Kamis, 08 Mei 2008

Indonesai Di Bawah Ancaman Disintegrasi

… sebuah spanduk besar terentang: Dirgahayu Republik Indonesia, Saatnya Kita Tingkatkan Persatuan dan Kesatuan, sebuah spanduk yang seperti memberikan peringatan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa kita sedang berada dalam keadaan gawat. Bukan pemerintah yang membuatnya tapi masyarakat sendiri. Masyarakat yang khawatir akan keutuhan bangsanya.

Seorang kawan pernah berkata kepada penulis, “Perayaan 17-an kali ini lebih meriah dibandingkan tahun lalu ya....?” Mendengar pernyataan itu saya tidak langsung mengiyakan atau mengatakan tidak. Yang jelas di ruas-ruas jalan protokol Jogja bendera merah putih berkibar-kibar, umbul-umbul berdiri menjulang di mana-mana. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di sudut-sudut gang pun untaian kertas berwarna merah putih melintang di atasnya.


Dalam hati saya membenarkan ucapan kawan tadi. Perayaan kemerdekaan Indonesia ke-56 kemarin memang berbeda dengan perayaan sebelumnya. Kelihatan lebih meriah. Namun kalau diperhatikan lebih seksama lagi, di tengah kemeriahan itu sebuah nada yang membersitkan rasa khawatir juga bertabur di mana-mana. Di atas gapura sebuah kampung misalkan, sebuah spanduk besar terentang: Dirgahayu Republik Indonesia, Saatnya Kita Tingkatkan Persatuan dan Kesatuan, sebuah spanduk yang seperti memberikan peringatan bahwa persatuan dan kesatuan bangsa kita sedang berada dalam keadaan gawat. Beberapa spanduk serupa itu ada dan menebar dimana-mana. Bukan pemerintah yang membuatnya tapi masyarakat sendiri. Masyarakat yang khawatir akan keutuhan bangsanya. Pada usianya yang ke-56 tahun persoalan integrasi nasional nampaknya masih menjadi hantu yang membayangi bangsa Indonesia.

1. Masyarakat Majemuk dan Problem Integrasi
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal itu dapat dilihat dari beberapa parameter berikut: pertama, adanya keragaman kultural, kedua, aliansi etnik, dan ketiga, terorganisir secara politik (Robushka dan Shepsel, 1972). Pada masyarakat seperti itu salah satu problem yang biasanya timbul adalah sulitnya mencari kesepakatan dalam meletakkan landasan sistem politik yang mapan. Perwujudan paling nyata adalah lemahnya legitimasi atas beroperasinya sistem politik dan kesepakatan terhadap ideologi negara.

Mengacu pada konstitusi yang ada sekarang ini, pemerintah selalu dihadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang politik dan aspirasi masyarakat secara luas. Sejarah bangsa Indonesia sendiri selalu diwarnai oleh tarik menarik antara kedua hal di atas. Dan karena pilihan menjaga integrasi nasional diletakkan lebih tinggi daripada yang kedua, pilihan pragmatis atas upaya menjaga integrasi nasional melahirkan kecenderungan menguatnya dominasi negara terhadap masyarakat. Tidak jarang pemerintah mengambil jalan pintas dengan menggunakan sistem politik otoriter, antara lain melalui birokrasi dan korporasi terhadap semua organisasi sosial politik yang ada.

Padahal menurut Nasikun (1996) secara vertikal dinamika integrasi nasional pada masyarakat majemuk seperti Indonesia sangat ditentukan oleh distribusi aset produksi, pendapatan, pendidikan, kekuasan, dan parameter-parameter graduated yang lain. Terjadinya kesenjangan vertikal sangat berpotensi menciptakan dinding-dinding yang mempersulit hubungan-hubungan sosial yang pada akhirnya akan mempersulit terjadinya integrasi nasional.

Eksperimentasi sistem sentralistik yang ditopang dengan kekuatan birokrasi selama Orde Baru ternyata hanya menghasilkan integrasi semu. Keberadaan negara yang demikian kuat, membuat proses integrasi berlangsung di atas penggunaan represi atau dominasi. Sementara, dari sudut pandang ekonomi, kuatnya dominasi negara lewat sistem ekonomi monopolistik dan oligopolistik melahirkan struktur ekonomi yang timpang.

2. Demokrasi dan Otonomi Daerah
Perubahan konfigurasi politik yang terjadi di tingkat nasional pada tahun 1998 telah menghembuskan angin reformasi dengan muatan utama mendorong terwujudnya pemerintahan yang demokratis dan membuka kran partisipasi masyarakat untuk mengontrol pemerintahnya. Salah satu upaya mewujudkan hal itu adalah menumbuhkan semangat desentralisasi melalui paket otonomi daerah. Dengan otonomi daerah diharapkan akan terbangun institusi pemerintahan daerah yang kuat dan mandiri, karena otonomi mengandung semangat kebebasan yang sangat penting dalam negara demokrasi.

Melalui otonomi pula kebiasaan masyarakat untuk memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka dapat segera terbangun. Mereka juga dapat menciptakan aturan main sendiri dimana kontrol masyarakat terhadap aturan main tersebut tidak terhalang oleh panjangnya rantai birokrasi.

Sampai sejauh mana otonomi ini dapat membangun integrasi nasional? Masih terlalu pagi bagi kita untuk dapat memberikan penilaian atas derajat keberhasilan dan kegagalannya. Semua masih berlangsung sebagai proses yang diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan vertikal yang selama ini terjadi. Daerah yang selama ini dieksploitasi baik secara ekonomi maupun politik, oleh pusat masih berbenah untuk menata kembali distribusi sumber daya yang mereka miliki.

Penutup

Setelah pemerintah Gus Dur gulung tikar dan diganti oleh Megawati, isu untuk menggagas kembali otonomi daerah santer terdengar. Otonomi daerah dianggap sebagai potensi terjadinya disintegrasi nasional. Akankah kemudian kita kembali mengulangi perdebatan klasik ketegangan antara integrasi bangsa dan demokrasi?

Yang jelas, meskipun muncul beberapa dilema dalam pelaksanaan otonomi daerah jangan sampai hal itu memunculkan potensi menguatnya kembali dominasi negara terhadap masyarakat, yang pada ujungnya justru mematikan kreativitas masyarakat, memandulkan daya kritis masyarakat. Artinya, hal itu juga berarti otoritarianisme sudah menyambut di depan mata.


Titok Hariyanto
(Manajer Informasi dan Publikasi IRE)

Tidak ada komentar: