Rabu, 09 April 2008

buku

Kelas Menengah Indonesia

BAB I
Pendahuluan

Masyarakat indonesia sangat berbeda dengan Negara barat yang lebih kapitalis, dalam masayarakat kapitalis sengat jelas akan adanyan kelas menengah dalam kehidupan masyakat dan dalam tataran Negara, tetapi di dalam bangsa indonesia sangat sulit untuk menentukan masyarakat kelas menengahnya, banyak asfek yang melatar belakanginya. Kelas menengah Indonesia merupakan buah dari wajah politik yang porak poranda dan memilukan, ada beberapa tema yang muncul dalam konfrensi mengenai “politik kelas menengah Indonesia” pada juni 1986. centre of southeast asian studies, Universitas Monash. Yaitu : 1). Fakta adanya sebuah elemen baru berdasarkan kelas dalam masyarakat Indonesia, 2) Maka ideologis dari kelompok dan masalah-masalah yang berkaitan dengan karakter politik kelas menengah Indonesia, 3)Perlunya perdebatan tentang karakter pengelompokan-pengelompokan ini

Kerangka Teori ( Rambu Atau Alat ? )
Masalah penerapan suatu kerangka konseftual secara lebih atau kurang kaku tidak bisa dilepaskan dari analisa substantive. Pembagiannya seringkali di pertengkarkan dalam ilmu social barat yang bersal dari marx dan pengkritik-pengkritik liberalnya. Kelas merupakan suatu istilah yang sentral dalam leksikon politik barat dan merupakan suatu istilah yang di mana makna yang dilekatkan padanya secara histories berhubungan erat dengan tujuan-tujuan analisa politik Analisa weberian menempatkan kelas pada suatu status ekonomi yang berhadapan dengan status distribusi kehormatan dan pristise dan kekuasaan politik walaupun ketiga hal tersebut merupakan sumbu dari kekuasaan dan perselisihan antar kelompok. Karya weber mengetengahkan kelas konsumsi tradisional yang ada dalam masyarkat

Politik Kelas Menengah
Di dalam masyarakat Indonesia kelas menengah, sehubungan dengan bangsa Indonesia yang baru berkembang maka sangat sulit untuk mengidetifikasikan kelompok kelas menengah, di Indonesia kelas menengah dilihat sebagai actor politik sentral. Sedangkan dalam masyarakat barat yang dikatakan sebagai kelas menengah pada saat itu adalah suatu kondisi dimana masyarakat kapitalisan mulai berkembang menggantikan sistem pemerintahan yang feodal.
Menurut Lav lahirnya kelas menengah di Indonesia dikarenakan tarik menariknya antara ediologi dan kepentingan, Negara dan masyarakat. Pada tahun 1950 mulai munculnya kelas menengah yaitu kelompok-kelompok professional muda, dan pada masa orde baru kelas tersebut mengokohkan kedudukannya dengan membangu basis ekonomi, Setelah berlangsung selama seperempat abad pembangunan kapitalis, Negara militer, dan hipertrofik

Ideologi dan Legitimasi di Indonesia : Masyarkat Sipil Melawan Negara ? Pokok permasalahan dalam bahasan ini yaitu begaimana kelompok masyarakat sipil bisa menandingi hak-hak istimewa Negara, melalui kelompok kelas menengah yang ada dalam masyarakat. Pada masa setelah kemerdekaan terjadi pertentnagan antara kelompok kelas menengah mengenai perlunya pembatasan atas kekuasaan Negara dalam tradisi politik yang sangat statis dan kolektivitas, Pada masa orde baru pertentangan ini terus terjadi karena sistem yang militer yang memberikan beberapa petentangan dimana militer menjadi pengontrol pemerintahan
Penelitian Lav menemukan tiga kajian penting yaitu :
· Mengeloborasi argument sebelumnya, Lidle mejwab Lav bahwa Negara orde baru memiliki suatu derajat legitimasi yang efektif dan memadai unutk menjamin keberlangsungannya setelah masa Soeharto lewat.
· Transpormasi dari salah satu sector kelas menengah Indonesia yaitu kelas menengah santri “ Abdurrahman Wahid “ yang pada masa lalu mendambakan Negara islam.

Gap dan Agenda
Gagasan utama dalam bahsan ini yaitu interaksi antara gender dan kelas, masalah yang menarik yang di ajukan Abeyasekere di akhir pernyataannya, satu lagi yang menarik yaitu mengenai politik kaum feminisme atas beberapa preskripsi yang lebih sederhana tentang pembelaan terhadap masyarakat sipil untuk menghadapi Negara, Elemen terkahir yang hilang adalah dimensi internasional atau secara lebih tepat suatu penjelasan tentang suatu penjelasan tentang proses tak terbantahkan yang dengan mana Negara dan ekonomi global. Kelompok menengah sebagi kelas borjuasi da kapitalis atau lebuh tepatnya kelompok –kelompok menengah professional, birokrat, pengusaha dan pedagang kecil, mereka tetap merupakan kekuatan pengarah yang secara ekonomis sangat ekspansioner
Structural kelas menengah Indonesia perlu ditujukan setidak-tidaknya ke empat dari urban, kearah perekonomian global melalui perubahan-perubahan di tingkat militer ke arah bawah yaitu: melalui pemerintahan rovensional dan jaringan pasar ke kota dan kabupaten serta daerah pedesaan, kesamping yaitu kedalam keragaman mode produksi yang berbeda-beda secara regional. Dan kedalam yaitu pada dunia dalam pembentukan identitas laki-laki dan wanita di lingkungan rumah tangga kelas menengah dengan situasi dan orientasinya yang berbeda-beda






BAB II
Kelas Menengah Islam Di Indonesia

Dalam bahasan ini yang menjadi permasalahan yaitu mengidentifikasikan kelas menegah islam di dindonesia unutk melhat bagaimana perkembganan masyarakat kedepan Di Negara ini yang menjadi golongan kelas menengah bukanya dari kelompok penguasa tetapi dari kelompok-kelompok professional, pegawai negeri, pejabat-jejabat, bahkan kaum akdemisi.
Di masa lalu kelas menengah islam dengan jelas mudah di identifikasiakn di pedesaan, pad petani kaya dan pedagang dan di daerah perkotaan, watak dari pengusaha dari kelas menengah islam sangat jelas bertentangan dengan kelas penguasa tradisional, bahkan pengaruh sangat jelas dan sangat jauh sama seperti perbedaan anatar kelas penguasa dengan kelompok kelas menengah keturunan cina.
Ketika pendekatan politik para ulama gagal untuk membentuk Negara islam, maka kelas menengah islam kemudian mengembangakan respon ganda terhadap kekuasaan colonial. Bergabung dengan perjuangan politik unutk mencapai kemerdekaan, hal ini menjadi suatu gerakan unutk menentang colonial dari dua arah yaitu secara politik dan secar budaya.kelas menengah islam Indonesia berkeras untuk mempertahankan identitas budayanya, sendiri dengan mendirikan berbagai macam bacaan sendiri mengenai bacaan-bacaan yang islami
Setelah kemerdekaan kelas menengah islam merubah peran ganda tadi dengan menutut di resmikan ajaran-ajaran islam sebagai ideologi politik seluruh negeri, atau kalau gagal ia menjadi hokum di Negara itu.mereka melakuaka itu dengan mendukung pemimpin yang mempunyai komitmen yang sama. Seprti : M Natsir, A Wahid Hasyim, dan Abikusmo Tjokrosujoso. Sikap ini berkakhir dengan macetnya siding Dewan Konstituante 1959. Kegagalan ini berakibat adanya konsekuansi perkembangan politik yang sekarang ini telah mematikan aspirasi, untuk formalisasi islam dalam kehidupan Negara
Dua kelompok islam yang berbeda telah memberikan dua respon dengan menetapkan dua pendekatan, yaitu :
Startegi pertama dengan menyebarkan bahwa hanya islam yang bisa memlihara demokrasi sejati
Kelompok lunak islam memainkan peranan penting dalam kehidupan berbangsa. Tetapi yang menjdai kenyataan bahwa islam di kesampingkan dengan ideology modern.islam hanya dijadikan sebagai pelengkap dari aturan kenegaraan



BAB III
“Kelompok Tengah” Dan Perubahan Di Indonesia

Istilah kelas menengah berubah dari waktu-kewaktu. Penelitian tentang kelompok menengah Indonesia sangat kurang sekali, banyak kaum ilmuan Indonesia yang cenderung mengabaikan strata menengah social, dengan melebur kelompok-kelompok baru kedalam dua kelas yang penggunaannya masih sangat dominan.
Hal yang paling mendasar untuk memberikan pengamatan terhadap strata menengah adalah bahwa mereka di bandinkan dengan lainya cenderung konsisten mempromosikan perubahan. Secara histories kelas menengah telah menjadi factor uatama dari desakan terhadap perubahan ekonomi, social, politik, dan cultural. Pada saat sekarang ini yang menjadi pemimpin gerakan nasionalis dan anti-kolonial
Dalam makalah ini ada dua macam perubahan :
Pertama menunjukkan bagaimana kelompok menengah yang terus meluas ini dengan munculnya ediologi-ediologi baru.
Berkaitan dengan sistem politik dan tekanan-tekanan yang dalam jangka panjang akan mengubahnya.
Kebangkitan Dan Pertumbuhan
Evolusi kelompok menengah di Indonesia dapat di identifikasikan dalam beberapa tahapan yaitu pada masa belanda didirikan sekolah-sekolah untuk kalangan pribumi yang pada akhirnya melahirkan kelompok pribumi menengah professional, dan merupakan suatu indicator lahirnya kelompok-kelompok social baru, pada tahun1900-an
Menurut Dale Johnson (1985), kelompok menengah adalah sebuah kumpulan yang dinamis yang tumbuh dari dua kelas yang popular, mereka bukan datang dari kalangan petani, atau pekerja kota di satu pihak elit Negara di pihak lain menempati strata wiraswasta, komersial, financial dan frofesional. Kaum professional di satu sisi akan melahirkan para revolusioner, namun pada lain sisi mereka bersikap lebih konservatif. Walaupun dalam jumlah yang sedikit tetapi kelompok social yang baru itu dapat menciptakan perubahan-perubahan yang cukup penting, kelompok professional muda telah mampu menciptakan gerakan-gerakan nasionalis dan memimpin Negara baru. Kaum liberal diantara mereka adalah dari kelompok professional PNI dan Masyumi, secara paradok strata menengah lahir dari masa demokrasi terpimpin
Orde baru mulai menghamparkan landasan ekonomi ekspansif yang tak dimiliki sebelumnya. Landasan inilah yang memberikan danfak revolusioner terbesar dalam sejarah Indonesia.

Ideologi di Tengah : (Negara / masyarkat dan Hukum)
Kalangan professional sebagaimana kalangan wiraswastawan, tujuan dan gaya secara alami tumbuh semakin beragam. Secara keseluruhan kaum professional, seperti para wiraswasta sangat antusias dalam mengumpulkan uang sejalan dengan etos boom orde baru, Para wiraswastawan terpecah dengan adanya kedekatan salah satu pihak pada elit militer dan pemerintah.
Perubahan strata kelompok menengah juga terjadi perubahan dalam ediologi seirng dengan perkembangan jaman, kelompok yang mengalami perubahan itu yaitu para putra priyayi, sejak awal karena terpengaruh oleh ide-ide belanda maka kaum professional swasta Indonesia cenderung untuk memandang masyarakat / Negara dalam cara berkutub, Pertarungan yang di lahirkan akibat manifestasi kebudayaan pada awal-awal orde baru, ketika keganduhan perdebatan isu Negara/masayarakat mencapai titik tertinggi, isu itu tidak dapat di pajamkan dalam waktu yang singkat, kelompok-kelompok menengah secara intens terlibat aktif dalam menyalurkan gagasan mereka dalam orde baru. Munculnya berbagai gerakan yang menyuarakan berbagai hak-hak masyarakat, pada tahun 1960-an, mereka adalah kelompok yang indevenden tidak terikat oleh parol. KAMI, KAPPI dan KASI, LBH dan lain-lain.
Dua decade berikutnya banyak dari organisasi itu menunjukkan sikap militant dalam keberjarakan dengan Negara, dan akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an kehadiran asosiasi-asosiasi aktivis yang tertanam secarah teguh dalam masyarakat menjadi sangat lazim terlihat, Piagam Jakarta merupakan sebuah dokumen Negara / masyarakat, namun dua puluh lima tahun demokrasi terpimpin dan oerde baru telah mulai menenamkan tumbuhnya kesadaran akan kebutuhan perlindungan akan hak azazi manusia
Persoalan etnisitas pada dasarnya berkaitan dengan pertanyaan apakah kelompok-kelompok non jawa memilki minat khusus terhadap pemisahan Negara / masyrakat mengingat pemisahan semacam itu manjanjikan peluang social dan ekonomi lebih besar dalam Negara yang yak mungkin mereka dominasia ataupun bahkan mereka peroleh secara professional.
Konsep Negara hokum menjadi sangat relevan, Negara hokum menarik perhatian dari berbagai pihak, karen Negara hokum akan melindungi para warga neagranya dari perlakuan yang tidak adil. Pemrintah orde baru cenderung merangsang lahirnya ekonomi swasta yang tak dapat di elakkan, hal ini cendrung melahirkan swastanisasi lainnya



Orde Baru dan Menengah Baru
Rezim militer manjadi landsan yang kuat untuk bisa mempertahankan kekusaan seorang yang berkuasa, begitu juga di Indonesia pada zaman orde baru kedudukan militer berada di belakang pemerintah, yang cukup memprihatinkan yatiu kalangan menengah tidak mampu berbuata banyak. Hubungan antara kelompok-kelompok menengah privat dan rezim orde baru telah di penuhi dengan dualisme dan ketidak pastian serta kecurigaan mendalam.
Rezim orde baru mendapat dukungan dari oleh beberapa pihak yang mersa di untungkan karena telah mampu menghancurkan komunisme dan dalam menciptakan peluang-peluang ekonomi. Namun demikian legitimasinya masih di ragukan atau paling tidak banyak meragukan. Militer politik modern telah melekat dan menetap secara institusional maupun secara ediologis dalam Negara, seperti kebanyakan militer politik, menggerogoti potongan-potongan imbalan di sana-sini. TNI sejak 1959 dan terutama tahun 1966 telah manjalin kesegenap pelosok birokrasi. Sangat sulit untuk mencabut militer dari posisi itu, ia bebar-banar melekat pada Negara terikat dari atas kebawah dengan lembaga-lembaga Negara, Krisis suksesi mungkin tak akan mengurangi domonasi militer sebagai political estate utama, hal ini akan sangat berpengaruh pada hubungan antara para penerus dengan kelompok-kelompok menengah swasta. Lidle berargumen bahwa pemimpin yang cakap akan mampu mengendalikan situasi seperti yang dilakukan oleh Soeharto, dan kemungkinan para pemimpin baru akan berusaha iutnuk memprelihatkan daya tariknya, kalau perubahan terjadi bertahap seperti ini maka para kelas menengah akan bisa menerima dengan wajar.






BAB IV
Sejumlah Catatan Mengenai Kelas Menengah
Dan Perubahan Di Indonesia

Perubahan dalam orde baru sangat mendasar sekali, walau dengan harga yang mahal harus di bayar cukup jelas di sejumlah hal namun belum bisa di pastikan di sejumlah hal lainnya. Dimensi dari perubahan itu yaitu adalah dengan bangkitnya sebuah kelas menengah yang ketiadaannya berakibat penting selama dua decade pertama setelah revolusi dan kehadirannya akan berpengaruh besar setelah dua decade berikutnya.
Kelas menengah telah terevolusikan dengan adanya pergantian zaman dimana dulu mereka sebagai kaum profesional yang terus melaju dengan menyebarkan sikap nasionalis dan anti terhadap kolonialisme, setelah mereka dapat merebut kemerdekaan mereka tersisihkan dari perpolitikan yang memang cukup kejam, seharusnya mereka dapat menikmati indahnya mengisi kemerdekaan tetapi mereka terlupakan oleh bangkitnya sosok militer yang mulai beaksi, sistem social, politik, ekonomi dan budayapun tidak lagi bisa memberikan kedudukan yang berarti bagi mereka.
Dan mulai pada saat 1965 mereka mulai dapat berperan walau mereka masih dalam tekanan mereka memiliki sedikit kekuatan politik. Soetjipto Wirosardjono (1984) menunjuk pada akar feodal dari kelas menengah Indonesia yang ia percaya sebagai penyebab dari ketiadaan hasrat mereka akan perubahan social mandasar.
kelas menengah tentu saja mencakup sebuah keseragaman kelompok yang cukup luas sekali. Mereka adalah kaum professional yang sering terabaikan, di Indonesia kelompok professional yang tidak kohesif berkembang secara perlahan sepanjang periode sekitar 50 tahun. Kemudian tahun 1970-an pertumbuhan ekonomi swasta, besama-sama dengan nilai-nilai status baru ynag diinspirasikannya, menciptakan gelombang ke dalam pekerjaan-pekerjaan professional baik oleh para sarjana maupun para pegawai negeri yang lebih tua.
BAB V
Kelas Menengah dan Legitimasi Orde Baru

Beberapa arguman Daniel S Lev, mengenai kelas menengah, yaitu : pertama bahwa sebuah kelas menengah (atau kelas-kelas) telah tumbuh secara signifikan semasa Orde Baru sebagai akibat sampingan dari kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah. Kedua bahwa sebuah porsi cukup besar dari kelas ini secara politik berpendirian liberal. “liberal” di sini berarti memiliki kepedulian untuk menciptakan jarak antara Negara dan masyarakat, dan yang ketiga bahwa kelas menengah liberal akan terlibat dalam aksi politik.
Mempertegas pernyataan-pernyataan ini dengan argument penutup bahwa kelas menengah adalah minoritas kecil yang walaupun tampaknya bisa menimbulkan kesulitan namun bukan merupakan ancaman serius bagi otoritarianisme untuk jangka waktu cukup lama mendatang.
Mungkin karakteristik terpenting dari Orde Baru yang perlu kita kenali adalah bahwa ia merupakan rezim pasca-1950 pertama yang menikmati keabsahan mendasar. Demokrasi Perlementer sebagai sebuah rangkaian prinsip dilumpuhkan oleh ketiadaan dukungan dari public secara umum maupun dari banyaknya politikus. Demokrasi Terpimpin berupaya untuk melegitimasikan ideology nasionalis revolusionernya yang sesungguhnya telah kadaluarsa, tanpa menawarkan jawaban-jawaban yang dibutuhkan bagi bermacam dilema kebijakan Indonesia di akhir 1950-an dan awal 1960-an.
Kunci bagi keabsahan Orde Baru adalah “develovmentalisme”, serangkaian ide yang aplikasinya oleh pemerintah sudah menelurkan berbagai hasil dalam bentuk pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur social dan peningkatan kesejahteraan individual. Namun sama pentingnya adalah fakta bahwa itu sangat menarik hati para pendukung politik kritis, warga Indonesia berpendidikan menengah yang memenuhi sector modern, dengan proporsi besar darinya dikaryakan oleh birokrasi Negara.
Apa yang menarik bagi birokrat pada ideology developmentalisme adalah sifat paternalisticnya, yang menganugerahkan mereka peran kunci, baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kebijakan. Kebanggaan dan kepercayaan diri kaum birokrat dimanapun sangat terasa. Itu disimbolkan secara sederhana, dalam pakaian safari, lencana KORPRI yang mengkilat. Namun perwujudan utamanya adalah dalam kenikmatan yang mereka rasakan saat menceritakan peran yang telah mereka jalankan untuk menjadikan Indonesia modern. Pejabat-pejabat militer, sebuah subset dari birokrasi, mengambil bentuk kebanggaan paternalistic serupa dalam keberhasilan mereka memelihara corak ketertiban public tertentu yang dibutuhkan bagi birokrasi untuk menjalankan tugasnya. Selama dua decade terakhir, pemerintah Orde Baru telah mengembangkan sejumlah cara dalam menangani kelompok-kelompok diluar birokrasi. Sebagian dari sarana ini melibatkan parlemen,yang tujuan utamanya adalah untuk mensimbolisasikan ketiadaan oposisi terhadap rezim dan para pemipinnya


BAB VI
Indonesia Adalah Indonesia

Indonesia tidak bertengger dipuncak suatu revolusi demokrati maupun revolusi islam, namun terus menarik perhatian para pengamat Dunia Ketiga. Di antara negeri-negeri padat penduduk yang kaya minyak tidak ada satupun pemerintahan yang berhasil secara ekonomi selain Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto. Sejak 1971, pemilihan-pemilihan perlementertelah diselenggarakan sebanyak tiga kali dan dijadwalkan kembali pada perengahan 1987. lembaga-lembaga pemerintah, organisasi-organisasi partai , dan aturan-aturan kampanye dirancang sedemikian rupa untuk mendukung partai pemerintah. Presiden, kemudian dipilih secara langsung oleh MPR yang kuat yang terdiri dari seluruh anggota parlemen DPR ditambah jumlah yang sama dari anggota-anggota yang diangkat pemerintah, membuat tidak mungkin untuk menggeser suatu jabatan yang sedang dipegang.
Pada pertengahan 1960-an pada masa akhir konfrontasi politik luar negeri dan pengabaian ekonomi domestic di bawah pemerintahan Orde Lama pimpinan presiden Soekarno, GNP Indonesia merosot. Dari akhir 1960-an hingga ketika dilanda resesi dunia, pertumbuhan ekonomi menunjukkan rata-rata 8% per tahun. Untuk mengurangi merosotnya penerimaan ekspor pada awal 1980-an, pemerintah mengambil serangkaian tindakan pengencangan ikat pinggang, termasuk penundaan sampai waktu yang tak terbatas beberapa proyek proyek yang paling prestesius.
Apa yang menyebabkan keberhasilan ekonomi yang relative ini ? sebagian jawabannya terletak pada factor insidentil perorangan, serta kecerdasan Presiden Soeharto yang menginginkan negerinya berkembang dan percaya pada para ekonomnya. Namun dibalik kepribadiannya terdapat banyak keinginan umm. Salah satunya adalah keputusan Yayasan Ford, yang diambil segera setelah kemerdekaan, untuk menginvestasikan pembangunan jurusan ekonomi pada Universitas Indonesia dengan mengirimkan dosen-dosen mudanya yang berbakat untuk belajar ke California dalam rangka meraih gelar Ph.D. kedua adalah ekonomi yang berantakan, dililit inflasi dan tak tersentuh oleh manajemen ekonomi moderns, teknologi, dan modal yang merupakan warisan dari masa Soekarno pada 1966. jendral Soeharto tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan prioritas utama untuk pemulihan perekonomian. Ini menuntunnya pada para ekonom yang merupakan satu-satunya kelompok pemgang kunci yang membuka bantuan asing, investasi dan perdagangan. Variable ketiga yang kritis seringkali diabaikan dalam berbagai diskusi tentang pembangunan Dunia Ketiga di Negara-negara Barat adalah penciptaan suatu system politik yang dapat mendukung peranan penting bagi para ekonom untuk periode waktu yang panjang.



BAB VII
Pembangunan Politik Asia Timur

Pada waktu pasca Perang Dunia II, tertanam kepercayaan bahwa perubahan social pada seluruh tingkat masyarakat adalah sistematis dalam bentuknya dan pararel dalam isinya. Sistematis berarti struktur ekonomi, politik, budaya dan social sangat erat terjalin, sehingga perubahan disegi yang satu memerlukan keterlibatan gerak sebanding disegi yang lain. Paralelisme adalah pandangan bahwa revolusi industri di Eropa merupakan pertanda dan model bagi perubahan social di Negara-negara baru. Dengan demikian, istilah abstrak “pembangunan politik” menunjukkan kesejajaran antara hubungan politik dengan ekonomi dan aspek-aspek lain dari pembangunan.
Apakah gerakan kearah demokrasi yang lebih besar, menelanjangi keinginan-keinginan ilmiahnya sebagai pembangunan politik, merupakan saran yang berguna bagi pemerintah-pemerintah Asia Timur ? menurut kaum liberal barat partisipasi rakyat harus diupayakan di segala waktu dan tempat, dan menempatkannya pada prioritas lebih tinggi ketimbang nilai-nilai lainnya.
Politikus-politikus yang memerintah di ketiga kasus itu, menganggap lawan-lawan masa lalu dan masa kini mereka. Muslim dan komunis di Indonesia, komunis dan sosialis democrat cina, muslim atau komunalis atau sosialis Malaya di Malaysia, Cina kiri dan chauvinis Cina di Singapura. Tidak sesederhana seperti kepentingan-kepentingan yang meminta perwakilan tetapi sebagai musuh yang berupaya menjatuhkan kemapanan tatanan politik dan social.
Apakah mereka benar ? sebaliknya jika beberapa dari kekuatan tersebut diberi hak berpartisipasi dalam system, apakah mereka akan menjadi regu pemain yang jinak ? pertama, kebenaran objektif jarang merupakan persoalan penting, karena orang dapat membuktikan siapa yang menjalankan keuletan. Kedua adalah bahwa kekuatan-kekuatan oposisi sesungguhnya siap bertaruh di dalam system, tetapi pertaruhan ini telah dimenangkan sebagian besar di luar kerangka pranata-pranata perwakilan semacam partai politik dan dewan perwakilan.
BAB VIII
Refleksi Lanjutan Terhadap Kelas Menengah

Perbedaan kepentingan ekonomi yang ada, beragumentasi bahwa kelas menengah Indonesia dapat dikenali secara lebih mpan dalam kaitannya dengan cara berkonsumsi. Hal ini tidak hanya mengacu pada tingkat tindakan mengkonsumsi yang lansung berkaitan dengan timgkat penghasilan, dan juga tidak secara khusus mengacu pada tipe barang-barang konsumsi, seperti barang-barang yang tidak mudah rusak/tahan lama. Sebagian besar orang Indonesia berkeinginan memiliki barang konsumsi modern yang tidak mudah rusak, dan banyak juga yang jelas-jelas bukan tergolong kelas menengah.
Kelas dapat didefinisikan berkaitan dalam kerangka budaya dan nilai bersama sebagaimana kepentingan ekonom bersama, dan kreteria-kreteria ini tidak harus saling mendukung.namun dalam pengertian yang sama, orang tidak boleh mengabaikan keaneka ragaman pekerjaan dari berbagai kelompok social ini mengacaukan keselarasan dari budaya, gaya hidup dan nilai-nilai.
Jadi pokok permasalahan bukanlah pada pemilikan atas barang tahan lama yang dimiliki konsumen, melainkan cara konsumsi mereka. Jstru, hal ini mendasari bagaimana masyarakat berprilaku dan mendefinisikan status mereka dalam kehidupan di kampung sehari-hari, barang apa yang dibagi atau menjadi milik bersama, siapa yang saling berbagi dan dalam kondisi apa pembagian terjadi.
Melalui gaya hidup, masyarakat mewujudkan tingkat kesadaran kelas dalam cara-cara yang sangat praktis. Dalam hal ini, kasadaran tidak mengacu pada penentuan minat aksi politik yang dpat dikenali oleh para marxis. Kesadaran ini cenderung malah malah merupakan identifikasi dengan suatu kelas masyarakat yang menjalankan gaya hidup ala Barat yang modern, yang sampai pada tahap tertentu didasari peranan para model, dan di propagandakan melalui media massa nasional terutama televisi.
Bila dalam rangka pola konsumsi dan gaya hidup terdapat perbedaan yang jelas antara kelas menengah dan “rakyat”, maka akan lebih sulit mengenal “kelas atas”. Walaupun sesungguhnya ada kelompok yang makmur, namun gaya hidupnya lebih menunjukkan gaya hidup orang kaya baru, dari pada gaya hidup aristokratik, berbeda dengan kelas menengah yang sudah lebih jelas tingkatannya dari pada dalam jenisnya. Kesulitan mengidentifikasi nilai kelas menengah disebabkan karena adanya kesamaan sekaligus berbagai perbedaan.adanya nilai suatu komitmen bersama terhadap pembangunan, terhadap pemerataan, dan terhadap kemajuan.
Di Eropa, kelas menengah yang tergolong rendah sangat peka untuk membedakan statusnya dengan kelas pekerja, dan juga secara politis menjadi sangat konservatif dalam menghadapi apapun yang mengancam stabilitas politik.
Penarikan diri dari tugas atau gaya hidup kampung dan partiipasi pemeliharaan kampung oleh kelas menengah, dapat diterima karena adanya factor moral dan perpaduan dan kekuatan agama Islam. Karena hidup di kampung, anggota kelas menengah bawah terlalu dekat dengan rakyat, sehingga tidak dapat dengan tenang menerapkan kaidah islam yang lebih liberal dan modern sebagaimana penghuni di luar kampung. Karenanya kelas menengah bawah terbelah antara sekumpulan nilai yang terbentuk dari cara hidup dan sekumpulan nilai lain yang berasal dari daerah di mana mereka tinggal. Masalahnya adalah system nilai rakyat yang diikuti oleh sanksi agama, membentuk kekuatan moral yang memberikan mereka sekumpulan nilai yang bertentangan dengan kelas menengah di kota. Bila pembangunan berjalan lancara sehingga sanggup mempertahankan standar hidup dan kemajuan kelas menengah, maka tampaknya kelas menengah-atas akan tetap menjadi kelompok penguasa, yang memiliki desakan kepada professional dan intelektual di tingkat menengah




BAB IX
Pemilikan Dan Kekuasaan Di indonesia


Kemerdekaan Indonesia ditandai dengan melemahnya posisi kelas menengah Persoalan, dengan berbagai pendekatan terhadap masalah tersebut adalah bahwa mereka mengasumsikan bahwa jalinan kausal antara pemilikan dan kekuasaan politik, beroperasi dalam cara yang secara esensial sama di Indonesia dan dimasyarakat lain di asia dengan yang berlangsung dibarat, kendatiun jelas bahwa diindonesia kata pemilikan itu sendiri tidak mengandung banyak konotasi dan landasan hokum yng telah lama mencirikannnya disebagian besar masyarakat barat. Dan system politik Indonesia sendiri merefleksikan kenyataan itu dalam karakter yang mendasar, yang berarti bahwa sumber utama dari kewenangan politik dan beragam bentuk kekayaan adalah sangat terkonsentrasi dipuncak system politik / ekonomi, pada derajat yang sangat jarang dapat dijumpai disistem pluralistic dan kapitalis konfensional. Dibarat, orang tidak perlu menjadi marxis untuk menerima proposisi umum bahwa secara keseluruhan uang membeli kekuasaan, sementara Indonesia lebih sering dijumpai sejak 1945 bahwa kekuasaan membeli kekayaan.

Sejumlah Persoalan Analitis
Awal 1980an, sebagian besar dari isu yang sama kembali saya hadapi ketika saya melakukan studi mengenai pola – pola perubahan social diberbagai daerah pedesaan jawa. Dua gejala pantas mendapat perhatian khusus. Pertama adalah bahwa kelas kulak yang semula diantisipasi ternyata tetap tak lahir. Kedua adalah bahwa tetap sulit ditahun 1980an untuk mengidentifikasi siapa yang merupakan elit regional, atau kelompok kunci pemegang kekuasaan, dikabupaten atau propinsi manapun dijawa.
Pemilikan lahan dihampir semua daerah diindonesia sangat tersebar tidak terkosentarasi disejumlah kecil tangan. Generalisasi umum bahwa penguasaan pemilikan didominasi oleh satu atau beberapa kelompok, baik kalangan asing atau keturunan cina atau birokrat politik, sirng kali mengabaikan hal elementer bahwa tanah masih tetap merupakan bentuk pemilikan terpenting dinegeri ini dan hanya sedikit orang – orang tersebut yang memiliki banyak tanah.
Di Indonesia, kita hampir tidak dapat menemukan pola yang dapat dibandingkan dengan pola – pola penguasaan lahan luas yan digandakan dengan tingkat penyewaan yang tinggi yang menjadi cirri Filipina dan Amerika Latin. Adalah mungkin bahwa stratifikasi social mulai muncul diwilah pedesaan Indonesia dan mungkin pula bahwa sejumlah corak simbiosis kelas baru muncul dikalangan kaya desa dan para pejabat kota yang telah lama menjadi elemen kunci dalam kelas menengan di banyak kota kecil dipinggiran kota Indonesia.

Sektor Negara : Peran Paradoksal
Pengambilan keseluruhan asset ini yang berlangsung bersamaan dengan hadirnya ediologi yang sangat anti kapitalis pada era 1950an, menguatkan keyakinan yang telah ada secara umum bahwa semua sector strategis ekonomi harus ditempatkan dalam genggaman Negara dan bukan dalam genggaman bisnis swasta baik dalam maupun luar negeri. Bahkan pada kenyataanya, adalah pada tahun – tahun pertama pada 1967 dua buah perusahaan yang paling massip dan kontropersial menjalankan peran komersial mereka yang terkemuka, mereka tentu adalah Bulog dan Pertamina.
Cirri paradogsal dari perusahaan – perusahaan Negara adalah bahwa para bosnya, secara mengejutkan nampak memiliki hanya sedikit pengaruh penentuan strategi atau kebijakan ekonomi Negara secara keseluruhan. Mereka cenderung menjadi para penerima pasif atau hanya sekedar instrument pemerintah ketimbang menjadi pemberi bentuk yang aktif dan berpengaruh.



Pengaruh Politik Modal Asing.
Peran modal asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia pasca 1965 telah merupakan factor yang sangat penting. Dua butir penting perlu mendapat perhatian seksama, pertama adalah bahwa modal asing tidaklah memperagakan pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemerintah. Ladang utama infestasi asing adalah minyak dan gas. Kedua adalah kenyataan bahwa perusahaan asing kini sedemikan rentan secara politiklah menyebabkan ia menguntungkan bagi pemerintah Indonesia.

Cina Indonesia
Ada dua hal yang sangat mengecewakan dari pandangan mengenai ornag cina di Indonesia, yaitu : Pertama, perusahaan bisnis cina belum mampu mendominasi semua puncak komando ekonomi Indonesia pada derajat seperti dijalankan belanda dulu. Kedua, mereka memiliki hanya sedikit pengaruh atau kekuatan politik, sementara perusahaan – perusahaan perkebunan dan perdaganan belanda memiliki peran politik yang luar biasa. Tak ada cina di Indonesia yang dapat berharap untuk memaikan peran politik secara berjarak yang dapat dibandingkan dengan tahun 1970an.
Tida butir lain penting diperhatikan mengenai cina sebagai borjuasi potensial Indonesia dalam perbandingan dengan rekan – rekan sejawat cina thai mereka. Pertama, infestasi mereka dalam cakrawala waktu hamper semua bersifat jangka pendek. Kedua, dalam ratusan kota yang tersebar diseluruh Indonesia baik kota kecamatan atau kabupten dimana cina adalah lebih terkemuka sebagai kelas bisnis dari pada dijakarta, medan atau Surabaya, mereka cendereung terkemuka dlaam dua corak aktivitas: pengembangan proverti dan bentuk – bentuk yang lebih mensyaratkan keahlian dari industri kecil dan perdagangan

Kesimpulan : Kelembekan Kelompok Kepentingan
Kelompok kepentingan ekonomi tak terstruktur secara memadai dan hamper – hamper tak memiliki pengaruh politik sama sekali. Tidak tak dapat membandingkan Kadin sebagai organisasi loblying dan kelompok kepentingan yang serupa di amerika dan Australia. Sementara kelompok – kelompok kepentingan bertarap lebih rendah seperti asosiasi pengusaha tekstil, atau asosiasi penggilingan karet memiliki kekuatan yang lebih tidak signifikan.
Penyebab dari kelembekan yang menarik perhatian dari kelompok kepentingan Indonesia ini, saya percaaya harus kembali dilacak dalam domain politik dan ediologi cultural ketimbang pada sisi ekonomi ataupun structural. Para pengelola karet, penghasil gula, produsen tekstil memang memainkan peranan ekonomi penting dalam ekonomi nasional dalam ekonomi keseluruhan sehingga kita mungkin menduga bahwa mereka dapat mengorganisir diri untuk bertindak secara politis sebagai kelompok – kelompok lobyis namun nyatanya mereka telah menjalankannya hanya untuk derajat yang sangat kecil. Penjelasan terhadap anomaly ini dapat ditemukan dalam dua pertimbangan. Pertama, adalah karakteristik rezim yang bersifat patrimonialis.


BAB X
Uang dan Kelas Menengah

Siapa Kelas Menengah ?
Borjuis merupakan konsep yang cukup terbatas, mengacu hanya kepada kelas kapitalis, kelas pemilik kekeyaan yang agaknya merupakan sub kelompok dari kelas menengah sampai orang yang mempunyai keinginan yang mendefenisikan sebagai bagian dari kelas penguasa yang memang terpisah dari kelas menengah.
Crouch menyimpulkan bahwa atas dasar pekerjaan dan gaya hidup, bahwa kurang dari 5 % penduduk Indonesia termasuk kelas perkotaan yang mampu yang berarti 7.3 juta orang pada tahun 1980an atau secara kasar 1.6 juta rumah tangga ( dengan asumsi tiap rumah terdiri dari 4 – 6 orang ).
Crouch juga mencatat bahwa 8.9 % dari seluruh rumah tangga memiliki sepeda motor,5.6 % televise, 2.1 % memiliki mobil. Jika kita menyetujui jika kepemilikan televise layak dipercaya sebagai indicator status kelas menengah, secara relative beberapa keluarga kelas menengah perkotaan memiliki tidak hanya satu, dipihak lain jika mengangap sepeda motor menjadi indikatornya minimal status kelas menengah maka batasan paling tinggi

Cara Memperkirakan Jumlah Kelas Menengah
Ada empat pendekatan yang digunakan yaitu :
1. Bukti Dan Kategori – Kategori Pekerjaan
Crouch tentulah benar bahwa relative sedikit tenaga usaha penjualan atau staf tata usaha yang dapat diidentifikasikan sebagai kelas menengah, tetapi tanpa memiliki indicator status yang tepat kita tidak mempunyai dasar memperkirakan proporsi yang relevan untuk setiap kategori
2. Fraksi Kelas Menengah Penduduk Perkotaan
Kita dapat memeriksa kembali setiap perkiraan yang telah kita buat tentang ukuran dari kelas menengah perkotaan dengan landasan diatas pada rujukan proporsi yang dihasilkan nya sehingga diketahui mengenai jumlah penduduk perkotaan. Hampir bias diasumsikan bahwa jelas sekali bagian terbesar dari kelas menengah kota Indonesia bermukim dikota besar .
3. Etnis Cina Dan Pegawi Negeri
perkiraan jumalah etrnis cina di Indonesia tahun 1980an sekitar empat juta orang, tetapi tidak semuanya berada dikelas menengah atau penghuni kota apapun penilaiannya. Tidak semua penghuni kota besar bermukim dikota besar yang tentu saja merupakan tempat utama kelas menengah perkotaan namun hamper pasti proporsi yang sangat besar dari mereka sekitar 600.000 keluarga .
4. Pendekatan Penghasilan Pengeluaran
Pada prinsipnya adalah mungkin menentukan tingkat panghasilan atau pengeluaran nasional untuk memperkirakan status kelas menengah diberbagai kota dan kemudian terlihat data yang oleh berbagai survey pengelauaran susenas membuktikan persentase orang diwilayah perkotaan yang melampaui jumlah tersebut,

Kelas Menengah Atau Borjuasi
Karakteristik – karakteristiknya seperti :
1. Ia adalah kelas yang dalam terminology marxis, mengandung defenisi yang tepat sebagai kelompok kohesif orang yang diikat secara bersama oleh hubungan yang sama dan distingsif dengan alat – alat produksi atau setidaknya memasukan beberapa ikatan bersama kesadaran dan solidaritas kelas.
2. Ia kelompok yang memiliki atau mengontrol cadangan modal atau pemilikan lain yang besar atau kelas yang menjalankan kekuasaan control terhadap modal tersebut dalam sector ekonomi modern kapitalis melalui kombinasi kepemilikan dan pengelolaan.
3. Ia kelompok yang berpengaruh secara politik dalam banyak hal, mampu melakukan daya ungkit yang efektif terhadap kebijakan pemerintah yang relevan terhadap kepentingan investasi mereka.

Sumber – Sumber Kekayaan
Secara konseptual kita dapat mengatakan bahwa tingkat pertumbuhan kelas menengah setidaknya berkaitan dengan variable – variable berikut ini :
1. Derajat urbanisasi di Indonesia yang meningkat dari kurang 6-7% sebelum 1930 menjadi 22% tahun 1980.
2. Perluasan pendidikan khususnya pendidikan menengah dan kejuruan dimana sebagian besar kelas menengah adalah kaum terdidik.
3. Perluasan industri manufaktur dan tersier serta tingkat lapangan kerja mereka.
4. Pemilikan rumah mewah khususnya diperkotaan
5. Penghasilan – penghasilan bisnis dari kegiatan komersial dan industri
6. Penghasilan investasi tetapi ini menjadi vaksi yang sangat kecil di Indonesia
Pertumbuhan Pesat Dan Kelas Menengah
Karena jalan perkembangan sebagaian besar negeri – negeri di asia timur yang pertumbuhannya pesat pada dasarnya adalah kapitalis, kita yang berada dibarat cenderung berpikir tentang kapitalisme dari sudut pandang bahwa kelas menengah atau borjuasi yang mendominasi kehidupan social ekonomi, mengubah masyarakat menurut bayangan mereka, untuk menggunakan prasa dan lev. Dan membangun semacam keharusan dan kondisi yang mencakupi bagi pembangunan ekonomi. Secara umum diasumsiakan bahwa borjuais adalah kelas pemupuk dan penanam modal. Tentu saja asumsi ini khalayan bahwa setiap bangsa harus mengikuti jalan pertumbuahan dari setiap seperti di barat.



BAB X1
Komentar Tentang Konsep Uang Dan Kelas Menengah

Status social dan segala atribut yang menempel padanya adalah sangat penting. Eksistensi pedagang bebas dan kaya atau kelas pengusaha bias ditolelir oleh pejabat – pejabat militer atau sipil yang berkuasa kecuali jika mereka sendiri mempunyai akses kepada kekayaan yang lebih besar, yang diwujudkan dalam bentuk tanda – tanda kebesaran modern atau sebagai atribut status. System kasta tradisonal tidak mengizinkan pedagang pada kasta ksatria sipil atau militer. Cara mudah untuk mendapatkan kekayaan masyarakat dengan pendapatan yang tetap adalah tak perlu dikatakan melalui praktek korupsi yang tidak mengherankan tetap dapat diterima dalam suatu masyarakat dimana prinsip timbale balik atau utang budi masih sangat dihargai, meskipun kini semakin hari semakin memudar.
Manakala masyarakat terbiasa pada aturan permainan untuk saling memberi ganjaran, manakala korupsi telah menjadi membudaya atau melembaga, sangat bias dipahami bahwa aliansi yang sudah berlangsung antara penguasa politik , pedagang cukong paria dan para investor modal asing menjadi kuat, sementara disekeliling mereka kini ada tiga kelompok , seperti semut – semut yang mengelilingi madu dan gula, yang bergabung adalah para teknokrat , professional, intelektual dan sebagainya.
Dalam keadaan begini akan sangat sulit untuk menentukan suatu defenisi kelas menengah Indonesia yang jelas, khususnya jika seseorang mempunyai gambaran dalam benaknya tentang borjuais weberian yang gila kerja yang pada kenyataanya telah menjadi pencipta dan pembawa kebudayaan kapitalis eropa.


BAB XII
Kelas Menengah Sebagai Kekuatan
Politik Di Indonesia

Kelas menengah diartikan sebagai suatu kelas yang mencakup kelompok – kelompok social yang berkembang, yang dianggap berada diantara buruh dan petani atau kelas bawah disatu pihak dan kelas berkuasa apakah itu feudal atau kapitalis dipihak lain. Masyarakat menengah dalam pandangan ini memiliki keterampilan, relative kaya, dan memiliki nilai – nilai individualis, materialisme, sekularisme dan rasionalisme.

Konsep Kelas Menengah Weberian
Dalam tradisi weberian kelas didefenisikan dalam bentuk posisi pasar yang berkaitan dengan hak pemilikan, kesejahteraan dan kesempatan – kesempatan hidup daripada sebagai bentuk terhadap alat – alat produksi. Weber adalah orang pertama yang mengklaim bahwa meluasnya kapitalisme dan munculnya kapitalisme industrial secara khusus membutuhkan suatu system politik dan otoritas birokratik yang rasional dalam rangka untuk memungkinkan terjadinya akumulasi capital.
Pengadopsian pemikiran weber membawa beberapa perbedaan yang penting dari tesis orisinil weber. Pertama, penekanan yang berlebiahan terhadap keunggulan budaya sebagai agen perubahan dan pengabaian factor – factor material sebagai kekuasaan penggerak. Kedua, sementara weber memandang rasionalisasi wewenang dan ekonomi mendorong kepada ramalan mengenai korporasi dunia dan borokrasi serta pengasingan individu, maka kaum liberalis memandang kekuatan ini sebagai membebaskan individu dan memperkuat demokrasi.
Namun demikian ada persoalan utama dalam pandangan kelas menengah ini. Pertama, sementara kelas menengah dilihat sebagai himpunan identitas yang koheren menurut status sosialnya, posisi materialnya dan peranannya sebagai kelompok rasionalis, maka terdapat keraguan yang serius akan peran mereka sebagai pembawa nilai – nilai individual, kemerdekaan dan demokrasi. Kedua, jika istilah menengah dan kelas adalah untuk mengartikan suatu yang lain, maka penguasa politik Negara dan pemegang kekuasaan ekonomi dalam beberapa hal harus dibedakan dari kelas menengah bahkan jika mereka mungkin dilihat sebagai pembawa nilai – nilai budaya rasional dan sekuler yang sama sebagaimana kaum professional bergaji menengah dan kelompok – kelompok wiraswasta.

Kelas Menengah di Indonesia
Pengamatan yang dilakukan Horward Dick mengenai maslah kelas menengah diletakan pada dua aspek. Pertama, proses pormasi capital diantara kelas kapitalis kecil yang baru muncul benar – benar merupakan suatu konderensi bagi suatu basis lama didalam dalam birokrasi dan desa. Kedua, melihat kelas menengah baru dalam arti pola k- pola konsumsi dan tingkah laku social.
Kelas kapitalis diindonesia bukan merupakan entitas monolitik dan tidak dapat dibedakan, terbagi antara modal industrial, financial dan pedagang asing dan domistik, cina dan pribumi, skala besar dan kecil, maka kelas menengah merupakan entitas yang kompleks dan beraneka.

BAB XIII
Kelas Menengah Santri :Pandangan Dari Dalam

Beberapa hal yang mendasar dalam pembicaraan tentang kelas menengah di Indonesia. Yaitu adanya kesepakatan mengenai kekaburan istilah itu sendiri. Bahkan bagi Jamie Mackie kaegori kelas dipakai hanya dalam pengertian sehari-hari yang longgar, sementara Robison menganggap bahwa borjuis nasional sama sekali gagal untuk muncul.
Namun dengan munculnya budaya kelas menengah (middle calss culture) yang (mengutip H.W. Dick) sangat jelas di Jakarta dan sedang dalam proses menjadi budaya nasional serta menjadi topic dalam pembicaran masyarakat akhir-akhir ini. Kompas misalnya, baru-baru ini muncul publikasi mengenai kaum profesinal di Jakarta. Serta Prisma misalnya, mengangkat isu-isu lama seperti percaturan politik antar generasi dan peran intelektual. Akhirnya terdapat kesepakatan mengenai asal-usul kelas menengah baru yakni dari keluarga priyayi disatu pihak dan dipihak lain dari petani-petani kaya dan pedagang-pedagang kecil ekonomi bazaar dengan mengecualikan golongan Cina dalam hal ini
.
1. Rekrutmen Priyayi
Keluarga priyayi kelihatannya menjadi menonjol sebagai sumber rekrutmen dengan kecenderungan dalam bidang ekonomi dan pentingnya pendidikan sebagai jalan utama menjadi anggota kelas menengah.
Ini menunjukkan perhatian masyarakat terhadap konsumsi mereka yang berlebihan dan ketidakacuhan terhadap tangung jawab sosial. Mungkin ini merefleksi dari non-afiliasi setiap partai politik, walau bisa diartikan kekecewaan mereka terhadap sistem politik sekarang. Mereka tidak mau mengambil resiko serupa dengan lazimnya asal-usul priyayi mereka. Ini menggambarklan pada aristokrasi Geertz, bergerak ke ekonomi bertipe firma dengan mengambil keuntungan dari posisi kekuasaan dan monopoli, hal ini mendorong pembentukkan feodalisme industri.
2. Rekrutmen Santri
Dalam sektor ekonomi, Negara tetap dominan sementara swasta berada pada monopoli Cina dan sedikit pengusaha kliennya. Hal ini tidak memberi jalan keluar bagi ekonomi bazar mengubah dirinya menjadi model ekonomi firma. Untuk berperan dalam transportasi tersebut mereka mengirim anak-anak, laki-laki dan perempuan ke sekolah-sekolah modern supaya mendorong mereka masuk dalam keanggotan kelas menengah. Ternyata ini bukan transformasi dari ekonomi bazar ke ekonomi modern melainkan “pemborjuisan” anak-anak kaum santri atau priyayisasi santri.
Dari lapisan menengah atas kelompok santri priyayi, banyak dijumpai pada posisi strategis berbagai departemen dan BUMN. Banyak dari mereka merupakan bekas aktifis-aktifis mahasiswa yang jeli meniti posisi strategis mereka melalui sistem patronase. Sementara anggota lainya adalah rekrutmen baru yang menanjak posisinya melalui akses alumni dan organisasi kemahasiswaan berdasarkan pada loyaliatas kelompok santri.
Lapisan selanjutnya diisi kaum professional seperti, para eksekutif, manager, ahli teknik, konsultan, akuntan dan pengacara. Mereka menduduki sebagian besar karena keahlian dan pendidikan dan tidak melalui patronase dan birokrasi Negara. Sementara lapisan menengah tengah, dapat dmasukkan kaum intelektual dan masyarakat pers secara umum. Kaum professional bebas misalnya pengacara dan dokter, fungsionaris LSM, juga pegawai negeri sipil menjabat esolen tiga dan empat.
Dalam lapisan menengah bawah dapat memasukkan kelas menengah bawah urban seperti pegawai menengah rendahan, buruh pabrik, dan mereka yang bekerja di bidang angkutan dan jasa-jasa urban lainya. Namun menggunakan kriteria seperti tingkat pendapatan, pola konsumsi dan gaya hidup merupakan kategori yang masuk akal. Lapisan atas biasanya tinggal di pemukiman kota yang bagus, pada lapisan menengah bawah tinggal di pemukiman baru yang murah sedangkan lapisan menengah tengah tinggal diantara keduanya yaitu dirumah-rumah bagus di kampung-kampung.
3. Perubahan Pandangan : Tema-tema Liberal dan Radikal
Ketika mereka mengalami priyayisasi, anggota kelas menengah santri mengubah sebagian pandangannnya. Mereka memilih untuk bersikap lebih harmonis, menerima sistem secara damai, kurang radikal, kurang fanatik terhadap umat karena untuk mendelegitimasikan posisi representasional mereka dalam sistem. Mereka lebih toleran dan berhati-hati dalam meniru symbol-simbol kelas menengah dan pola konsumtifnya. Dan dalam internal mereka cenderung bertahan dan memelihara solidaritas kelompok santri.
Bagi lapisan menengah tengah, lapisan atas itu melangkah terlalu jauh, bertindak lebih dari agen-agen birakrasi dari pada sebagai wakil umat. Laisan ini kurang radikal karena banyak belajar mengenai akibat dari sikap-sikap non-kompromis atau radikalisme yang premature, yang tidak menguntungkan cita-cita Negara Islam. Mereka lebih liberal, terbuka terhadap interperasi dan tidak ada wewenang interperasi tunggal secara internal konflik antara keyakinan Islam modern dan keyakinan tradisional dapat disurutkan bahkan menghapus garis pembatas antara abangan dan santri.
Dengan disfungsi partai politik kelas menengah santri memelihara hubungan umat melalui saluran lembaga-lembaga dan organisasi-orgnisasi keagamaan dan organisasi pengembangan masyarakat. Lapisan tengah menengah ini terlihat malu-malu, mereka mengkritik tetapi dengan kelihatan yang kontruktif dan non-oposisi agar tidak diinterpretaikan kelompok elite sebagai pihak yang menentang.
Kelompok radikal jumlahnya sedikit tapi efektif dalam mengendalikan jaringan jemaah masjid tertentu. Melalui pertemuan keagamaan, latihan dan meluaskan pengaruhnya diantara para pelejar-mahasiswa dan generasi muda yang memerlukan spiritualitas dan alternatif terhadap situasi perubahan-perubahan social yang membingungkan. Mereka mengaspiratifkan ketaatan terhadap doktrin-doktrin Islam bukan cita-cita Negara Islam sebagai symbol melawan Negara sekuler.


BAB XIV
Komentar terhadap Aswab Mahasin
Kelas Menengah Santri : Pandangan dari Dalam

Diketahui bahwa struktur politik parlementer memliki ketimpangan yaitu sesuatu yang intinya non Jawa atau bahkan mungkin non Indonesia. Keseimbangan yang stabil dan kemanunggalan adalah nilai-nilai yang didambakan masyarakat Indonesia.
Sikap ketidakacuhan golongan menengah terhadap tanggung jawab social Mahasin mengatakan bahwa ini ‘mungkin terefleksi dari sikap non-afiliasi mereka setiap partai politik, walaupun ini dapat diartikan bahwa mereka kecewa dengan sistem poltik yang ada sekarang atau juga mereka tidak mau mengambil resiko dalam mengambil permainan yang berbahaya tersebut’.
Dengan ini dari kenyataan bahwa pemerintah, kelompok sipil dan kekuatan militer menyadari akan kelebihan kekuatan. Maka PDI dan PPP mengalami deislamisasi, bergabung dalam kesatuan ksatuan politik sebagai partai pengontrol dan pengoreksi, sebagai Partai Pengimbang berhadapan dengan Golkar dalam tipe hubungan yang serasi.


BAB XV
Birokrat Menengah, Petani Menengah, Kelas Menengah?
Dimensi Ektra- Perkotaan
( Kennet Young )

Peranan klasik Negara dalam sebuah masyarakat kapitalis yang ideal adalah non-intervensi disamping menjaga kondisi-kondisi repropruksi kapitalis, kepemilikan pribadi, kebebasan membuat perjanjian, pasar dan lain-lain. Negara turut campur sebagian besar atau sedikit pada seluruh perekonomian kapitalis. Dalam kondisi demikian lapisan menengah sebagian penduduk pedesaan berkembang, dalam pengertian mereka bukan borjuis ataupun buruh tanpa tanah. Sementara mereka yang memiliki penampilan, gaya dan pola konsumsi yang kita bisa asosiasiakan dengan kelas menengah kota sedikit memiliki subtansinya.
Kelas menengah menurut angaka masih tetap lemah dan secara politis pengaruhnya relative dianggap tidak berarti dalam pembuatan kebijakan nasioanal (Crouch 1984: 82,84). Kemunculan kelas-kelas menengah merupakan fenomena-fenomena kesejarahan yang meluas, kelompok-kelompok yang memiliki derajat otonomi ekonomi dan politik yang penting vis-à-vis otoritas politik, dan secara pasti menancapkan bentuk-bentuk politik yang melindungi posisi mereka telah berlangsung dalam kondisi-kondisi yang dicirikan oleh tatanan social kapitalis.
Dengan menggunakan aliansi-aliansi politik seringkali menajadi peralihan pekerjaan untuk membuka jalan masuk dalam saluran dan perluasan kegiatan ekonomi yang diatur oleh Negara. Proses pengayaan elite-elite desa sebagai sebagai jauh telah dimanfaatkan untuk memperlakukan kembali banyak keunggulan struktur lama yang masih terus menyesuaikan diri pada patronase ketimbang mengejar kesejahteraan individu yang otonom dalam pasar yang impersonal. Jika ada kelas menengah di luar kota-kota, jumlahnya tetaplah kecil dan lagi pula memilki berbagai ciri tunggal yang sama dengan hal yang paling berharga ialah keanekaragaman pengalaman lokal.

Kelompok-kelompok Dominan dan Menengah di Pedesaan Jawa
Rumah tangga, keluarga, kerabat dan sanak saudara, klien dan hubungan-hubungan elite politik seringkali berdekatan sehingga tidak bisa dibedakan dengan elite ekonomi. Inti aparat-aparat Negara di pedesaan ialah pejabat-pejabat pemerintahan regional dan lokal, pegawai-pegawai dari departemen dalam negeri. Berbeda namun bertalian intim dengan dengan mereka ialah pamong-pamong desa yang dipimpin oleh lurah.
Walaupun demikian personel Negara tidak hanya terbatas pada pemerintahan kabupaten, kelurahan, dan desa. Jumlah mereka sepadan dengan hirarki pararel militer dan kepolisian. Kemungkinan anggota-anggota kelas menengah masyarakat yang paling jelas adalah angota-anggota lingkup profesi seperti guru dan pekerja-pekerja diluar pertanian (Lev,1989).
Sementara pada sistem bengkok, tidak satupun dari selain pamong desa khususnya lurah, pejabat-pejabat desa, saudara dan kerabat mereka kerap kali secara kedinasan maupun pribadi menguasai banyak tanah dan menguasai aset-aset lainya serta mendekati lapisan kaya. terakhir.

Hadiah Berkilauan
Beberapa posisi didalam Negara lebih diinginkan ketimbang lainya, setiap orang di Indonesia mengetahui apa yang dimaksud dengan jabatan basah. Hadiah berkilauan ini dapat membuat seseorang menjadi kaya. Oleh karena pengeluaran Negara dan kegiatan ekonomi berdampak besar terhadap ekonomi desa, sumber-sumber alternatif akumulasi modal sawasta di pedesaan mungkin merupakan kekuatan ekonomi yang dominant. Konservatisme kelas menengah dalam banyak masyarakat mungkin berhubungan dengan meluasnya kesadaran bahwa keuntungan-keuntungan mereka berkaitan dengan tatanan yang sedang berlangsung (dan kekawatiran akan biaya transisi Di Indonesia, pendidikan secara sosial penting sekali artinya dan merupakan kunci untuk memasuki banyak kedudukan kelas menengah

Kelas Menengah dan Pemilikan Pribadi
Keunikan personel Negara dan kelas menengah baru didalam struktur menyeluruh masyarakat telah mendapat banyak perhatian. Analisa kelas karenanya terpusat pada masyarakat sipil (civil society), serta sector swasta dan pasar baik yang berasal dari Marx ( hubungan-hubngan apropriasi dalam produksi sosial dan hubungan-hubungan dominasi) atau dari Webber (peluang-peluang pasar).
Dalam memperhatikan Indonesia maka terlihat berbagai jaringan pribadi yang rapat antara personel elite Negara dengan pemilik atau pengusaha perusahaan-perusahaan terbesar dan yang paling menguntungkan. Hal ini berarti bahwa regulaisi ekonomi teknokratis mengenai kepentingan-kepentingan modal secara umum sangat sulit. Birokrat politik (politicio bureaucrats) yang terlibat sangat jauh dalam proses akumulasi modal dan kelompok-kelompok borjuis yang mengendalikan sector ekonomi vital yang mampu memaksakan kepentingan-kepentingan kolektif mereka atas Negara, baru saja muncul
Dengan ini jika sseorang merujuk kelas-kelas menengah sepanjang berkenaan dengan kelompok professional, intelektual, borjuis kecil dan petani-petani menengah juga perlu dimasukkan kedalam posisi birokrat Negara tingakat menengah. Jika karakter swasta dari situasi social dan budaya mereka relatif lemah, begitulah yang diharapkan, maka posisi kelas-kelas sawasta secara umum lemah didalam proses reproduksi struktur keuntungan yang telah mapan.

Implikasi-implikasi Politik
Pertumbuhan keals menengah Indonesia menjadi berpengaruh secara politis, tentunya mereka akan melakukannya ditempat-tempat mereka tumbuh. Perubahan-perubahan tidak akan terjadi dari sudut pandang perluasan jumlah kelas-kelas menengah tetapi perubaha-perubahan dapat berjalan untuk menggantikan kepentingan-kepentingan swasta dan koneksi Negara yang relatif kuat.
Munculnya persekutuan yang dominan telah dimungkinkan karena pendapatan-pendapatan pemerintah telah tumbuh pada tingkat yang tidak diperkirakan sebelumnya tanpa meningkatkan jumlah penarikan pajak pertanian (dan sector-sektor nonektrakrif lainya) secara besar-besaran. Hal demikian pasti berdampak terhadap berbagai program pembangunan pedesaan dimana pemerintah sangat menyandarkan klaim keabsahannya.
Hadir pula tantangan lain, tekanan jumlah penduduk di pedesaan Jawa tak bertanah semakin tinggi dan meningkat. Jenjang pendidikan dengan lulusan yang dikembangkan secara besar-besaran sedangkan lapangan kerja merupakan persoalan mendesak yang harus segara dipecahkan. Adalah mungkin dengan tetap mengingat adanya beberapa inisiatif politik yang sulit, untuk menyerap sejumlah pertanian produktif yang penting, mesti mengharuskan juga dilakukannya tindakan yang bertentangan dengan kepentingan anggota-anggota elite pedesaan


BAB XVI
Profesional Muda Jakarta Gaji Jutaan
Kerja Keras Kurang

Professional dengan berbagai ketrampilan dan kahliannya, kini mempunyai posisi yang kuat baik dalam masyarakat maupun kalangan dunia usaha juga karena lobby-lobby mereka lewat organisasi profesioanal yang juga cukup diperhitungkan dengan sebagian dominan dari kelas menengah Lewat penelitian penjajakan yang dilakukan Kompas yang terbatas di kalangan professional muda kota Jakarta ,Dengan 70 responden menggunakan kuiesioner dan diikuti wawancara mendalam. Dan menggunakan indicator penelitian yakni pendidikan dan pendapatan terdapat indikasi karakter khusus. Hampir seluruh responden mengecap pendidikan tinggi : 20,9% sarjana muda, 64,7% sarjana penuh, 7,3% pasca sarjana dan hanya 7,3% berpendidikan sekolah lanjutan atas serta tak seorangpun berpendidikan dibawahnya.
Ada indicator lainya dalam gambaran professional muda Jakarta yaitu menggunakan waktu libur, waktu senggang pilihan rumah makan dan musik ataupun film kesenangan mereka. Lebih dari separuh responden mengatakan pernah berlibur keluar negeri, 21,9% sering (satu atau dua kali per tahun), dan 37,5% kadang-kadang. Rumah makan favorit, lebih dari seperempat (35%) memilih rumah makan berciri dari negeri barat seperti American Hamburger. Dan menggunakan waktu luang untuk berolahraga memilih bowling (32%), golf (28%), tennis (20%), driving (12%), dan main radio CB (8%). Yang menarik kemudian bagaimana nilai-nilai social yang hidup setelah itu. Adanya pertarungan, tekanan nilai-nilai tradisional dan desakan nilai baru yang membonceng simbol-simbol barat tadi.


BAB XVII
Pernyataan Pada Konferensi
Tentang Politik Kelas Menengah Indonesia

Banyak defenisi kelas menengah tidak memperhitungkan perempuan. Semuanya didasarkan terutama pada jenis pekerjaan dan ditambah kriteria pendidikan, jumlah pendapatan dan ideology yang hampir dilihat kaitanya dengan kedudukan laki-laki dialam masyarakat.
Selama konferensi telah menelaah beberapa alasan mengapa konsep kelas menenga menjadi suatu konsep yang komplek latar belakang Indonesia. Oleh sebab itu perlu diajukan beberapa patah kata mengenai ini. Bagaimana kehadiran perempuan pasti mempengaruhi konsep kelas di masyarakat manapun, termasuk di Indonesia dan kemudian mengajukan beberapa pertanyaan tentang signifikansi politik kaum perempuan didalam kelas menengah di Indonesia.
Dalam hal politik kelas yang menjadi topik pembicaraan Yaitu yang pertama Politik hanya dilihat kaitanya dengan pemegang tampuk kekuasaan. Perubahan kelas akan mengubah watak suatu Negara, apakah akan membangkitkan tantangan didalam diri para pejabat tinggi pemerintah (penguasa). Dan yang ke dua yaitu Agenda politik kelas menengah secara histories ditentukan oleh kaum lelaki, tapi jika perempuan menyumbang sesuatu misalnya yang berhubungan undang-undang perkawinan atau pemeliharaan anak dan dianggap sebagai permasalahan perempuan atau kurang penting dibanding persoalan-persoalan politik.

Tidak ada komentar: