Sabtu, 29 November 2008


BELUM ADA JUDUL BY : obsesi jalanan

Setelah memulai denyut hari dengan hal-hal yang berat, aku tergoda untuk mengajak badaniah masuk dalam lingkaran naluri menyenangkan. Lagi-lagi asmara tetap hangat diangkat menjadi topik tanya-jawab. Yang pasti, aku sendiri merasa senang dijebak dalam jedah yang bisa berlipat-lipat, membelok akan tujuan awal “Mengapa aku disini?”. Walupun apa yang tersimpulkan hanya sekedar hipotesis yang sinting, condong memberikan daya eksra untuk terus melangkah dengan kemantapan hati yang dikarbiti. Aku akan berusaha untuk terus terjaga dalam skenario yang mengalir dalam episode yang mengambang.

Merenung mengenai dunia Eross membawaku tenggelam dalam imaji, membaluri naluri dalam skema diskusi pakar pemecah teka-teki malam, melahirkan berjuta hipotesis centang-perentang yang memikat. Belum lagi, bonus plusnya… semakin tinggi mengajak otak kiri menerawang, melewati dimensi realitas dunia nyata. Reaksi-reaksinya pun tak kalah hebat; dari gelak tawa lepas sampai pada intropeksi yang memilukan. Semuanya dikemas dalam serba-serbi dari alur kelokkan cerita yang dibuat dramatis, prinsipil dan terkesan dilebih-lebihkan.

Katanya “Cinta itu buta” sebuah kalimat pendek yang berulang-ulang terdengar oleh telinga. Sebelumnya bagiku, hanya sebuah kiasan biasa yang didengungkan oleh para pujangga dalam rangka melengkapi ramuan puitisnya. Tak ada makna lebih hanya sebuah pemanis. Keawaman penalaranku pun tak ambil pusing akan filosofis yang terkandung didalamnya. Tapi disini (karna mu), aku diajak merasakan sendiri apa itu pemahaman jangan hanya berhenti pada pengertian dan definisi karna kau takkan kemana-mana kalau hanya selesai pada katanya, katanya, dan katanya… Refleksi langkah kaki pun telah jauh menembus berlipat-lipat kesadaran, selagi aku sibuk akan penalaran, konsentrasiku pun terpecah oleh riak dengusan bisik knalpot bis yang terbawa oleh hembusan angin, Perputaran percepatan roda yang berputar yang bekerja sama dengan alunan suara mesin yang menggema, menjadikan perpaduan irama lagu yang mendengung-dengung mengalahkan suara obrolan yang tak beraturan yang terdengar oleh indera pendengarku, yang terdengar hanyalah gumaman suara lebah yang menggema.

Kuteliti sekelilingku, semua seperti menikmati ayat Kauliyah ini membawa sketsa harapan melawan perputaran jarum jam. Ku mencoba menuruti apa yang mereka lakukan, “Bagaimana menikmati suasana ini?”, sejenak memang terasa suasana damai seolah menghipnotis jiwa agar melepas hiruk-pikuk hidup yang telah menjadi rutinitas yang aku pun lupa kapan memulainya, yang ku tau dari sebagian orang yang berada disini mempunyai satu kepentingan yang sama kembali ke zona aman ketempat dimana mereka menyatu dalam keluarga. Aku enggan mencoba berkomunikasi dua arah dengan orang disampingku, pilihannya lebih baik aku menikmati langit sore ini yang matahari bisa dilihat dengan mata telanjang berwarna jingga keemas-emasan membawa lamunan yang tak berujung, dimana menerawang disahkan. Aku pandang keluasan alam semesta, langit cerah dipenuhi warna kejora yang begitu indah berpencar kesegala penjuru membawa aroma terapis bagi jiwa, ku lepas pandangan pada sisi sebelah kiri atas, terlihat susunan awan lembut bagai jelmaan lukisan abstrak yang mengandung makna tersirat, sangat berbeda dengan langit sebelah kanan yang lebih menawarkan harapan baru pada keinginan biru.

Dan inilah tempatnya!!!. Langit sore, asli…!!! engkau membawa alam bawah sadarku menjinjing harapan rapuhku hanya tuk sekedar tegak dari keinginan yang tak terelakkan. Tanpa sadar, ku telah berdiri ditanah yang lebih tinggi, ku teliti sekeliling ku, tempat ini dipenuhi orang-orang yang tak ku kenal, terdengar jejak telapak kaki yang mendekat, terlihat dua orang tengah berbincang “Apakah harapan itu?”. Sebagaimana dikira banyak orang berarti menghendaki dan menginginkan? Jika demikian, orang yang menginginkan mobil, rumah dan perkakas yang lebih banyak dan lebih bagus lagi dapat disebut sebagai orang yang berharap. Apakah disebut harapan jika objek harapan itu bukan berupa sesuatu (benda) melainkan sesuatu yang tak dapat dilihat tapi nyata yang lebih bermakna, suatu kondisi hidup yang lebih menyenangkan, bebas dari kejenuhan yang berkepanjangan. Memang hal ini dapat dikatakan harapan. Akan tetapi itu bukan harapan jika mengandung makna kepasifan dan “menunggu untuk ___” sehingga harapan dalam kenyataannya menjadi kedok dari dunia khayal, hanya ideologis semata…. Salah satu dari dua orang itu memulai percakapannya.

Aku mulai tertarik dengan obrolan ini, jadi ku putuskan terlibat dengan berjalan pelan kira-kira dua meter dibelakang mereka.

Lelaki itupun meneruskan kata-katanya. Dua bulan yang lalu saya menyaksikan seorang Pencinta mendatangi pintu hati Sang Pujaan dan meminta izin untuk masuk kedalam kehidupannya. Sang Pujaan mengatakan bahwa dia tidak mengizinkan seseorang untuk masuk selama beberapa saat. Sementara pintu itu terbuka, Pencinta itu memutuskan untuk menunggu sampai Sang Pujaan mengizinkannya masuk dalam kehidupannya. Dia duduk selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Berkali-kali ia menanyakan apakah sudah diizinkan masuk, tetapi selalu dijawab bahwa dia belum bisa mengizinkannya. Selama bertahun-tahun Pencinta itu tak henti-hentinya memperhatikan Sang Pujaannya, sambil melepas kutu-kutu yang menempel dikerah bajunya yang menjamur. Sampai-sampai dia rapuh dan hampir mati harapan. Untuk pertama kalinya ia menanyakan: “Bagaimana sampai terjadi bahwa sepanjang tahun ini tak ada seorang pun yang meminta izin untuk masuk kecuali saya?” Sang Pujaan itu menjawab, “Tak seorang pun kecuali Anda yang bersikeras meminta izin memasuki pintu ini. Sekarang saya mau menutupnya”.

Pencinta itu sudah terlalu tua untuk memahami maksudnya, bahkan ia tidak dapat memahaminya ketika ia masih muda.

Dengan roh yang belum begitu penuh masuk kedalam raga ku melepaskan pandangan dari jendela yang kusam, terlihat sab-sab barisn tebu . . . oh !!! sudah melewati simpang Tanjung Pinang, langsung ku benahi cara duduk, spontan kuusap wajah dan ku kucek kedua bola mataku. Ku tarik napas cepat sambil memijit-mijit leher bagian belakangku. Aku cerna kata-kata yang sempat ku ingat dari percakapan dua orang dalam tidur satu jamku, “Apa maksud obrolan mereka?, ataukah mereka memberi petuah. “jangan pernah berkata menjadi pejuang kalau hanya bisa berobsesi !!!”, tidur singkat yang begitu berat.

Dengan nalar ku coba memberikan arti dari makna yang tersirat. Para Pujaan mempunyai kata-kata usang: jika mereka mengatakan “tidak”, maka seseorang tidak bisa masuk meskipun pintu hatinya terbuka untuk siapa saja. Jika Sang Pencinta telah menjadi pasif daripada ini, berharap dengan menunggu, mengharapkan Sang Pujaan melakukan tindakan pembebasan yang menghantarkan ke istana hatinya yang istimewa. Kebanyakkan orang akan menjadi “Pencinta tolol”. Mereka berharap tetapi hal itu tidak akan mempengaruhi dorongan hati para Pujaan, dan selama para Pujaan tidak memberi lampu hijau, mereka tetap menunggu dan menunggu. Sementara menunggu dengan pasif merupakan bentuk ketidakberdayaan dan impotent yang memuakkan. Disisi lain, ada bentuk ketidakberdayaan dan keputusasaan lain yang menyamar dalam bentuk yang sangat berlawanan, penyamaran yang terwujud dalam tindakan pertualangan, tidak memperdulikan realitas, suatu kekuatan yang tidak dapat diabaikan. Ini merupakan sikap pemimpin gerilya palsu, orang yang muak terhadap orang yang tidak lebih memilih kematian daripada kekalahan.

Artiannya…Tak ada satu pun pengecualian dengan peristiwa sekarang kecuali hanya dalam moment berikutnya, hari berikutnya, tahun berikutnya, dunia besok adalah absurd untuk menyakini bahwa harapan dapat direalisasikan dalam dunia ini. Tetapi masa depan, proyeksi dari waktu, akan mendatangkan apa yang tidak bisa diraih”.

Maaf kalau selama ini aku salah duga, ternyata asmara itu tak mudah tak gampang dan tak secengeng yang selama ini kukira kusangka. Memikirkanmu adalah sebuah keasyikkan tersendiri membawa sejuta cerita dalam khayalan aneh, seolah-olah membawa berton-ton molekul uranium siap meledak menyerap antusias dalam diriku, meletup-letup membawa percikkan api semangat. Disini sempat aku berdecak akan keagungan Tuhan “Makmano nian, putih dan manis dapat bersanding, wahai… Nona yang hidup dalam konsep ideal, asli…engkau berputar dalam kepalaku”. Belum jauh aku berdiri hanya tuk sekedar memahami apa yang ku rasa, keadaan telah mencekcoki dengan segala kilas sejarah, “Bagaimana aku mengenalmu, siapa dirimu?”, mungkinkah aku berdiri diruang dan waktu yang salah , dan pasti keadaannya tak semenarik seperti pertemuan para Pencinta yang lain yang mempunyai kendali penuh atas cerita yang akan dilalui. Yang pasti intropeksi ini menbawa angin dingin menyerang gelora dalam dada. Dari sini aku telah terjebak dalam dilema rumit, menemukan dua persimpangan…yang jelas aku tak mempunyai peta atau petunjuk apapun atas langkah mana yang kuambil; “menjunjung profesionalis atau memperjuangkan fitrah yang mengalir begitu saja”.

Yang ku bisa…membiarkan suara dalam hatiku yang selalu menbunyikan cinta, ku percaya dan kuyakini murninya nurani menjadi penunjuk jalanku…lentera jiwaku. Seharusnya kau tau, apa yang ku rasa ketika melawan loncatan proton-neutron, asli… aku tak berdaya ketika memikirkanmu, ketika draft manis wajahmu berputar-putar didalam waktu luangku, saat-saat kesendirian terpaksa ku nikmati.

Jangan benci aku . . .
Karna ini langkah yang ku pilih
Walau 1000 nasihat, menghujat
Walau 1000 pikat menjerat
Aku tak peduli
Aku pernah sakit dan menyakiti
Dan kini bangkit dalam imaji
Selamanya aku tambah tak peduli
Yang ku bisa bersandar bukan menghindar
Jika benar naluri (fitrah) adalah kebenaran
Adakah pembenaran atas keyakinan
Jika cinta ada nilainya
Berapa kau nilai cintaku
Semestinya kau tau
Betapa sering aku merintih,
Berapa lama aku tertatih ?

Dan inilah istimewanya . . .,melahirkan teoritis dalam menantang keadaan agar tunduk dalam imaji yang terpatri dalam otak yang menyimpan konsep ideal. Sebuah kegelisahan yang berwujud dilema ini membangun perisai dalam usaha menenteramkan hati agar terus terjaga memapah keinginan agar sesuai dalam jalur walaupun konsekuensi yang menyakitkan akan segera datang menjajah hari-hari biasaku, menghantam kepentingan-kepentingan pribadiku.

Polos wajahmu nampak begitu suci
Menjanjikan angan terwangi digurat
Senyumnya…ukhh
Itulah kesan yang terlintas
Kala pertama melihatmu
Siapapun tergoda oleh ranum usia remajamu
Walaupun…
Terus bergulir seiring derai tawamu
Diantara deru jalan
Dan gelap pertanyaan setengah tertelan
Apa hendak dikata
Ku hanya terdiam
Saksikan sosokmu pada kenyataan
Oh…Gadis manis
Apa yang ada dibenakmu
Hei…Paras Teduh
Harapku melesat dalam gema langkah terbatah-batah

Tulisan ini, buah pesan dari kegelisahan, ingin ku katakan sendiri padamu dalam kesempatan yang ada tapi itulah… aku tak mempunyai sihir dalam membangun antusias dalam dirimu, disisi lain, akupun mencoba menghindar dari pergulatan egosentrisme yang keliru, yang ku tahu menahan adalah pekerjaan yang sulit tapi apalah dayaku, yang ku bisa mengumpulkan segala aset yang ku punya. Kau membawa sekekelumit kisah indah yang aku sendiri pun kaku bagaimana membahasakannya.

Kalaupun bahasa lisan tak mampu merangkul segala tetek-bengek, aku pun berusaha untuk menyampaikan pesan dalam tulisan mewakili apa yang ku rasa. Dan setiap bait yang kutulis, dan setiap kata yang ku utarakan dan setiap perbuatan dimana ku menurutkan kata hati, bertindak sebagai bukti pengakuan yang tak dapat terelakkan dari sifat dasar naluri sebagai anugerah yang tertanam, dalam-dalam dihatiku, tidak ada rekayasa, tidak ada manipulasi, tidak ada kamuflase, ini pengakuanku yang tak dapat ku ingkari dari keinginan yang tak terelakkan.

Maaf kalau Nona tak berkenan !. Hei… “Paras Teduh yang tak tersentuh polesan pabrik, kapitalisme engkau mengambang 5 cm didepan keningku”. Yang ku tau . . . Ini ketertarikan bukan keterikatan . . . ini pengakuan bukan pembelaan hanya bersandar bukan menghindar.
Semoga ini bukan emosi sesaat... !!!. (akhir sebuah pencarian)


Tidak ada komentar: