Kamis, 08 Mei 2008

Prasyarat bagi Stabilitas Masyarakat Majemuk
Oleh: Budi Rajab


Pluralitas masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri karena sudah memiliki akar historis yang panjang. Penduduk yang menghuni kepulauan Nusantara ini sejak berabad-abad lalu memang beragam dari sisi etnik atau kebudayaan, agama, dan ras.

Dan Sabang sampai Merauke ada lebih 300-an suku bangsa, yang menganut agama yang berbeda. Bahkan, ada kelompok etnik tertentu yang identik dengan agama tertentu, umpamanya orang Melayu identik dengan orang beragama Islam, sebagaimana halnya orang Minahasa identik dengan beragama Kristen. Tetapi hubungan langsung antara kelompok etnik dan agama itu tidaklah mutlak, karena orang Jawa umpamanya meskipun mayoritas beragama Islam, ada pula yang menganut Kristen (Katolik dan Protestan), demikian pula dengan orang Batak dan orang Maluku, ada yang Kristen ada yang Islam.

Di samping itu, ada pula kelompok-kelompok masyarakat yang masih memegang sistem kepercayaan (belief system) tradisional yang tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri. Kelompok masyarakat ini belum menganut agama formal yang diakui pemerintah, mereka umumnya bermukim di daerah-daerah pedalaman yang dikenal dengan istilah masyarakat terasing (tribal society).Dari segi ras juga menampakkan adanya perbedaan. Di samping ras Melayu yang sudah lebih lama menetap dan yang jumlahnya paling besar, ada juga ras-ras lain seperti Cina, Arab, India, dan sedikit keturunan Eropa, yang juga sudah beratus-ratus tahun lalu menetap dan mencari nafkah hidup di tanah Nusantara ini.

Bila kita merujuk pada berbagai peristiwa konflik yang terjadi sejak memasuki pertengahan tahun 1990-an hingga sekarang ini, mulai dari Situbondo di Jawa Timur, Tasikmalaya, Rengasdengkiok, dan Karawang di Jawa Barat; Senggau Ledo, Santas, dan Singkawang, di Kalimantan Barat; Ketapang di Jakarta; Kupang di Nusa Tenggara Timur, Ambon dan Halmahera di Maluku; Sampit dan Palangkaraya di Kalimantan Tengah, serta di tempat-tempat lain yang telah menelan korban jiwa ribuan orang dan ratusan ribu orang menjadi pengungsi di negara sendiri, apakah langsung dipicu oleh heterogenitas masyarakat itu sendiri ataukah ada faktor lain yang kemudian mendorong terjadinya konflik terbuka tersebut?

Pandangan yang TertutupMenurut J.S. Fumivall, seorang ilmuwan sosial Inggris yang mengkaji masyarakat Indonesia sebelum Perang Dunia II, kemajemukan masyarakat Indonesia di masa kolonialisme Be-landa merupakan sesuatu yang given. Masing-masing kelompok berdiri sendiri-sendiri, saling terpisah, tak ada pembawaan. Bahkan setiap kelompok melihat dan menempatkan yang lain sebagai kelompok luar (out-group) yang berbeda.

Clifford Geertz, antropolog Amerika, sekitar dua dekade kemudian juga memiliki pandangan yang seperti itu. Menurutnya, meskipun negara bangsa Indonesia telah terbentuk pada tahun 1945, kesetiaan pada kelompok asal tak begitu saja pudar. Ikatan primordial seperti kesamaan dalam hal agama, daerah, bahasa, kelompok etnik, dan ras masih tetap melekat dalam pengelompokan sosial dan politik masyarakat Indonesia. Bagi Geertz, kelompok-keloropok tersebut sulit mengadakan hubungan, apalagi berbaur, karena dalam mempersepsikan dan mengevaluasi suatu persoalan setiap kelompok cenderung memakai kerangka nilai budaya atau kepercayaan agama mereka sendiri. Dan keragaman masyarakat inilah yang mengakibatkan negara-bangsa sukar mencapai stabilitas sosial, politik, dan ekonomi.

Memang akan menjadi persoalan besar bila masing-masing kelompok dilihat berbeda secara diametris, saling berlawanan. Akibatnya hubungan di antara kelompok-kelompok itu akan selalu macet, dan pembauran yang menuju persatuan merupakan sesuatu yang mustahil terwujud. Konflik terbuka yang mengarah ke perpecahan atau disintegrasi bangsa akan menjadi ciri dari pluralitas masyarakat.

Dengan perkataan lain, kemajemukan masyarakat dalam suatu negara bangsa akan menjadi permasalahan krusial dalam proses integrasi nasional bila masing-masing kelompok atau komunitas diletakkan secara tertutup dan dianggap sebagai entitas dengan sistem nilai dan norma yang berbeda secara berlawanan dengan entitas lain.

Sebagian besar negara-bangsa di dunia ini bukanlah masyarakat yang homogen, tetapi masyarakat plural, karena faktor-faktor perbedaan etnis, ras, atau agama. Namun demikian tidak selalu negara-bangsa itu menunjukkan adanya ketidakstabilan. Ada di antaranya yang solid dan terintegrasi dengan cukup kuat seperti Belgia, Swiss dan Kanada. Sebaliknya memang terjadi juga konflik terbuka dan terus menerus antar penganut agama atau kelompok etnik yang berlainan, sehingga ketidakstabilan negara-bangsa merupakan hal yang kronis seperti berlangsung di banyak negara di Afrika, India, Timur Tengah, danYugoslavia.

Ketimpangan Ekonomi dan PolitikMungkin pendekatan yang relevan untuk melihat persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi (covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.

Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan adanya kesamaan bagi semua kelompok.

Di Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura yang beragama Islam setahap demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan distribusi ekonomi. Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton yang umumnya beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan yang cukup luas dalam sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah orang-orang Cina yang sebagian besar beragama non-Islam yang menguasai sebagian besar sarana dan aset produksi serta jaringan distribusi di kota-kota besar dan menengah Indonesia.Ketika Orde Baru memegang tampuk pemerintahan tampaknya ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini tidak secara sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan agama itu menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di daerah secara politik betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional yang memungkinkan kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini sentralisme adalah ciri utama sistem politik negara Orde Baru.

Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu tidak banyak muncul, kalaupun terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera diredam secara represif. Namun pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan potensi konflik tersebut, karena akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan antar kelompok tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen untuk meledak. Karena itu, ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan kemudian jatuh, konflik yang tadinya laten menjadi terbuka.

Catatan PenutupNegara-bangsa yang majemuk memang akan dihadapkan pada instabilitas, bahkan kecenderungan disintegrasi, tetapi bila perbedaan horisontal itu sekaligus pula diikuti dengan akses, kontrol, dan distribusi sumber daya ekonomi yang timpang serta sektor politik yang tidak partisipatif bagi semua kelompok. Dalam situasi yang senjang secara ekonomi dan politik bisa saja orang-orang yang melihat jalan kehidupannya relatif tertutup, untuk meraih kedudukan yang diinginkan mereka berusaha mengerahkan kelompoknya. Untuk keperluan mobilisasi tersebut mereka cenderung memanfaatkan loyalitas tradisionalnya, yaitu melalui ikatan primordialnya. Demikian pula, kelompok yang diuntungkan oleh situasi yang timpang berupaya mengerahkan loyalitas tradisionalnya untuk mempertahankan kedudukan mereka. Namun demikian, potensi konflik itu tidak akan manifes bila prasyarat-prasyarat tertentu dipenuhi.

Pertama, negara itu demokratis, yang artinya semua kelompok etnik, agama, ras, mayoritas maupun minoritas memiliki perwakilan dalam institusi politik yang bisa menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka.

Kedua, hubungan-hubungan di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut dikendalikan melalui prinsip-prinsip hukum yang obyektif. Dengan perkataan lain, tegaknya supremasi hukum dan hukum tidak memihak pada kelompok tertentu, tetapi mengatasi semua kelompok tanpa kecuali. Ketiga, adanya distribusi pendapatan yang relatif merata antar kelompok, artinya ketimpangan sosial-ekonomi tidak begitu senjang antar kelompok dan daerah.

Masyarakat Belgia, Swiss, dan Kanada termasuk dalam kategori masyarakat majemuk, tetapi heterogenitas masyarakat ini tidak menjadi persoalan besar dalam proses integrasi nasional. Tidak terjadi konflik terbuka antar kelompok masyarakat dan negara selalu dalam keadaan stabil. Itu dimungkinkan karena, di ketiga negara bersangkutan sistem demokrasi, supremasi hukum, dan distribusi pendapatan yang relatif merata berjalan dengan baik. Mungkin kita bisa belajar kepada mereka, bagaimana mengelola masyarakat majemuk dengan tetap menjaga kemajemukan itu sendiri.

Penulis adalah pengamat sosial dan pengurus Yayasan Sidikara, Bandung

Tidak ada komentar: