewakili apa yang ku rasa. Dan setiap bait yang kutulis, dan setiap kata yang ku utarakan dan setiap perbuatan dimana ku menurutkan kata hati, bertindak sebagai bukti pengakuan yang tak dapat terelakkan dari sifat dasar naluri sebagai anugerah yang tertanam, dalam-dalam dihatiku, tidak ada rekayasa, tidak ada manipulasi, tidak ada kamuflase, ini pengakuanku yang tak dapat ku ingkari dari keinginan yang tak terelakkan.

Maaf kalau Nona tak berkenan !. Hei… “Paras Teduh yang tak tersentuh polesan pabrik, kapitalisme engkau mengambang 5 cm didepan keningku”. Yang ku tau . . . Ini ketertarikan bukan keterikatan . . . ini pengakuan bukan pembelaan hanya bersandar bukan menghindar.
Semoga ini bukan emosi sesaat... !!!. (akhir sebuah pencarian)



“POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”

Oleh : Abdul Kholek

“Subordinasi terhadap perempuan telah mancapai puncaknya dewasa ini, budaya patriarki secara tidak langsung telah telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki” (ObSeSiKu, 2008 : 119)

Tindakan kekerasan atau kejahatan disebut juga sebagai kriminalitas, kekerasan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir atau warisan), juga bukan warisan biologis (Kartini Kartono, 1981: 121), tindakan kekerasan bisa dilakukan oleh siapapun baik pria maupun wanita, dapat berlangsung pada usia anak dewasa ataupun lanjut usia

Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, dipikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas

Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana

Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang im-moral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelasnya sangat merugikan umum

”Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang tidak pernah berujung dan bertepi, tidak pernah habis di bicarakan dan di diskusikan, fenomena yang selalu hadir dalam dunia realitas dewasa ini dan mungkin akan tetap bertahan dalam realitas di esok hari”

Platform For Action and Beijing Declaration menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986)

Berdasarkan uraian mengenai tindak kekerasan diatas, maka tindak kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu dari banyak pelanggaran terhadap aturan atau norma dalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang tidak pernah habis-habisnya dari masa tradisional sampai pada kehidupan modern sekarang ini, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat, mungkin karena dosa turunan dari budaya patriarki, atau karena belum seriusnya dan belum intensifnya penggulangan yang dilakukan oleh berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang di rugikan oleh fenomena tersebut

Masalah kekerasan pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya tindakan kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempan, sistem ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu. Pada umumnya laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi, sebaliknya perempuan di pandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif (belenggu patriarki)

Jagger dan Rottenberg (2002), memberikan beberapa penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan, yaitu :
1. Secara historis perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas
2. Penindasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana dalam masyarakat
3. Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat
4. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya, meskipun penderitaan ini berlangsung tanpa di ketahui oleh orang lain.

1. Akar Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Perempuan sering di analisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferiror, dimana mereka cenderung sedikit memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluaraga maupun dalam masyarakat yang luas.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dari masyarakat yang masih primitive sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu, banyak faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya faktor budaya, faktor social, dan faktor ekonomi.

a) Faktor Budaya

Kebudayaan menurut E.B Taylor, dalam bukunya primitive culture merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah, sebagai berikut kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan manusia sebagia anggota masyarakat.

Budaya patriarki telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhdap perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa, sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.

Pola budaya seperti inilah yang secara tidak langsung telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki, ”budaya patriarki ibarat busur panah yang selalu mengintai kaum perempuan”

Selain itu faktor kepribadian juga mengambil bagian terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Seseorang yang memiliki sifat dan kepribadian yang keras akan lebih sering malakukan tindakan kekerasan. Kepribadian dan sifat yang keras terkadang menjadi ciri khas dari daerah tertentu, dalam hal ini Ariestoteles, mengatakan bahwa penduduk yang hidup di daerah yang dingin akan cenderung memiliki sifat yang keras, berani dan lainnya, dengan landasan sifat seperti yang diungkapkan oleh Ariestoteles diatas maka seseorang yang mempunyai kepribadian seperti itu akan menjadi sosok yang sering melanggar aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat, kepribadian seperti itu juga sering mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan

Nilai tradisi dan adaptasi juga berpengaruh terhadap kekerasan terhadap peremuan. Tradisi merupakan sifat yang tertanam sejak lama, dan adaptasi merupakan suatu kondisi dimana manusia menyesesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, banyak juga para analisis yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan terjadi, karena tidak mampunya perempuan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, misalkan terjadinya kasus pemerkosaan karena wanita itu memakai pakaian yang tidak sesuai dengan adaptasi yang seharusnya atau kebiasaan di daerah tertentu

Dan unsur yang terakhir yaitu kepercayaan (relegi) juga merupakan penyulut terjadinya kekerasan terhadap perempuan, hal ini di karenakan adanya prasangka terhadap agama tertentu yang berakibat pada timbulnya rasa benci terhadap orang atau komunitas dari agama lain, perempuan merupakan salah satu korban dari rasa tersebut, terjadi pemerkosaan hanya sekedar untuk menarik orang agar masuk kedalam agamanya merupakan hal yang sangat picik dan sangat bertentangan dengan moral dan norma masayarakat.

b) Faktor Sosial

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari individu yang lain, manusia selalu melakukan interaksi dengan individu lain dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas lagi. Masyarakat diatur oleh norma, atau nilai, adat istiadat yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat. Kendatipun demikian tidak berarti kehidupan sosial masyarakat akan selalu lancar stabil dan terintegrasi dengan baik, dan ternyata banyak sekali celah-celah yang mengakibatkan terjadi kesemerautan dalam masyarakat, salah satunya yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan, ini adalah suatu fenomena yang tak kunjung terselesaikan.

Fenomena ini di sebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu faktor sosial. Faktor sosial marupakan factor eksternal munculnya tindak kekerasan, ia disebut sebagai factor eksternal karena factor itu berada di luar individu

Di antara faktor tersebut yang pertama yaitu kegagalan dalam interaksi, menurut Soerjono Soekamto interaksi merupakan cara-cara berhubungan yang dilihat apabilah orang perorangan dan kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Syarat dari interaksi social yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. kegagalan dalam interaksi biasanya di karenakan adanya kemacetan dalam salah satu unsur pembentuk interaksi. Sebagai contoh karena kesalahan dalam komuniksi maka seoarang laki-laki tegah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perlu adanya komunikasi yang efektif sehingga bisa menghasilkan interaksi yang lancar serta manciptakan masyarakat yang tentram

Faktor sosial yang lain yaitu kurang tegasnya pihak yang berwenang dalam mengatasi tindakan kekerasan, hal ini bisa kita lihat dengan rendahnya hukuman para pelaku tindak kekerasan dalam hal apapun termasuk juga kekerasan terhadap perempuan, dan masih banyak lagi factor-faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

c) Faktor Ekonomi

Status sosial merupakan pandangan mangenai kehormatan atau pristise seseorang dapat di berikan oleh keluarga, aktivitas pekerjaan, dan pola konsumsi. Aristoteles seorang ahli filsfat yunani kuno pernah menyatakan bahwa didalam setiap masyarkat selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang sangat kaya, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu sudah mengakui adanya lapisan-lapisan dalam masyarakat atau yang sering di sebut dengan strata social. Menurut para sosiolog, sistem yang berupa lapisan-lapisan sosial itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur

Dalam bidang ekonomi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan biasanya di lakukan oleh lapisan sosial yang rendah, dimana mereka melakukan tindakan itu berdalihkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak mereka untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan, benar atau tidaknya. Alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar pelaku kejahatan itu, menandakan bahwa peran serta sistem perekonomian juga terlibat dalam fenomena sosial tindak kekerasan terhadap perempuan, hal ini bisa menjadi landasan paradigma bahwa pemerataan pembangunan dalam bidang ekonomi akan bisa mengurangi fenomena sosial yang merugikan masyarakat tersebut

Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah tetapi, banyak juga kasus yang terjadi tindakan tersebut dilakukan oleh individu dari kalangan atas, fenomena seperti ini memperlihatkan adanya pola ketergantungan ekonomi, sebagai contoh yang mendukung pendapat ini yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap perempuan sebagai pembantu rumah tangga, tidak menjadi rahasia lagi bahwa keududukan sosial ekonomi telah melahirkan penindasan terhadap perempuan dari lapisan rendah, ketergantungan yang terjadi di sini yaitu dimana kedudukan pembantu sebagai pelayan yang mendapat upah dari majikan tetapi yang terjadi kekuasaan ekonomi atau kekayaan telah membuat orang bertindak arogan dan seenaknya sendiri tanpa memandang moral dan norma yang ada dalam masyarakat

2. Strategi Ideal Pemecahan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Masalah kekerasan terhadap perempuan saat ini terus hangat dibicarakan, namun belum ada realisasi khusus terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Sering kali kekerasan yang di alami oleh perempuan di didiamkan oleh pihak keluarga karena beralaskan pada nama baik, psikologis, kekuasaan dan banyak hal lainnya. Kasus yang diangkatpun terkadang hanya mencuat di permukaan pers dan hilang dengan penyelasaian secara kekeluaragaan, suatu realita yang sangat memilukan dan menyedihkan, padahal kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindakan yang manghambat kesetaraaan , kemajuan dan perdamaian, bahkan dari kaca mata Hak Asasi Manusia (HAM) , fenomena ini merupakan pelanggaran sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari keseluruhan data tindak kekerasan terhadap perempuan di POLTABES PALEMBANG sepanjang tahun 2005-2008, kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah penganiayaan yang mengakibatkan cedera fisik, korban paling banyak adalah perempuan yang mengalami penganiayaan baik ringan maupun berat. 57 % kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual 31 % penganiayaan 14% dan perkosaan 12 %, angka yang cukup memprihatinkan bagi kita semua

Kekerasan terhadap perempuan perlu segera di tangani secara intensif berkesinambungan dan seadil-adilnya, karena secara hukum perbuatan ini merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat di toleril lagi, sebuah kejahatan kemanusian yang cukup memilukan, dan sebuah ancaman terhadap kedamaian yang menjadi utopia semua orang.

Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu ancaman global terhadap kemanusian, dan telah menjadi isu gender yang cukup sentral, mengharuskan kita untuk mengatasi, dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan, beberapa hal yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

1. Perlunya penyuluhan-penyuluhan dan kampanye-kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, terutama dari pemerintah dan juga lembaga-lambaga sosial masyarakat, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memperlakukan wanita sebagai sosok yang perlu di hormati dan dimuliakan

2. Dalam bidang pendidikan diharapkan pihak institusi pendidikan sebagai lembaga sosialisasi formal, untuk turut memberikan materi-materi yang berhubungan dengan kriminalitas dan bahayanya bagi masyarakat, serta memberikan pendidikan agama yang maksimal demi teciptanya individu yang beriman dan berahlak mulia

3. Perlunya pemberian pemahaman di dalam keluarga terutama oleh orang tua untuk selalu mengawasi perekembangan anak, tingkahlaku, tindakan yang mereka lakukan, serta memberikan pemahaman untuk bertindak yang wajar didalam lingkungan masyarakat, misalnya anak perempuan di anjurkan untuk memakai pakaian yang sopan dan banyak hal lainya yang bisa di lakukan dalam pranata keluarga

4. Perlunya peningkatan pembangunan di bidang ekonomi demi menciptkan lapangan kerja baru sehinga banyak menyerap tenaga kerja, karena banyak kasus yang terungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan di lakukan oleh para pengangguran yang tidak mempunyai aktivitas yang pasti, sehingga mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang demi memenuhi kebutuhan, dengan berkurangnya pengangguran maka pasti akan berimbas positip yaitu berkurangnya tindak kekerasan terhadap perempuan

5. Poin yang terakhir ini lebih menekankan pada pelaku, dimana harus diambil tindakan yang refresif antara lain melalui tehnik rehabilitas, menurut Creessy ada dua konsepsi mengenai konsep rehabilitasi, yang pertama yaitu menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut, sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman kurungan dan hukuman penjara, tehnik yang kedua yaitu lebih ditekankan agar pelaku atau penjahat manjadi orang biasa (yang tidak melanggar hukum) dalam hal ini selama dalam manjalani hukuman mereka di beri pelatihan keahlian atau kerajinan supaya mereka setelah keluar bisa menjadi individu yang taat pada peraturan dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dengan berbekal pada keahlian yang didapat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Banyak faktor yang harus di perhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan suatu sistem, pada saat salah satu subsistem tidak berfungsi dengan baik maka akan mengakibatkan kerusakan semua sistem, dalam hal ini suatu permasalan sosial, tidak dapat di selesaikan hanya melalui pendekatan sosial, karena semua unsur berpengaruh dalam hal itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus berperan aktif demi terciptanya lingkungan yang adil, tentram, damai, menjadikan masyarakat yang terintegrasi dengan sempurna.

Referensi :
1. Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
2. Komnas Perempuan.2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Idonesia. Jakarta : Amepro
3. Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta
4. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
5. Syani, Abdul. 1995. Sosiologi Dan Masalah Sosial. Jakarta : Fajar Agung

“POTRET KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”

“Subordinasi terhadap perempuan telah mancapai puncaknya dewasa ini, budaya patriarki secara tidak langsung telah telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. Perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki” (ObSeSiKu, 2008 : 119)

Tindakan kekerasan atau kejahatan disebut juga sebagai kriminalitas, kekerasan bukan merupakan peristiwa herediter (bawaan sejak lahir atau warisan), juga bukan warisan biologis (Kartini Kartono, 1981: 121), tindakan kekerasan bisa dilakukan oleh siapapun baik pria maupun wanita, dapat berlangsung pada usia anak dewasa ataupun lanjut usia

Tindakan kekerasan atau kejahatan bisa dilakukan secara sadar, dipikirkan, direncanakan dan diarahkan pada maksud tertentu secara sadar benar. Namun bisa juga dilakukan secara setengah sadar, misalnya karena di dorong oleh paksaan yang sangat kuat dan bisa juga secara tidak sadar, misalnya karena secara terpaksa untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan akhirnya terjadi peristiwa pembunuhan, itulah tiga konsep yang mendasari orang melakukan tindakan kekerasan atau kriminalitas

Secara yuridis formal tindak kekerasan merupakan suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoral), merugikan masyarakat a-sosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana

Dalam tinjauan sosiologis tindakan kekerasan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial-psikologis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat. Tingkah laku atau tindak kekerasan yang im-moral dan anti-sosial itu banyak menimbulkan reaksi kejengkelan dan kemarahan di kalangan masyarakat dan jelasnya sangat merugikan umum

”Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang tidak pernah berujung dan bertepi, tidak pernah habis di bicarakan dan di diskusikan, fenomena yang selalu hadir dalam dunia realitas dewasa ini dan mungkin akan tetap bertahan dalam realitas di esok hari”

Platform For Action and Beijing Declaration menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk tindakan kekerasan berdasarkan gender, termasuk ancaman, pemaksaan atau perampasan hak-hak kebebasan, yang terjadi baik didalam rumah tangga atau keluarga (privat life), maupun di dalam masyarakat (public life) yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan bagi wanita baik secara fisik, seksual maupun fsikologis (United Nations Depertement of Public Relation 1986)

Berdasarkan uraian mengenai tindak kekerasan diatas, maka tindak kekerasan terhadap perempuan, merupakan salah satu dari banyak pelanggaran terhadap aturan atau norma dalam masyarakat, kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang tidak pernah habis-habisnya dari masa tradisional sampai pada kehidupan modern sekarang ini, kekerasan terhadap perempuan semakin hari semakin meningkat, mungkin karena dosa turunan dari budaya patriarki, atau karena belum seriusnya dan belum intensifnya penggulangan yang dilakukan oleh berbagai pihak, walaupun banyak pihak yang di rugikan oleh fenomena tersebut

Masalah kekerasan pada dasarnya erat kaitannya dengan kekuasaan, dan umumnya tindakan kekerasan dilakukan oleh kaum laki-laki. Dominasi pria terhadap wanita menunjukkan adanya kekuasaan pria untuk berbuat sesukanya terhadap wanita. Hal ini juga di dukung oleh sistem kepercayaan gender yang berlaku dalam masyarakat, sistem kepercayaan gender mengacu pada serangkaian kepercayaan dan pendapat tentang laki-laki dan perempan, sistem ini mencakup pengertian bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu. Pada umumnya laki-laki dianggap sebagai sosok yang lebih kuat, lebih aktif, mempunyai dominasi dan otonomi, sebaliknya perempuan di pandang sebagai mahluk lemah, suka mengalah dan pasif (belenggu patriarki)

Jagger dan Rottenberg (2002), memberikan beberapa penjelasan mengenai penindasan terhadap perempuan, yaitu :

  1. Secara historis perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas
  2. Penindasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana dalam masyarakat
  3. Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat
  4. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya, meskipun penderitaan ini berlangsung tanpa di ketahui oleh orang lain.


1. Akar Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Perempuan sering di analisis dalam hubungannya dengan kedudukan atau juga dengan kekuasaan yang ada dalam masyarakat, yaitu fungsi mereka dalam keluarga. Menurut Aguste Comte, perempuan secara konstitusional bersifat inferiror, dimana mereka cenderung sedikit memperoleh pengakuan kedudukan didalam keluaraga maupun dalam masyarakat yang luas.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena sosial yang telah berlangsung lama dari masyarakat yang masih primitive sampai pada masyarakat modern sekarang ini, berbagai tindak kekerasan telah di alami oleh perempuan dari waktu-kewaktu, banyak faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya faktor budaya, faktor social, dan faktor ekonomi.

a) Faktor Budaya

Kebudayaan menurut E.B Taylor, dalam bukunya primitive culture merumuskan definisi secara sistematis dan ilmiah, sebagai berikut kebudayaan adalah komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kebiasaan-kebiasaan yang di lakukan manusia sebagia anggota masyarakat.

Budaya patriarki telah menjadi unsur utama terjadinya kekerasan terhdap perempuan. Budaya patriarki merupakan budaya dominan yang mendomisasi kebudayaan nasional, yang memperlihatkan pembedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan terutama mengenai kekuasaan. Kekuasaan dominan yang di miliki oleh laki-laki dianggap merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mutlak serta baku. Dimana laki-laki menempati posisi sebagai pimimpin, dan penguasa, sedangkan perempuan sebagai pekerja yang harus melayani kaum laki-laki.

Pola budaya seperti inilah yang secara tidak langsung telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan, perempuan telah di sandera, di penjarakan dan di pasung oleh belenggu patriarki, ”budaya patriarki ibarat busur panah yang selalu mengintai kaum perempuan”

Selain itu faktor kepribadian juga mengambil bagian terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Seseorang yang memiliki sifat dan kepribadian yang keras akan lebih sering malakukan tindakan kekerasan. Kepribadian dan sifat yang keras terkadang menjadi ciri khas dari daerah tertentu, dalam hal ini Ariestoteles, mengatakan bahwa penduduk yang hidup di daerah yang dingin akan cenderung memiliki sifat yang keras, berani dan lainnya, dengan landasan sifat seperti yang diungkapkan oleh Ariestoteles diatas maka seseorang yang mempunyai kepribadian seperti itu akan menjadi sosok yang sering melanggar aturan atau norma yang berlaku dalam masyarakat, kepribadian seperti itu juga sering mengakibatkan terjadinya tindakan kekerasan terhadap perempuan

Nilai tradisi dan adaptasi juga berpengaruh terhadap kekerasan terhadap peremuan. Tradisi merupakan sifat yang tertanam sejak lama, dan adaptasi merupakan suatu kondisi dimana manusia menyesesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar, banyak juga para analisis yang mengatakan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan terjadi, karena tidak mampunya perempuan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru, misalkan terjadinya kasus pemerkosaan karena wanita itu memakai pakaian yang tidak sesuai dengan adaptasi yang seharusnya atau kebiasaan di daerah tertentu

Dan unsur yang terakhir yaitu kepercayaan (relegi) juga merupakan penyulut terjadinya kekerasan terhadap perempuan, hal ini di karenakan adanya prasangka terhadap agama tertentu yang berakibat pada timbulnya rasa benci terhadap orang atau komunitas dari agama lain, perempuan merupakan salah satu korban dari rasa tersebut, terjadi pemerkosaan hanya sekedar untuk menarik orang agar masuk kedalam agamanya merupakan hal yang sangat picik dan sangat bertentangan dengan moral dan norma masayarakat.

b) Faktor Sosial

Manusia merupakan mahluk individual sekaligus sebagai mahluk sosial, dimana manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dari individu yang lain, manusia selalu melakukan interaksi dengan individu lain dalam keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan yang lebih luas lagi. Masyarakat diatur oleh norma, atau nilai, adat istiadat yang telah di sepakati bersama oleh masyarakat. Kendatipun demikian tidak berarti kehidupan sosial masyarakat akan selalu lancar stabil dan terintegrasi dengan baik, dan ternyata banyak sekali celah-celah yang mengakibatkan terjadi kesemerautan dalam masyarakat, salah satunya yaitu tindakan kekerasan terhadap perempuan, ini adalah suatu fenomena yang tak kunjung terselesaikan.

Fenomena ini di sebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu faktor sosial. Faktor sosial marupakan factor eksternal munculnya tindak kekerasan, ia disebut sebagai factor eksternal karena factor itu berada di luar individu

Di antara faktor tersebut yang pertama yaitu kegagalan dalam interaksi, menurut Soerjono Soekamto interaksi merupakan cara-cara berhubungan yang dilihat apabilah orang perorangan dan kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Syarat dari interaksi social yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. kegagalan dalam interaksi biasanya di karenakan adanya kemacetan dalam salah satu unsur pembentuk interaksi. Sebagai contoh karena kesalahan dalam komuniksi maka seoarang laki-laki tegah melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan, dalam hal ini perlu adanya komunikasi yang efektif sehingga bisa menghasilkan interaksi yang lancar serta manciptakan masyarakat yang tentram

Faktor sosial yang lain yaitu kurang tegasnya pihak yang berwenang dalam mengatasi tindakan kekerasan, hal ini bisa kita lihat dengan rendahnya hukuman para pelaku tindak kekerasan dalam hal apapun termasuk juga kekerasan terhadap perempuan, dan masih banyak lagi factor-faktor sosial yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan.


c) Faktor Ekonomi

Status sosial merupakan pandangan mangenai kehormatan atau pristise seseorang dapat di berikan oleh keluarga, aktivitas pekerjaan, dan pola konsumsi. Aristoteles seorang ahli filsfat yunani kuno pernah menyatakan bahwa didalam setiap masyarkat selalu terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang sangat kaya, mereka yang melarat, dan mereka yang berada di tengah-tengahnya. konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat pada saat itu sudah mengakui adanya lapisan-lapisan dalam masyarakat atau yang sering di sebut dengan strata social. Menurut para sosiolog, sistem yang berupa lapisan-lapisan sosial itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur

Dalam bidang ekonomi yang menjadi faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan biasanya di lakukan oleh lapisan sosial yang rendah, dimana mereka melakukan tindakan itu berdalihkan pada kebutuhan ekonomi yang mendesak mereka untuk melakukan perbuatan kekerasan terhadap perempuan, benar atau tidaknya. Alasan yang diungkapkan oleh sebagian besar pelaku kejahatan itu, menandakan bahwa peran serta sistem perekonomian juga terlibat dalam fenomena sosial tindak kekerasan terhadap perempuan, hal ini bisa menjadi landasan paradigma bahwa pemerataan pembangunan dalam bidang ekonomi akan bisa mengurangi fenomena sosial yang merugikan masyarakat tersebut

Tindak kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dari lapisan bawah tetapi, banyak juga kasus yang terjadi tindakan tersebut dilakukan oleh individu dari kalangan atas, fenomena seperti ini memperlihatkan adanya pola ketergantungan ekonomi, sebagai contoh yang mendukung pendapat ini yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap perempuan sebagai pembantu rumah tangga, tidak menjadi rahasia lagi bahwa keududukan sosial ekonomi telah melahirkan penindasan terhadap perempuan dari lapisan rendah, ketergantungan yang terjadi di sini yaitu dimana kedudukan pembantu sebagai pelayan yang mendapat upah dari majikan tetapi yang terjadi kekuasaan ekonomi atau kekayaan telah membuat orang bertindak arogan dan seenaknya sendiri tanpa memandang moral dan norma yang ada dalam masyarakat

2. Strategi Ideal Pemecahan Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan

Masalah kekerasan terhadap perempuan saat ini terus hangat dibicarakan, namun belum ada realisasi khusus terhadap perlindungan hak-hak perempuan. Sering kali kekerasan yang di alami oleh perempuan di didiamkan oleh pihak keluarga karena beralaskan pada nama baik, psikologis, kekuasaan dan banyak hal lainnya. Kasus yang diangkatpun terkadang hanya mencuat di permukaan pers dan hilang dengan penyelasaian secara kekeluaragaan, suatu realita yang sangat memilukan dan menyedihkan, padahal kekerasan terhadap perempuan adalah suatu tindakan yang manghambat kesetaraaan , kemajuan dan perdamaian, bahkan dari kaca mata Hak Asasi Manusia (HAM) , fenomena ini merupakan pelanggaran sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dari keseluruhan data tindak kekerasan terhadap perempuan di POLTABES PALEMBANG sepanjang tahun 2005-2008, kebanyakan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah penganiayaan yang mengakibatkan cedera fisik, korban paling banyak adalah perempuan yang mengalami penganiayaan baik ringan maupun berat. 57 % kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual 31 % penganiayaan 14% dan perkosaan 12 %, angka yang cukup memprihatinkan bagi kita semua

Kekerasan terhadap perempuan perlu segera di tangani secara intensif berkesinambungan dan seadil-adilnya, karena secara hukum perbuatan ini merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat di toleril lagi, sebuah kejahatan kemanusian yang cukup memilukan, dan sebuah ancaman terhadap kedamaian yang menjadi utopia semua orang.

Kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu ancaman global terhadap kemanusian, dan telah menjadi isu gender yang cukup sentral, mengharuskan kita untuk mengatasi, dan meminimalisir tindak kekerasan terhadap perempuan, beberapa hal yang harus dilakukan yaitu sebagai berikut :

  1. Perlunya penyuluhan-penyuluhan dan kampanye-kampanye anti kekerasan terhadap perempuan, terutama dari pemerintah dan juga lembaga-lambaga sosial masyarakat, serta memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk memperlakukan wanita sebagai sosok yang perlu di hormati dan dimuliakan

  1. Dalam bidang pendidikan diharapkan pihak institusi pendidikan sebagai lembaga sosialisasi formal, untuk turut memberikan materi-materi yang berhubungan dengan kriminalitas dan bahayanya bagi masyarakat, serta memberikan pendidikan agama yang maksimal demi teciptanya individu yang beriman dan berahlak mulia

  1. Perlunya pemberian pemahaman di dalam keluarga terutama oleh orang tua untuk selalu mengawasi perekembangan anak, tingkahlaku, tindakan yang mereka lakukan, serta memberikan pemahaman untuk bertindak yang wajar didalam lingkungan masyarakat, misalnya anak perempuan di anjurkan untuk memakai pakaian yang sopan dan banyak hal lainya yang bisa di lakukan dalam pranata keluarga

  1. Perlunya peningkatan pembangunan di bidang ekonomi demi menciptkan lapangan kerja baru sehinga banyak menyerap tenaga kerja, karena banyak kasus yang terungkap bahwa kekerasan terhadap perempuan di lakukan oleh para pengangguran yang tidak mempunyai aktivitas yang pasti, sehingga mereka sering melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang demi memenuhi kebutuhan, dengan berkurangnya pengangguran maka pasti akan berimbas positip yaitu berkurangnya tindak kekerasan terhadap perempuan

  1. Poin yang terakhir ini lebih menekankan pada pelaku, dimana harus diambil tindakan yang refresif antara lain melalui tehnik rehabilitas, menurut Creessy ada dua konsepsi mengenai konsep rehabilitasi, yang pertama yaitu menciptakan sistem dan program-program yang bertujuan untuk menghukum orang-orang jahat tersebut, sistem serta program-program tersebut bersifat reformatif, misalnya hukuman kurungan dan hukuman penjara, tehnik yang kedua yaitu lebih ditekankan agar pelaku atau penjahat manjadi orang biasa (yang tidak melanggar hukum) dalam hal ini selama dalam manjalani hukuman mereka di beri pelatihan keahlian atau kerajinan supaya mereka setelah keluar bisa menjadi individu yang taat pada peraturan dan tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, dengan berbekal pada keahlian yang didapat mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Banyak faktor yang harus di perhatikan dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan sosial dalam masyarakat, karena masyarakat merupakan suatu sistem, pada saat salah satu subsistem tidak berfungsi dengan baik maka akan mengakibatkan kerusakan semua sistem, dalam hal ini suatu permasalan sosial, tidak dapat di selesaikan hanya melalui pendekatan sosial, karena semua unsur berpengaruh dalam hal itu, maka sudah menjadi keharusan bahwa setiap bagian dalam masyarakat harus berperan aktif demi terciptanya lingkungan yang adil, tentram, damai, menjadikan masyarakat yang terintegrasi dengan sempurna.

Referensi :

1. Kartono, Kartini. 2003. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

2. Komnas Perempuan.2002. Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Idonesia. Jakarta : Amepro

3. Raga Maran, Rafael. 2001. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : Rineka Cipta

4. Soekanto, Soerjono. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

5. Syani, Abdul. 1995. Sosiologi Dan Masalah Sosial. Jakarta : Fajar Agung