Sabtu, 30 Januari 2010

SKETSA PETANI, NELAYAN DAN BURUH DI INDONESIA
Oleh : Abdul Kholek
James Scott, mengindentifikasi keberadaan rasionalitas dikalangan petani kecil Asia Tenggara, dan menyatakan bahwa petani tidak mudah menerima teknologi modern karena memiliki alasan yang cukup rasioal yaitu ‘meminimalkan resiko atau mendahulukan kesesalamatan (safety first)’.

1. Kecenderungan dalam kehidupan petani di Indonesia dan faktor-faktor petani mengembangkan rasionalitas ‘safety first’

Safenty first dalam pengertian konvensional merupakan suatu kecenderungan petani untuk memproduksi atau menanam tanaman untuk kebutuhan pokok mereka. Cara menanam, waktu penanaman, serta penggunaan bibit, berdasarkan pengalaman selama berabad-abad dimana pola tersebut memiliki resiko yang minimal. Hal ini cukup rasional bagi petani yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan subsistensi.

Kondisi tersebut menjadikan petani lebih hati-hati dalam menerima inovasi-inovasi teknologi yang masuk melalui industrialisisasi pertanian yang disampaikan oleh pekerja sosial dan juga ahli-ahli agronomi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat James Scott, bahwa petani yang bercocok tanam berusaha untuk menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupannya dan bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko .

Penjelasan sekilas diatas merupakan prinsif safety first pada masa pra-kapitalis di Asis Tenggara khususnya dalam bahasan James Scott. Jika kondisi tersebut digunakan untuk melihat kehidupan petani Indonesia saat ini tentu tidak relevan lagi. Kalau yang dilihat dalam asfek penggunaan teknologi, karena sebagian besar petani telah memakai alat-alat teknologi, benih unggul hasil persilangan gen dan lain sebagainya. Kondisi ini tidak lepas dari revolusi hijau yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1960-an, dikenal dengan nama intensifikasi pertanian tanaman pangan, khususnya beras. Program tersebut memperkenalkan teknologi baru dalam teknik bertani, seperti penggunan traktor, pupuk, obat-obatan, penggunaan bibit unggul serta penyuluhan-penyuluhan . Program tersebut akhirnya di adobsi oleh sebagain besar petani di Indonesia hingga saat ini.

Apabila dilihat dari pemanfaatan teknologi tersebut petani di Indonesia telah mengalami pergeseran dari tidak menggunakan teknologi beralih pada pemanfaatan teknologi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa adanya pergeseran makna dari safety first di Asia Tenggara khususnya pada petani di Indonesia pada masa pra kapitalisme dan saat kapitalisme modern saat ini. Tidak mampunya petani untuk membendung arus globalisai sehingga penerimaan terhadap teknologi sebagai suatu tindakan yang rasional untuk mendahulukan selamat atau meminimalkan resiko, karena paradigma petani sudah berbesar bahwa penggunaan teknologi akan memberikan mereka hasil yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan subsistensi mereka.
Tetapi dibalik semua pemanfaatan teknologi tersebut. Petani di Indonesia masih berpegang pada rasionalitas mendahulukan selamat dan meminimalkan resiko dalam paradigma tradisional, ada beberapa faktor yang berpengaruh yaitu :

1) Pola pikir tradisional

Petani di indonesai masih mempunyai pola pikir yang tradisonal percaya pada animisme, pasrah pada alam dan lain sebagainya. Pengolahan tanah walaupun sudah memakai teknologi modern, tetapi masih di terapkan prinsif-prinsf tradisonal misalkan waktu penanaman harus berdasarakan tanggal yang biasa di pakai oleh nenek moyang mereka secara turun-temurun. Penggunaan teknologi pun sebagai alternatif yang dipakai untuk mendapatkan hasil yang seadanya dalam memenuhi kebutuhan pokok. Penggunaan sesajen dan adanya perayaan pada saat sebelum menanam dan pasca panen merupakan cerminan dari pola pikir tradisional, mereka masih menyandarkan semua hasil kepada alam, karena kondisi tersebut cukup rasional bagi mereka.

2) Kemiskinan yang membuat mereka terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok

Petani di Indonesia sebagian besar memproduksi tanaman untuk kebutuhan pokok mereka, usaha yang dilakukan masih terpaku pada prinsip-prinsip yang tradisional. Kondisi ini karena mereka sebagian besar merupakan penduduk yang miskin sehingga tanaman yang ditanam adalah tanaman subsistensi bukan tanaman komersil. Mereka sangat meminimalkan resiko dalam menjalankan proses pertanian sehingga pola-pola lama masih mereka pertahankan, karena dinggap lebih bisa dipercaya untuk mendapatkan hasil yang dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka.

3) Adanya hubungan patron klien, sebagai asuransi sosial

Adanya hubungan patron klein merupakan salah satu faktor dari rasionalitas meminimalkan resiko dan selamat. Karena dengan adanya hubungan tersebut mereka dapat tetap bertahan dengan memanfaatkan hubungan tersebut sebagai auransi sosial ketika hasil pertanian gagal karena alam dan lain sebagainya, inilah salah satu nilai yang terbentuk dan memantapkan rasionalitas tersebut. Kondisi ini terlihat jelas pada petani penggarap atau juga pada petani penyewa.

2. Kecenderungan dalam kehidupan nelayan di Indonesia dan faktor-faktor nelayan mengembangkan rasionalitas ‘safety first’

Kehidupan nelayan hampir sama dengan kehidupan petani, mereka berada pada garis batas subsitensi sehingga sedikit saja persoalan yang datang mereka akan berada di bawah garis subsitensi. Kondisi inilah yang membuat nelayan untuk berpegang pada rasionalitas mendahulukan selamat dan meminimalkan resiko dalam kehidupannya. Kebutuhan pokok masih menjadi permasalahan utama, bagaimana mereka mendapatkan kebutuhan untuk bisa bertahan setiap hari telah menjadi rutinitas dalam hari-hari nelayan.

Penggunaan teknologi memberikan resiko yang cukup besar bagi para nelayan. Sehingga mereka masih tetap berada pada pola dan penggunaan alat-alat tradisional, mereka sebagian besar merupakan nelayan-nelayan tradisional.

Ada beberapa faktor yang mendorong nelayan menggunakan rasionalitas safety first yaitu :

1) Nelayan masih tergantung pada alam
Khusus nelayan tradisional yang hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan sangat tergantung pada alam. Ketika ada badai dan ombak besar mereka tidak bisa berlayar untuk menangkap ikan. Tetapi mereka bisa beralih menangkap kepiting, dan sumberdaya lain yang ada dipantai, hal ini lebih pasti daripada mereka menggunakan teknologi dengan perahu mesin yang tentunya dengan biaya mahal, dengan hasil juga yang belum pasti. Ketergantungan pada alam membuat nelayan masih tetap bertahan untuk memenuhi kebutuhan minimalis mereka dalam hidupnya.

2) Nelayan masih terperangkap dalam pemikiran tradisional
Pola pikir tradisional nelayan hampir sama dengan pola pikir pada petani, kecenderungan pola pikir tersebut membuat nelayan berada pada posisi selalu dekat dengan garis subsistensi, hasil yang didapatkan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam batas minimum. Waktu melaut dan berlayar masih tergantung pada alam dan kondisi cuaca, tidak banyak perubahan mereka tetap bertahan dengan pola seperti itu karena dianggap lebih tepat agar mereka tetap eksis dalam pemenuhan kebutuhan yang minimalis hari perhari.

3) Ongkos (cost) untuk penggunaan teknologi cukup tinggi

Biaya mesin dan perahu yang mahal apabila mereka menggunakan teknologi membuat mereka tetap bertahan dengan perahu tradisional. Kemampuan dan keahlian mereka untuk membuat perahu dan peralatan melaut sendiri merupakan faktor pendorong mereka tetap dalam rasionalitas safety first, karena resiko tersebut lebih kecil jika dibandingkan mereka menggunakan teknologi modern.

3. Kecenderungan dalam kehidupan buruh di Indonesia dan faktor-faktor buruh mengembangkan rasionalitas ‘safety first’

Buruh di Indonesia sepanjang perjalanannya sering menunjukkan bahwa buruh ditempatkan sebagai faktor produksi mirip sebagai faktor produksi yang dikonstruksikan Karl Marx. Jumlah tenaga kerja yang cukup banyak membuat buruh mengembangkan rasionalitas safety first dalam artian buruh tidak berani untuk memprotes dan meminta kenaikan gaji atau standar UMR dari pihak perusahaan, hal ini dapat dilihat dalam sistem perburuhan outsoursing dan kontrak dimana posisi buruh harus tunduk dan pasrah dengan kondisi yang dialami. Ketika buruh mengadakan protes akan berakibat pada pemberhantian secara langsung oleh manajemen perusahaan outsourcing atau kontrak. Digantikan oleh tenaga-tenaga kerja lainnya sebagai tentara-tentara cadangan.
Ada beberapa alasan buruh mengembangakan rasionalitas safety first. Buruh bekerja hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mereka sangat menjaga untuk meminimalkan resiko serta mendahulukan selamat, beberapa faktro tersebut yaitu :

1) Kuatnya cengkeraman kapitalisme
Buruh berada dalam posisi dikuasai oleh pihak kapitalis, sehingga kondisi ini membuat buruh stagnan tidak berani untuk melakukan aksi apapun dalam menuntut haknya, karena kuatnya cengkraman tangan kapitalisme tersebut. Disinilah muncul alienasi dan nilai surplus dalam istilah Marx. Salah satu kondisi buruh diindonesia yaitu buruh kehilangan kesempatan untuk menyalurkan dan mengontrol sendiri hasilnya kerjanya. Dalam bahasa Marx, buruh teralienasi dari aktivitas produktif, dalam pengertian bahwa buruh tidak bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan mereka bekerja untuk kapitalis .

Cengkeraman yang kuat inilah yang mengharuskan buruh mengembangkan rasionalitas safety first atau bisa disebut juga sebagai tindakan untuk mendahulukan selamat dan meminimalkan resiko dan menerima apa adanya yang diharuskan oleh perusahaan atau industri.

2) Buruh yang tersedia cukup banyak

Banyaknya ketersedian buruh di Indonesia sebagai tentara cadangan, mengakibatkan harga buruh murah. Kondisi ini mengakibatkan kesejahteraan buruh dalam batas mininum yaitu hanya untuk bertahan dalam batas subsistensi. Kondisi inilah yang membuat buruh pasrah pada kemauan kapitalis, karena dengan bekerja mereka sudah sangat diuntungkan karena dapat memenuhi kebutuhan minimum tersebut. Hal inilah yang akan berakibat pada stagnannya gerakan buruh, karena kesadaran kelasn tidak akan muncul ketika buruh patuh dan tunduk pada kepentingan pokoknya sendiri.

4. Rekomendasi yang ditawarkan
Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Beberapa rekomendasi yang saya tawarkan sebagai alternatif penyelesaian masalah yaitu sebagai berikut :

1. Harus dibuatnya regulasi atau kebijakan dari pemerintah dalam hal penggunaan teknologi untuk petani, nelayan tentunya dengan biaya yang disubsidi.
2. Dibuatnya kebijakan khususnya untuk buruh agar adanya kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat yang dilindungi undang-undang.
3. Harus adanya pengawasan pemakaaian teknologi oleh petani besar atau nelayan modern agar tidak merugikan petani kecil atau juga nelayan kecil (tradisional).
4. Adanya program pemberdayaan dan diberdayakannya ketiga elemen tersebut melalui berbagai instansi-instansi yang bersangkutan, bisa juga ormas atau lembaga swadaya masyarakat (LSM).


Daftar Referensi :

Scott, James C. 1976. Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta. LP3ES.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan politik Angraria Indonesia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Ritzer, George dan Douglas J Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenada Media Group.



Tidak ada komentar: